Momentum

MAYDAY 2007

Thursday, March 29, 2007

Pengecaman tindakan kekerasan terhadap petani di Sukabumi

PERNYATAAN SIKAP
PERHIMPUNAN RAKYAT PEKERJA (PRP)

UU Perkebunan menghambat akses rakyat terhadap sumber-sumber agraria !!!
Hentikan kekerasan terhadap petani !!!


Salam rakyat pekerja,

Kekerasan terhadap petani kembali terjadi di Indonesia. Kali ini kekerasan terhadap petani tersebut terjadi di Kampung Jaya Mukti, Desa Kerta Jaya, Kec. Simpeunan, Kab. Sukabumi. Bentrokkan fisik antara petani penggarap dan orang-orang suruhan perkebunan tidak terhindarkan, bahkan sampai pada penangkapan 3 petani penggarap pada tanggal 30 November 2006, yaitu Amas (40), Sarip (60) dan Saep (60), warga Kampung Jaya Mukti Desa Kerta Jaya Kecamatan Simpeunan Kabupaten Sukabumi.

Di tengah gencarnya program pemerintah untuk Pembaruan Reforma Agraria Nasional dan rencana Redistribusi Lahan Seluas 8,15 Juta Hektar untuk petani miskin, kaum tani di Kabupaten Sukabumi (tepatnya di Kampung Jaya Mukti, Desa Kerta Jaya, Kec. Simpeunan) justru berhadapan dengan serangkaian tindakan yang sangat kontradiktif dengan Pembaruan Agraria.

Peristiwa ini berawal dari klaim yang dilakukan oleh Perkebunan Tugu Cimenteng milik PT JA Wattie tentang SK HGU no 23 yang dikeluarkan oleh Kantor Pertanahan (BPN) Sukabumi (diperkuat dengan adanya pernyataan Bupati Sukabumi-red.). Pihak perkebunan berencana untuk menanam karet di atas lahan seluas 101 Ha, yang sudah digarap oleh para petani di Kecamatan Simpeunan sejak tahun 1993. Lahan tersebut sebenarnya masih dalam pengajuan masyarakat setempat kepada pemerintah, sehingga berstatus lahan sengketa. Namun pengajuan warga sampai saat ini tidak mendapatkan respon serius dari pemerintah, baik dari Pemkab Sukabumi, Propinsi Jawa Barat maupun pemerintah pusat. Sehingga status lahan yang diklaim sebagai Hak Guna Usaha Perkebunan Tugu Cimenteng adalah lahan sengketa.

Rencana pihak perkebunan kemudian ditolak oleh para penggarap yang berjumlah 256 keluarga. Sikap para petani Simpeunan ditanggapi pihak perkebunan dengan menurunkan orang-orang suruhan pada 10-12 Oktober 2006 yang disertai oleh 2 Truk Pasukan Dalmas, sehingga nyaris menimbulkan bentrokan fisik.

Peristiwa ini lalu dilaporkan oleh Pihak Perkebunan Tugu Menteng JA Wattie oleh perwakilannya, Ir. Andi Haryanto ke Polres Pelabuhan Ratu. Berdasarkan laporan tersebut, Amas, Sarip dan Saep menerima 2 kali panggilan. Panggilan pertama terjadi pada 8 November 2006, namun baru pada panggilan kedua 30 November 2006, ketiganya resmi menjadi tahanan Polres Pelabuhan Ratu. Ketiga penggarap yang sudah berusia lanjut tersebut ditahan dengan tuduhan melakukan tindak pidana perusakan terhadap aset perkebunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 Yo.47 UU RI No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan.

Peritiwa kekerasan terhadap petani khususnya di wilayah perkebunan seringkali terjadi dengan legitimasi Undang-undang No. 18 tahun 2004 tentang perkebunan pasal 21 yang berbunyi ”Setiap orang dilarang melakukan tindakan yang berakibat pada kerusakan kebun dan/atau aset lainnya, penggunaan tanah perkebunan tanpa izin dan/atau tindakan lainnya yang mengakibatkan terganggunya usaha perkebunan”. Penggunaan pasal ini seringkali tidak mempertimbangkan bahwa tindakan para petani mempertahankan lahan adalah untuk keberlangsungan kehidupan mereka di masa depan dimana para petani juga memiliki hak untuk menggarap di atas tanahnya sendiri. Hal ini menunjukkan, Undang-undang No. 18 tahun 2004 tentang perkebunan adalah produk perundang-undangan yang represif dan tidak memiliki keberpihakan kepada rakyat. Terlebih lagi bahwa undang-undang tersebut tidak sesuai dengan konstitusi yaitu UUD 1945 pasal 33 yang menegaskan tentang segala kekayaan sumber daya alam diperuntukkan bagi kesejahteraan rakyat Indonesia. Juga jelas-jelas bertentangan dengan Undang-undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Pada pasal 9 ayat 1 UU HAM ditegaskan, “setiap orang berhak untuk hidup, dan mempertahankan hidup, dan meningkatkan taraf kehidupannya”.

Penggunaan Undang-undang No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan sebagai legitimasi untuk meredam perlawanan petani terbukti bertentangan dengan rencana implementasi Reforma Agraria yang sudah menjadi agenda pemerintah. Undang-undang ini secara nyata tidak berpihak pada kepentingan rakyat mayoritas. Satu-satunya pihak yang diuntungkan adalah para pemilik modal besar perkebunan.

Hak-hak rakyat untuk mengakses sumber-sumber agraria terutama tanah tidak lagi dilihat sebagai hak dasar manusia untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf hidup sebagaimana jelas tercantum dalam UU No. 39 tentang HAM dan diakui oleh Pasal 33 UUD 1945. Undang-undang Perkebunan secara langsung merupakan kontradiksi yang harus segera diselesaikan oleh pemerintah, sebab keberadaannya telah menjadi batu sandungan bagi kesejahteraan rakyat.

Penangkapan petani di Kabupaten Sukabumi merupakan bukti dari pelanggaran HAM oleh aparat pemerintah dan pemilik modal. Bukti dari tidak adanya niat baik untuk menyelesaikan konflik agraria secara tuntas dan berpihak pada kepentingan rakyat kecil dalam hal ini adalah petani, serta bukti dari niat buruk untuk menghambat akses rakyat terhadap sumber-sumber agraria.

Maka dari itu, kami dari Perhimpunan Rakyat Pekerja (PRP) menyatakan sikap:
1. Menuntut pemerintah untuk meninjau ulang UU 18 tahun 2004 tentang Perkebunan karena merupakan produk perundang-undangan yang represif dan tidak berpihak kepada rakyat.
2. Menolak segala bentuk kekerasan terhadap petani yang dilakukan oleh pihak perkebunan dan aparat peemrintah.
3. Menuntut Kepolisian Resort Sukabumi untuk membebaskan ketiga orang petani yang ditahan sejak tanggal 30 November 2006.

Kami dari Perhimpunan Rakyat Pekerja juga meminta seluruh rakyat pekerja agar mendukung segala perlawanan yang dilakukan oleh para petani penggarap Kampung Jaya Mukti Desa Kerta Jaya Kecamatan Simpeunan Kabupaten Sukabumi.

Hidup Rakyat Pekerja !!!

Jakarta, 15 Desember 2006


Sekertaris Jenderal




Irwansyah

No comments: