Momentum

MAYDAY 2007

Saturday, August 4, 2007

Peran Cagub DKI atasi naiknya harga-harga*

Eka Pangulimara H**

Berita-berita terakhir, baik di koran maupun televisi, bangsa ini seperti hendak menghadapi krisis baru. Titiwancinya adalah naiknya berbagai macam kebutuhan masyarakat. Yang paling menonjol cabe merah keriting yang menembus angka Rp. 30.000/kg, dan minyak goreng hingga Rp. 9.000/kg. Harga komoditas lain seperti telur, gula, terigu, juga terus bergerak naik.

Ada dua penyebab. Pertama, jelang hari raya Idul Fitri bagi umat muslim, yang sebentar lagi dirayakan. Telah menjadi siklus bahwa pada masa-masa seperti ini harga-harga kebutuhan naik lumayan drastis. Utamanya disebabkan permintaan yang meningkat tajam di saat masyarakat memerlukan berbagai macam komoditas guna “menikmati” suasana lebaran dalam keadaan serba cukup.

Kedua, kenaikan harga BBM yang diputuskan pemerintah mulai 1 Oktober 2005 yang lalu. Kenaikan rata-rata yang melebihi angka 100% ini dipastikan mendorong naiknya harga-harga kebutuhan, minimal karena biaya transportasi yang melonjak.

Penyebab kedua lebih berpengaruh dibanding momentum menjelang lebaran. Hal ini karena pengaruh naiknya harga BBM lebih material daripada kenaikan jelang lebaran yang seringkali diakibatkan masalah psikologis pada diri pedagang. Kenaikan harga BBM kemarin juga mendorong pedagang untuk menaikkan harga untuk mengambil untung sebanyak-banyaknya. Dengan kondisi daya beli yang menurun, kaum pedagang tahu kenaikan harga yang “keterlaluan” akan sangat sensitif bagi pembeli.

Tren naiknya harga menjelang lebaran selama ini dimahfumi orang banyak. Selewat lebaran, harga-harga komoditas akan bergerak turun mencapai harga normal. Namun kondisi saat ini tidak ada jaminan seperti itu. Kenaikan biaya transportasi akibat naiknya harga BBM tidak bisa ditawar lagi. Akibatnya harga tinggi berbagai macam kebutuhan saat sekarang berpotensi tidak turun, bahkan naik lagi di waktu-waktu yang akan datang.

Potensi naiknya kembali harga-harga kebutuhan pokok selepas lebaran disumbang oleh rencana naiknya tarif dasar listrik (TDL), PDAM, tarif Telkom, BBM industri, elpiji yang harganya ditetapkan. Naiknya TDL di awal-awal tahun 2006, misalnya, diprediksikan akan memukul usaha konveksi yang berujung pada PHK massal para pekerjanya. Di samping proyeksi pengusaha untuk mengubah status para buruh menjadi sistem kontrak/outsourcing yang marak belakangan ini, ditenggarai dengan cara PHK massal. Semakin mendapat legitimasi dengan serba tingginya ongkos produksi yang dikeluarkan.

Pendidikan Terancam
Salah satu sektor yang paling terancam adalah dunia pendidikan dengan prediksi kenaikan angka putus sekolah. Kenaikan BBM menaikkan biaya transportasi cukup tinggi. Anak sekolah yang biasa menggunakan angkutan menuju sekolah akan terbebani oleh biaya transport yang melonjak. Kenaikan sebesar Rp. 500 sekali naik saja berarti orang tua harus menaikkan anggaran transport sebesar Rp. 30.000/bulan/anak sekolah. Sering anak yang disekolahkan mencapai 3 sampai 4 anak, sehingga biaya transport saja bisa mencapai 120.000/bulan.

Gambaran ini akan memaksa orang tua berpenghasilan pas-pasan akan memprioritaskan pendidikan anak-anaknya ke level lebih rendah. Kebutuhan untuk bertahan hidup jelas dinomersatukan. Orang tua dengan anak usia sekolah yang banyak akan mengurangi jumlah anak yang bersekolah, terutama yang dikorbankan adalah anak perempuan.

Penyesuaian pemenuhan kebutuhan (ketika harga-harga kebutuhan naik sementara penghasilan tetap) yang bisa ditempuh adalah dengan mengurangi asupan gizi atau nilai nutrisi. Tetapi kiat ini bukannya tak beresiko. Pengurangan gizi secara kontinyu bisa berakibat fatal berupa merebaknya penyakit-penyakit kekurangan gizi seperti busung lapar (marasmus kwasiorkhor) dan penurunan kecerdasan.

Siapa yang bertanggung jawab terhadap kemungkinan buruk tersebut? Tentu saja pemerintah yang telah “tega” menaikkan harga BBM demikian tinggi. Semestinya pemerintah tidak lepas tangan terhadap dampak buruk naiknya harga BBM pada rakyatnya sendiri. Pemerintah mesti mendayagunakan seluruh energinya untuk membantu rakyat agar tidak kelimpungan memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Naiknya harga BBM secara otomatis memperkuat APBN. Masyarakat pantas berharap seluruh devisa yang diperoleh dari kebijakan menaikkan harga BBM digunakan kembali seluruhnya untuk rakyat.

Namun sejauh ini, selain dana kompensasi langsung, sepertinya belum ada action pemerintah yang mampu secara signifikan membantu masyarakat menghadapi melonjaknya harga-harga. Terdapat waktu jeda yang tidak bisa ditentukan lamanya sampai ada action pemerintah yang memadai. Dan selama itu pula masyarakat terus dihantui kenaikan harga kebutuhan tanpa ada yang bisa mengendalikan.

Peran Para Cagub
Kini masyarakat Ibukota haruslah memilih satu di antara dua. Yang satunya, Fauzi Bowo yang merupakan Cagub yang diangkat oleh koalisi 20 Parpol, dan Adang dengan dukungan PKS sebagai partai tunggal di belakangnya. Apapun yang mereka lakukan, barulah nampak obralan beribu janji, terkesan sloganistik. Dan tidak lebih dari jargonistik dalam masa-masa kampanye seperti yang sudah-sudah.

Kita tengok kebijakan menaikan harga BBM misalnya, memang keputusan pemerintah pusat. Gubernur dan DPRD selalu berargumen demikian untuk menunjukkan ketidakberdayaan pemerintah di ibukota berikut daerah. Kita mengamini hal tersebut. Namun seyogyanya pernyataan tersebut tak mengindikasi lepas tangannya sosok gubernur dari persoalan yang dihadapi masyarakat. Sebab entah dari mana sebuah kebijakan turun, deretan kemiskinan warga Ibukota, tak selalu lebih baik dari masyarakat daerah.

Oleh karena itu, para Cagub mesti berpikir keras, menghitung-hitung kemampuan dan kinerja diri nantinya, mencari usulan dari sana-sini, yang seluruhnya digunakan demi memperkuat ketahanan ekonomi warga Ibukota. Tentu saja tugas ini adalah hal rutin dan inheren sebagai kerja gubernur terpilih berikut lima Pemkotnya. Namun intensitas dan besarannya harus lebih difokuskan dan dipersiapkan betul untuk saat-saat sekarang.

Resiko yang dihadapi cukup besar. Untuk kota Jakarta, terdapat karakteristik tercetusnya luapan masyarakat yang tidak puas dengan keadaan melalui jalan kekerasan. Di tahun 1998 kemarin, kota ini mengalami prahara hebat berupa kerusuhan massa yang meluluhlantakkan hampir seluruh persendian ekonomi kota. Belum lagi sikap sebagian besar warga Ibukota yang sudah terlanjur abai dengan elit dan partai politik.

Melakukan intervensi langsung untuk mempengaruhi harga kebutuhan mungkin mustahil dilakukan. Selain daya dukung APBD tidak memadai, intervensi harga dapat mendistorsi pasar. Tidak lebih dari dua minggu ke depan, agaknya para Cagub belum menampakkan strategi operasional di levelan program penyelesaian kompleksitas problem di Ibukota. Yang dapat dipertontonkan kepada masyarakat luas.

Ada beberapa tindakan nyata yang lebih realistis. Pertama, meninjau kembali UMK (upah minimum kota) untuk buruh dan mendorong naiknya upah buruh sampai mendekati atau setara kebutuhan hidup layak (KHL). Upaya ini akan mendapat resistensi dari pengusaha yang akan makin terbebani. Cagub dalam hal ini bisa menawarkan pengurangan instrument-instrumen tertentu yang sampai kini memperbesar biaya produksi. Biaya siluman seperti pungutan liar harus dikikis habis dan menjadi agenda utama para Cagub untuk membantu dunia usaha yang hasilnya bisa dinikmati kaum buruh.

Kedua, pengalokasian dana kota ke hal-hal yang semakin urgent. Biaya-biaya kota harus dikurangi, mobil dinas mewah kalau perlu bukan cuma diganti tapi dijual (daripada membebani biaya operasionalnya). Biaya operasional dan pemeliharaan aset negara juga dapat dikurangi. Pengurangan AC untuk ruang para pejabat. Kondisi gedung tidak perlu terlihat kinclong, sebab keadaan tersebut justru akan berkebalikan dengan kondisi masyarakat yang serba payah.

Ketiga, seluruh pejabat tinggi seperti gubernur dan wakilnya, anggota dewan dan pejabat eselon dipotong gajinya. Jumlahnya mungkin tak seberapa tapi menyimbolkan kesulitan yang kini dihadapi masyarakat juga dialami para pejabat tinggi. Terdapat suasana solidaritas di mana pejabat tidak berada dalam kesenangan di atas penderitaan rakyat.

Untuk sektor pendidikan, bisa diupayakan perbanyakan pengadaan bis kota khusus bagi anak sekolah yang langsung menjemput mereka dari tempat tinggal sampai ke sekolah (tidak perlu berganti-ganti bis kota). Bis DAMRI dengan subsidi gubernur adalah alternatifnya, di mana pada jam berangkat dan pulang sekolah disulap khusus sebagai bis sekolah. Anggaran yang dihemat dari kebijakan pengetatan anggaran maupun potong gaji pejabat bisa dialihkan ke keperluan ini.

Yang jelas, entah apapun tindakan para Cagub yang terpilih, setidaknya mewakili gambaran pada masyarakat bahwa pejabat publik tidak pernah berleha-leha dalam menghadapi situasi terburuk sekalipun.

*Tulisan ini pernah dipublikasikan oleh Buletin SADAR (prakarsa-rakyat.org)
**Penulis adalah anggota Solidaritas Buruh Pelabuhan Indonesia (SBPI) Jakarta dan anggota PRP Komite Kota Jakarta Raya

Baca Selengkapnya......

Saturday, July 28, 2007

Exposure Korban Pelanggaran HAM ke Aceh*

Agnes Gurning**

Penandatanganan nota kesepahaman (MoU), antara pemerintah Indonesia dengan Kelompok Gerakan Aceh Merdeka (GAM), pada 15 Agustus 2005 di Helsinki, Finlandia, merupakan awal bagi lahirnya sebuah proses menuju kedamaian Aceh yang permanen. Peristiwa bersejarah ini merupakan penantian panjang dan melelahkan dari para pendamba kedamaian, terutama masyarakat korban. Karena itu, dukungan terhadap kesepakatan damai tersebut menjadi penting, sebab disadari setiap tahapan proses yang akan dilalui memiliki potensi untuk gagalnya kesepakatan damai tersebut. Kegagalan perundingan pada masa Cessation of Hostilities Agreement (COHA), mesti menjadi pengalaman sejarah yang amat berharga untuk tidak sampai terulang kembali. Karena itu, menjaga, mengawal dan memastikan semua tahapan proses tersebut berjalan sesuai kerangka perjanjian dengan sendirinya menjadi penting dilakukan.

Korban pelanggaran HAM merupakan stakeholder utama dalam proses perdamaian ini. Di dalam MoU, secara tegas disebutkan bahwa korban merupakan pihak yang menjadi pihak pihak yang terlibat dalam setiap tahapan. Korban pelanggaran HAM bukan hanya ketika Pengadilan HAM memanggil para korban menjadi saksi atau ketika para Komisioner KKR mewawancarai para korban dalam rangka mengungkap kebenaran, tetapi korban juga akan terlibat pada saat pemberian amnesti bagi pelaku jika korban memberikan maaf. Apabila korban tidak solid maka peluang untuk di adu domba cukup besar serta para korban hanya menjadi objek pada pelaksanaan kedua instrumen tersebut.

Begitu juga dalam pelaksanaan proses reintegrasi. Korban merupakan kelompok yang disebutkan dalam MoU sebagai penerima dana reintegrasi. Tetapi dalam implementasinya, seolah olah korban hanyalah aktor sekunder dari proses reintegrasi itu. Korban tidak pernah terlibat dalam setiap perumusan kebijakan yang berkaitan dengan penyerahan dana reintegrasi. Akses informasi juga sangat tertutup selama pelaksanaan dana itu. Akibatnya, banyak dana yang disalurkan tidak tepat sasaran. Dan sementara korban yang sebenarnya tidak mendapatkan manfaat sama sekali.

Berdasarkan permasalahan di atas, menjadi penting keberadaan sebuah wadah korban yang efektif dalam mendorong dan memberi andil dalam setiap tahapan perdamaian. Wadah ini diharapkan dapat menjadi corong untuk menyuarakan aspirasi korban pelanggaran HAM d! alam per umusan kebijakan Negara yang berdampak pada korban. Wadah yang dimaksud, sebenarnya telah didirikan pada tahun 2000 melalui Kongres Rakyat Korban se-Aceh pada tanggal 4 - 6 November 2000 di Gedung Sosial Banda Aceh. Wadah itu bernama Solidaritas Persaudaraan Korban Pelanggaran HAM (SPKP HAM).

Struktur kepengurusan SPKP HAM pun dibentuk. Dan sejak saat itu pula komunitas korban di Aceh ini mulai menjalankan kegiatannya dengan lebih terarah. Bantuan kesehatan, pengaduan kasus, investigasi dan advokasi korban terus dilakukan oleh SPKP HAM. Pada tahun 2001 tercatat lebih 300 kasus mereka tangani. Dukungan moral dan immaterial dari berbagai kalangan pun disalurkan melalui SPKP HAM ini.

Hampir 7 tahun sudah SPKP HAM berdiri. Berbagai lika-liku dan dinamika organisasi sudah mereka lewati. Bukannya mudah untuk tetap eksis sebagai organisasi korban hingga sekarang, terlebih setelah ditempa situasi konflik yang sempat memanas lagi dan pemberlakuan Darurat Militer di Aceh tahun 2003. Intimidasi dan terror pada periode tersebut sempat membuat aktivitas organisasi ini turun. Beberapa pengurusnya bahkan mengalami penculikan, penahanan dan juga penembakkan. Setelah masa ini, praktis organisasi mengalami status quo dan tak menjalankan aktivitas apapun.

Pasca tsunami, beberapa orang caretaker dan aktivis SPKP HAM berkumpul di sekretariat Koalisi NGO HAM untuk mendiskusikan kembali wadah organisasi korban ini. Semua peserta diskusi sepakat untuk membangun kembali organisasi korban ini dengan berbagai pertimbangan khususnya perlunya keterlibatan korban dalam setiap proses pengambilan kebijakan negara atas nasib korban. Untuk itulah disepakati agar dilaksanakan kongres kedua. Kongres kedua ini berlangsung pada tanggal 20 - 23 Juli 2007 di Saree, Aceh Besar.

Diselenggarakannya Kongres kedua ini tentu merupakan langkah penting yang menandai kebangkitan komunitas korban di Aceh. Pada masa damai sekarang ini ada ruang yang! tersedia bagi komunitas korban ini untuk mencapai keadilan, yaitu Pen gadilan HAM dan KKR Aceh, terlepas dari segala kontroversi di sekitarnya. Namun kehendak korban untuk mengambil sikap dan posisinya sendiri dalam ruang tersebut merupakan sesuatu yang perlu didukung oleh banyak pihak. Sebab memang sudah saatnya bagi korban untuk bicara tentang nasibnya sendiri.

Kongres ini pun merupakan kesempatan emas yang sangat baik untuk korban pelanggaran HAM untuk saling berbagi pengalaman dan bertukar pikiran, tidak hanya bagi mereka yang ada di Aceh tetapi juga yang di luar Aceh. Karena itu, IKOHI sebagai wadah organisasi korban pelanggaran HAM di lingkup nasional pun berupaya agar ajang ini juga bisa dimanfaatkan sebagai pembelajaran bagi komunitas korban di wilayah lain. Dengan bantuan dari ICTJ (International Center for Transitional Justice) maka exposure korban pelanggaran HAM ke Aceh pun dilakukan. 10 orang korban yang berasal dari Papua, Poso, Makassar, Solo, Malang, Jakarta (3 orang) dan bahkan Timor Leste (2 orang) pun diberangkatk! an ke Aceh untuk mengikuti Kongres kedua SPKP HAM tadi.

Eksposure ini bertujuan antara lain untuk: membangun tali solidaritas korban pelanggaran HAM; membangun jaringan organisasi korban pelanggaran HAM; saling bertukar strategi perjuangan korban merebut keadilan dan kebenaran; dan saling berbagi pengalaman tentang perjuangan dan aksi yang sudah dilakukan. Keragaman konteks yang terjadi di setiap daerah yang berbeda tersebut diharapkan akan menjadi bahan masukan dan diskusi yang kaya dalam kongres korban ini. Terlebih hadir pula korban dari Timor Leste yang pernah merasakan KKR di negaranya. Dengan demikian harapannya adalah korban dapat merumuskan strategi perjungannya ke depan dengan lebih baik.

Eksposure dilakukan tidak sekedar mengikutkan 10 korban tadi dalam kongres. Tetapi mereka akan meluangkan 1 hari sebelumnya untuk live-in di tempat tinggal komunitas korban yang ada di Aceh. Dari sini diharapkan agar mereka dapat berinteraksi secara lebih pribadi sehingga dapat saling menggali informasi yang lebih mendalam.

Yang menarik juga, kesepuluh korban ini diperlengkapi dengan kamera dan buku catatan. Selama perjalanannya di Aceh, masing-masing dari mereka ditugasi untuk memotret dan mencatat setiap hal menarik yang mereka temukan. Kumpulan hasil catatan jurnal dan foto-foto yang dibidik oleh korban tentu akan menjadi bahan yang menarik yang bisa menonjolkan suara dan cara pandang korban.

Sampai saat tulisan ini dibuat, kongres koreban tersebut masih berlangsung. Sebelum korban berangkat ke Aceh, ada keantusiasan yang jelas mereka perlihatkan. Walaupun sebagai orang yang belum pernah masuk wilayah Aceh, ada pula yang menyimpan kekhawatiran tentang kondisi Aceh. Namun kekhawatiran tersebut tak menutup keinginan mereka untuk bersolidaritas dengan sesama korban pelanggaran HAM di Aceh. Untuk mengetahui hasil perjalanan mereka, kita bisa tunggu penuturan mereka seusai berkongres. Galang solidaritas melawan impunitas!

* TUlisan sudah sempat dipublikasikan oleh Buletin SADAR (prakarsa-rakyat.org)
** Penulis adalah Koordinator Departemen Peningkatan Kapasitas dan Pendataan IKOHI, dan anggota PRP Komite Kota Jakarta Raya

Baca Selengkapnya......

Fauzi Bowo vs Adang Dorodjatun: apa pilihan bagi Rakyat Pekerja Jakarta?

Ken Budha Kusumandaru*

Debat Calon Gubernur yang aneh di SCTV, 25 Juli 2007, menampilkan para juru kampanye dari kubu. Aneh bukan hanya dari isinya, tapi juga dari formatnya, yang hanya menampilkan para juru kampanye. Dari sini saja sudah terlihat bahwa baik Fauzi maupun Adang memang sarat digayuti kepentingan kubu yang “mendukung” di belakangnya. Terlepas dari kemungkinan bahwa SCTV memang hanya mengundang para “jurkam”, seharusnya baik Fauzi maupun Adang tidak melepaskan kesempatan untuk maju sendiri. Kenyataan bahwa mereka tidak bersedia untuk maju bertarung sendiri menunjukkan sampai di mana kualitas sesungguhnya dari kedua calon gubernur ini.

Tapi, terlepas dari kualitas pribadi mereka, yang lebih mengkuatirkan bagi rakyat pekerja justru adalah cara mereka memandang persoalan. Aku akan menyoroti soal ketenagakerjaan, satu hal yang sangat berkaitan dengan kepentingan rakyat pekerja di Jakarta.

Kubu Adang
Kubu Adang menyatakan bahwa mereka bertekad untuk menyediakan lebih banyak lapangan pekerjaan di Jakarta. Bagiku, ini satu pernyataan yang menunjukkan bahwa mereka sama sekali tidak paham masalah ketenagakerjaan, industri, kependudukan dan geopolitik Jakarta. Penyelesaian yang mereka ajukan sangat mudah dikatakan tapi luar biasa sulit untuk dilaksanakan.

Pertama, dengan cara apa lapangan pekerjaan akan disediakan? Moderator tidak mengejar lebih jauh soal ini, tapi aku curiga bahwa bagi mereka hanya terbuka dua pilihan: merekrut lebih banyak pegawai negeri atau mempercepat pelaksanaan sistem kontrak dan outsourcing. Kita tahu bahwa, menurut rejim SBY, sistem kontrak dan outsourcing adalah cara untuk menggairahkan industri dan membuka lebih banyak lapangan pekerjaan. Percuma saja membuka banyak lapangan pekerjaan kalau tidak menyediakan kepastian kerja dan jaminan kesejahteraan yang layak. Itu sama saja memberi peluang untuk terjadinya tindak penghisapan keringat buruh secara masif di Jakarta.

Sedikit informasi di luar apa yang diungkapkan dalam acara SCTV ini, kubu Adang Dorodjatun telah mengadakan kontrak politik dengan apa yang disebut “Koalisi Buruh Benahi Jakarta”. Ada beberapa butir isi kontrak ini, tapi yang paling menyolok adalah tidak disebutnya sama sekali tentang tuntutan buruh yang mengemuka paling kuat saat ini: menolak PHK massal, sistem kontrak dan outsourcing. Sementara solusi-solusi yang ditawarkan dalam kontrak ini persis dengan isi sogokan yang akan dijalankan melalui program Jamsostek, yakni perumahan murah untuk buruh. Kita perlu bertanya pada Jenderal Adang: kalau seorang buruh mengambil fasilitas rumah susun murah untuk buruh, kemudian di PHK dengan pesangon tidak memadai, bagaimana nasib rumah itu?

Kedua, dari sektor industri mana lapangan kerja ini akan dibuka? Kita semua tahu bahwa sentra-sentra industri besar sudah hampir tidak ada lagi di Jakarta – sudah dipindah ke Tangerang-Banten, Bekasi-Karawang atau Bogor. Paling-paling hanya sektor perdagangan, keuangan, administrasi-perkantoran dan jasa pendukungnya (seperti jasaboga atau cleaning service) yang bisa berkembang di Jakarta. Kalau memang sektor industri ini yang diandalkan untuk terbukanya lapangan kerja, kita harus sadari bahwa sektor jasa pada dasarnya merupakan pendukung dari sektor manufaktur. Tanpa adanya landasan yang kokoh di sektor manufaktur, sektor jasa juga akan tercekik.

Ketiga, bagaimana dengan soal arus masuk penduduk ke Jakarta? Kita tahu bahwa orang pindah ke Jakarta karena ingin mencari pekerjaan, karena mendengar di Jakarta mudah mendapatkan kerja. Pembukaan lapangan kerja di Jakarta, apalagi jika bersandar pada sektor jasa (yang relatif tidak membutuhkan ketrampilan tinggi), justru akan mendorong terjadinya arus perpindahan penduduk semakin besar ke Jakarta.

Kubu Fauzi
Jawaban dari kubu Fauzi Bowo lebih mengkuatirkan daripada jawaban asal-asalan dari kubu Adang Dorodjatun. Juru kampanye Fauzi dengan jelas-jelas menyatakan bahwa visi kubu itu adalah membuat Jakarta menjadi kota jasa, dengan meningkatkan semangat kewirausahaan warganya dan memperbesar sektor “informal” [sic!]. Lebih jauh lagi, si jurkam menyatakan bahwa selama warga Jakarta masih “bermental buruh” [sic!] mereka tidak akan pernah sejahtera.

Program ini jelas bertentangan dengan kecenderungan yang sekarang dijalankan oleh pasangan Sutiyoso-Fauzi Bowo, yakni menghancurkan semangat wirausaha warga Jakarta, dengan berbagai penggusuran yang dilakukannya. Mungkin saja kata “sektor informal” itu cuma keseleo lidah. Tapi, tetap saja tidak mengubah fakta bahwa di Jakarta ini berwirausaha dengan modal kecil berarti menentang pemerintah.

Di samping itu, jawaban yang angkuh ini menunjukkan dengan gamblang pada kita bahwa Fauzi Bowo berwatak anti-buruh. Tidak perlu diterangkan panjang lebar.

Kalau kita memperhatikan banyak poster yang bertebaran di jalan-jalan, salah satu slogan kubu Fauzi Bowo adalah: Fauzi menang, UMP Jakarta naik. Pernyataan dalam debat publik ini merupakan penyangkalan terang-terangan terhadap slogan itu. Lagipula, siapapun gubernurnya, UMP Jakarta (atau UMK di kota manapun) pasti naik tiap tahun. Persoalannya bukan pada naik atau tidak naik, tapi apakah kenaikan itu menambah kesejahteraan atau tidak cukup untuk bertahan hidup.

Kesimpulan
Jadi, saat ini kita berhadapan dengan dua pilihan: yang satu (kubu Adang) tidak memahami persoalan dan nampaknya mengandalkan penyelesaian ala neoliberal untuk soal ketenagakerjaan; sementara yang lain (kubu Fauzi) jelas dan tegas bersikap anti-buruh.

Bagiku, Rakyat Pekerja Jakarta harus menolak kedua pasangan calon gubernur ini. Apalagi kita punya tesis, kita punya prinsip, bahwa rakyat pekerja hanya akan sejahtera jika berkuasa. Maka, pengajuan calon independen dari kalangan rakyat pekerja, seorang pimpinan serikat rakyat, adalah hal yang vital dan harus dilakukan oleh organisasi-organisasi rakyat pekerja. Ditolak atau tidak ditolak adalah soal nomor 300, dengan kata lain tidak penting. Yang penting adalah mencari jalan untuk propaganda terbuka atas slogan “Buruh Berkuasa, Rakyat Sejahtera.”

Pada ujungnya, tentu kita akan menyerukan pada rakyat pekerja: kita hanya akan memilih pemimpin dari kalangan kita sendiri! Dan kita akan menyatakan diri sebagai oposisi dari rejim baru di Jakarta, siapapun yang terpilih sebagai gubernur di sini.

Jakarta, 26 Juli 2007

*Penulis adalah ketua divisi Pendidikan KP PRP

Baca Selengkapnya......

Wednesday, July 25, 2007

Perempuan dalam Politik Kelas Pekerja

Dwita Handayani*


Perempuan dalam kehidupan kesehariannya memiliki berbagai pengalaman khusus yang terkadang sulit dipahami kalangan di luar mereka. Pengalaman dan persoalan seperti kesehatan reproduksi, kesejahteraan keluarga, pendidikan, kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan sosial dan diskriminasi ditempat kerja.

Terdapat argumentasi yang menyatakan bahwa perbedaan berdasarkan jenis kelamin bukan lah suatu yang relevan bila dibahas melalui studi stratifikasi sosial (termasuk analisa kelas). Pendapat itu muncul karena ada pandangan bahwa perempuan tidak membentuk suatu “kolektivitas sosial yang terpadu”1. Perempuan tidak membentuk suatu tingkat sosial tertentu, tetapi terkonsentrasi di tingkat terendah dalam setiap kategori pekerjan, dan kurang terwakili dalam suatu posisi yang mengandung kekuasaan ekonomi dan politik.

Pembagian kerja menurut jenis kelamin rupanya universal hampir sepanjang sejarah, dalam masyarakat dimana pembagian tersebut bersifat hirakis dimana laki-laki meletakan perempuan lebih rendah. Adanya segregasi/pemisahan pekerjaan menurut jenis kelamin adalah mekanisme utama dalam masyarakat kapitalis yang mempertahankan “superioritas/kedigdayaan” laki-laki diatas perempuan karena segregasi tersebutlah yang menyebabkan upah tenaga kerja perempuan menjadi lebih murah dalam pasar tenaga kerja2. Akibat sistem patriarki yang masih melihat bahwa laki-laki sebagai kepala keluarga sehingga buruh laki-laki berhak atas tunjangan anak dan isteri. Sedangkan perempuan yang bekerja, tidak mendapat tunjangan suami dan anak, padahal kenyataannya banyak dari buruh perempuan saat ini berperan sebagai kepala keluarga.

Penggunaan tenaga kerja perempuan yang semakin besar sudah merupakan strategi penting bagi industri (perusahaan)untuk menurunkan biaya produksi. Dimana dengan kebijakan upah yang lebih murah menyebabkan posisi perempuan dibuat menjadi tergantung ke pada laki-laki.3

Dengan berkembangnya industri rumah tangga, perempuan memperoleh peran yang berarti dalam produksi dengan memamfaatkan keterampilan tradisional, terutama dalam produksi tekstil tradisional, akan tetapi upah pekerja perempuan masih lebih rendah dibandingkan dengan upah yang diberikan kepada pekerja laki-laki. Seiring pertumbuhan dan meluasnya pabrik-pabrik, perempuan dipaksa harus menerima kondisi-kondisi kerja yang sangat berbahaya -- kondisi yang sejak lama telah ditentang oleh pekerja laki-laki.

Hal itu disebabkan karena pekerja perempuan lebih “patuh dan permisif” dibandingkan pekerja laki-laki yang suka “membangkang”. Perempuan tidak saja menerima upah rendah, terkadang mereka juga acap mendapatkan pelecehan, dari atasan maupun dari pekerja laki-laki sendiri. Sehingga bisa dikatakan bahwa buruh perempuan menanggung beban ganda. Artinya: buruh perempuan tidak hanya melawan penindasan sang kapitalis semata, melainkan juga harus mengahadapi bentuk penindasan dari sistem patriaki.

Secara sadar dalam relasi ekonomi politik, dengan mempekerjakan perempuan, para pengusaha mendapat keuntungan dari segi ongkos operasional karena upah yang mereka berikan lebih sedikit dibandingkan dengan mempekerjakan para pekerja laki-laki. Ditambah lagi secara politik, buruh perempuan yang belum mempunyai kesadaran berorganisasi lebih sedikit melakukan perlawanan sehingga lebih patuh dan mudah ditundukkan.

Sejak awal pertumbuhan industri kapitalis, pekerja perempuan nampaknya kurang terorganisasi dengan baik secara kolektif dibandingkan dengan pekerja laki-laki. Dimana pekerja perempuan masih takut dan kurang mempunyai keberanian untuk bergabung dengan serikat buruh.

Padahal perempuan juga diberikan kebebasan untuk bergabung di serikat buruh yang ada di perusahaannya. Berdasarkan Konvensi ILO No.8 tentang kebebasan Berserikat menyatakan bahwa kebebesan berserikat berlaku bagi semua buruh tak terkecuali, bahwa jaminan ini di berikan tanpa mengenal diskriminasi atas pekerjaan, jenis kelamin, warna kulit, ras, keyakinan, kewarganegaraan ataupun pandangan politik.4

Sementara itu juga, dalam beberapa kasus perempuan mulai ,mundur atau keluar dari keanggotaan serikat buruh karena tidak tahan dengan berbagai bentuk intimidasi pihak perusahaan, mulai dari tindakan mutasi sampai dengan cara mengancam akan memberhentikan atau mem PHK kan mereka.

Buruh perempuan dalam memperjuangkan hak – haknya contohnya saja hak pekerja perempuan untuk memperoleh cuti haid masih sering mengalami hambatan dan perlakuan – perlakuan yang tidak wajar bahkan berujung pada PHK sepihak.5 Karena posisi mereka dibuat sangat lemah, selain harus bertarung dengan pihak pengusaha dan undang-undang perburuhan yang tidak berpihak pada buruh, juga harus menghadapi instansi pemerintah, aparat keamanan dan berbagai aparat desa yang masih didominasi oleh watak patriakis yang kuat..

Perempuan selalu dilekatkan dengan kepemilikan budaya perlawan yang lemah dibandingkan laki-kali dengan adanya hegemoni sejarah kekuasaan laki-laki. Dalam praktek keseharian represi dari pihak perusahaan dilakukan dengan cara memanggil satu persatu dan disuruh keluar dari keanggotaan serikat, kalau mereka tidak mau maka masa kontraknya diancam tidak akan akan diperpanjang lagi

Perjuangan Buruh Perempuan: Sebuah Ancaman?

Situasi di alam patriarkis seperti sekarang, membuat banyak pekerja laki-laki jauh lebih maju dalam memandang serikat buruh sehingga mereka bisa berorganisasi untuk mencapai tingkat kekuasaan tertentu dalam menghadapi para majikan -- apalagi diperkuat oleh kebiasaan kepemimpinan dalam keluarga, seperti juga hak-hak superior yang dimiliki laki-laki dalam ekspresi kenegaraan.

Konflik horizontal pun kemudian dimunculkan antara buruh laki-laki dengan buruh perempuan, dalam keseharian kita bisa menemukan para pekerja laki-laki secara sadar ataupun tidak telah memandang angkatan kerja perempuan sebagai ancaman dalam pasar tenaga kerja. Realitas ini merupakan ciri khas dari sistem ekonomi kapitalis yang melanggengkan sistem sosial patriarkis.

Pekerja perempuan yang dibayar lebih rendah adalah ancaman yang lebih buruk. Realitas di atas sering dipresentasikan dalam pandangan normatif masyarakat dengan meletakan perempuan dalam urusan sumur, dapur, dan kasur. Atau dengan perkataan lain, perempuan dikembalikan kepada pekerjaan domestik, sementara laki-laki mengerjakan pekerjaan di bidang publik.

Pikiran bahwa buruh perempuan adalah ancaman -- dalam berbagai bentuknya, baik secara kultural hingga persaingan memperebutkan lapangan kerja – bila mau secara jujur kita periksa di lingkungan kita masih merajela sebagai kesadaran umum yang dibiarkan. Cara pandang yang sesungguhnya justru melecehkan segala analisa sosiologis dan historis yang telah membuktikan adanya sistem patriarkis yang dipelihara oleh sistem-sistem eksploitasi masyarakat hingga era kapitalisme sekarang ini.

Perjuangan Perempuan adalah Kewajiban Politik Rakyat Pekerja

Pembagian kerja berdasar perbedaan jenis kelamin harus dipandang sebagai suatu yang tidak emansipatoris dan harus dilenyapkan bila kita percaya kaum perempuan berhak menyamakan status sosial dan mengembangkan potensi kemanusiaan secara total. Sejarah menunjukkan perjuangan emansipatoris itu adalah sesuatu yang mungkin dan punya banyak jejak dalam sejarah masyarakat kita.

Perjuangan perempuan di Nusantara bukanlah sesuatu yang ahistoris. Ia tidak hanya diwakili oleh R.A Kartini dengan bias catatan sejarah kolonialisme dan pendangkalan makna oleh rejim Orde Baru. Rohana Kudus di Bukittinggi jauh di awal abad ke 20 juga sudah menggorganisir ibu-ibu pedang kaki lima dan industri sulaman dengan membuat koran perempuan pertama di Asia Tenggara dan membuat perkumpulan Amai Candung sebagai media kolektif perjuangan hak-hak perempuan.

Pelanggengan domestifikasi sistem ekonomi politik kapitalisme terhadap perempuan harus diakhiri dengan gerakan perempuan yang terorganisir dengan sadar akan hak-hak dasar baik di dalam rumah, di tempat kerja, dan ruang publik lainnya. Perjuangan ini juga perlu dilakukan dengan bekerja sama dengan buruh laki-laki yang sudah mempunyai kesadaran gender yang lebih maju guna melawan sisitem patriaki yang masih mendominasi.

Sistem patriaki yang menindas ini pun masih melekat pada organisasi yang mengaku paling progresif sekalipun. Oleh karena itu mari kita sama-sama memeriksa dalam organisasi kita, serikat buruh tempat kita bergabung, keluarga kita, lingkungan sekitar, bahkan sampai pada level negara, apakah sistem patriaki ini sudah hilang? Apabila masih belum hilang, maka mari kita sama-sama berhimpun dan melakukan perlawanan, tidak hanya terhadap sistem kapitalis, juga terhadap sistem patriaki yang menindas.6

*Penulis adalah anggota PRP Komite Kota Tangerang

1 Anthony Giddens, Kelompok, Kekuasaan, dan Konflik, hal. 489, Rajawali Persada, 1981.
2 ibid, hal. 505
3 Ekonomi Pasar Sosial, FES, 2005
4 ABC Hak-hak Serikat Buruh, TURC, 2005
5 Sharing pengorganisiran dengan kawan-kawan aktifis perempuan KASBI Tangerang
6 Sharing dengan kawan-kawan Pelaksana sekolah Demokrasi Kabupaten Tangerang

Baca Selengkapnya......

Penganiayaan masyarakat sipil oleh praja IPDN

PERNYATAAN SIKAP
PERHIMPUNAN RAKYAT PEKERJA (PRP)

Usut Tuntas penganiayaan masyarakat sipil oleh praja IPDN!!!
Hentikan budaya kekerasan di IPDN!!!
Kekerasan praja IPDN merupakan cerminan aparat pemerintah!!!


Salam Rakyat Pekerja,

Sudah sering kita mendengar di dalam IPDN praja-praja senior menyiksa praja-praja juniornya sebagai bentuk pembinaan dan penghormatan. Pembinaan dengan penyiksaan tersebut telah beberapa kali menyebabkan terbunuhnya beberapa praja muda dari berbagai daerah. Namun kasus penganiayaan yang menyebabkan seseorang terbunuh itupun sampai sekarang tidak dapat diungkap dengan tuntas. Ataupun tidak ada upaya kongkret dari pihak pejabat IPDN ataupun pemerintah yang terkait untuk memperbaiki manajemen pendidikan di IPDN.

Belum lama ini, kekerasan yang dilakukan oleh praja IPDN kembali memakan korban. Namun kali ini bukan sesama praja yang menjadi korban tindakan kekerasan tersebut. Kali ini masyarakat sipil yang tinggal di Jatinangor, daerah tempat beradanya IPDN, yang telah menjadi korban tindakan kekerasan IPDN. Wendi Budiman, korban tindakan kekerasan oleh beberapa praja IPDN tersebut telah meninggal.

Hal ini jelas menguatkan mental-mental para calon pejabat tersebut yang senang menggunakan kekerasan untuk menunjukkan kekuasaannya. Ini juga jelas tergambar dalam fenomena kekerasan yang dilakukan oleh para anggota Satpol PP yang melakukan penggusuran di terhadap pemukiman-pemukiman masyarakat. Walaupun para praja ini nantinya tidak akan menjadi seorang anggota Satpol PP, namun mereka lah yang akan menjadi atasan ataupun pejabat di pemerintahan daerah. Merekalah nantinya yang akan memerintahkan Satpol PP tersebut untuk melakukan penggusuran dengan kekerasan. Inilah mental para calon pejabat di pemerintahan daerah dan pemerintahan pusat yang gemar menggunakan tindakan kekerasan untuk mencapai tujuannya ataupun menunjukkan kekuasaannya.

Meninggalnya Wendi Budiman akibat tindakan kekerasan yang dilakukan oleh sekelompok praja IPDN juga menguatkan sangat berbahayanya bila tindakan kekerasan yang dilakukan oleh para praja IPDN tersebut dibiarkan. Bila kelak para praja IPDN tersebut memimpin di dalam pemerintahan daerah ataupun pemerintahan pusat, maka bukan hanya Wendi Budiman saja yang akan menjadi korbannya, namun kehidupan seluruh rakyat Indonesia akan terancam.

Inilah suatu bentuk bagaimana memelihara kekuasaan dengan menggunakan kekerasan yang dahulu juga dipraktekkan oleh Orde Baru. Seharusnya tindakan kekerasan oleh praja IPDN tersebut tidak dapat kita tolerir lagi. IPDN, sebagai lembaga pendidikan calon pejabat pemerintahan tersebut ternyata juga tidak mampu untuk menciptakan pejabat-pejabat pemerintahan yang melindungi, mengayomi dan bersahabat dengan rakyat. Karena seharusnya para pejabat tersebutlah yang melayani rakyat Indonesia, bukannya malah menakuti rakyatnya sendiri.

Maka dari itu kami dari Perhimpunan Rakyat Pekerja (PRP) menyatakan sikap:

  1. Turut berduka cita dengan meninggalnya Wendi Budiman, warga Jatinangor, yang telah menjadi korban tindakan kekerasan para praja IPDN
  2. Mengutuk tindakan kekerasan yang dilakukan oleh para praja IPDN kepada masyarakat sipil.
  3. Pemerintah yang memiliki fungsi melayani dan melindungi rakyatnya dalam mencapai kesejahteraan telah gagal, karena tindakan kekerasan tersebut dilakukan oleh para calon pejabat negara. Dan ini bukan hanya merupakan tanggung jawab pribadi ataupun para pelakunya saja, namun pemerintah juga harus bertanggungjawab terhadap meninggalnya Wendi Budiman.
  4. Kepolisian Negara Republik Indonesia harus segera mengusut dengan tuntas kasus penganiayaan masyarakat sipil oleh para praja IPDN, serta mengadili para pelakunya.
  5. IPDN sebaagi sebuah lembaga pendidikan calon pejabat harus dibubarkan karena telah beberapa kali kasus tindakan kekerasan yang menyebabkan meninggalnya seseorang telah terjadi. Hal ini menunjukkan ketidakmampuan para pengelola IPDN untuk membina dan mendidik para calon pejabat tersebut dengan baik.
  6. Kepada seluruh elemen pro demokrasi untuk segera membentuk persatuan multi sektor dan melakukan perlawanan terhadap segala bentuk penindasan terhadap rakyat Indonesia.


Jakarta, 25 Juli 2007

Komite Pusat Perhimpunan Rakyat Pekerja


Sekretaris Jenderal



Irwansyah



Baca Selengkapnya......

Soldiaritas terhadap kasus penganiayaan masyarakat sipil oleh Praja IPDN

PERNYATAAN SIKAP BERSAMA KOMITE RAKYAT UNTUK KEMANUSIAAN (KORAK)
TERHADAP KASUS PENGANIAYAAN MASYARAKAT SIPIL OLEH PRAJA IPDN JATINANGOR


Salam Pembebasan!

SATU LAGI korban jatuh oleh tindak kekerasaan praja IPDN Jatinangor, kali ini korban berasal dari warga Jatinangor sendiri, alm. Wendi Budiman yang dianiaya hingga meninggal dunia. Kejadian ini semakin menguatkan bukti dan membenarkan kecaman kita kepada institusi kedinasan ini bahwa institusi ini merupakan warisan kental rezim Orba dengan kekhasan pendidikan fasis-militeristik-nya.

Dengan kejadian tsb, SEKALI LAGI IPDN juga sama sekali tidak memperlihatkan watak institusi pendidikan yang seharusnya memiliki kaitan dan tanggung jawab sosial terhadap lingkungan sekitarnya (masyarakat Jatinangor). Hari ini IPDN sebagai institusi tidak hanya berpotensi besar mengancam praja-prajanya sendiri, tapi juga kini telah menjadi ancaman bagi masyarakat Jatinangor, bahkan lebih jauh lagi ancaman bagi masyarakat sipil Indonesia! Sarat dengan kekerasan, serta mengabaikan posisinya sebagai pelaku pendidikan yang seharusnya berbakti pada masyarakat. Hal tersebut dapat dinilai sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan dan hak asasi yang dilindungi hukum internasional, juga konstitusi.

Maka, terutama dengan kejadian terakhir yang menimpa alm. Wendi Budiman dan keluarga, kami Komite Rakyat untuk Kemanusiaan menyampaikan ucapan duka dan SEKALI LAGI menyatakan:

  1. Mengutuk keras tindakan penganiayaan yang dilakukan oleh praja IPDN terhadap Wendi Budiman (21) warga dusun Ciawi RT 03 RW 04, Desa Cikeruh, Kecamatan Jatinangor.
  2. Menuntut pengusutan tuntas kasus penganiayaan terhadap alm. Wendi Budiman, tangkap dan adili seluruh pelaku penganiyayaan.
  3. Menuntut pembubaran IPDN sesegera mungkin karena telah merugikan masyarakat dan menghisap dana pendidikan yang dibayar oleh pajak rakyat.
  4. Hentikan pemborosan anggaran negara untuk institusi pendidikan non-depdiknas, alokasikan untuk pendidikan murah untuk rakyat.
  5. Dan menolak segala macam bentuk tindakan kekerasan aparatus dan ideologi.

Jatinangor, 24 Juli 2007

Komite Rakyat untuk Kemanusiaan (KORAK):

KMS, LMND, LPPMD, Masyarakat Jatinangor,
JPK: Apokalips, Asal Sada, Ikohi, Imparsial, KASBI Jabar, Kompak, Kontras,
PRP Komite Kota Bandung Raya, PBKM Jabar, Pusik Parahyangan, PPKMB, PPKGB,
Praxis, Rumah Kiri, UKSK UPI, Ultimus




Baca Selengkapnya......

Tuesday, July 24, 2007

Haruskah Televisi Mematikan Anak-anak Kita Secara Perlahan

Sapto Raharjanto*

Beberapa hari ini di berbagai media massa, baik nasional maupun lokal, kerapkali ditemui berita mengenai aksi simpatik dalam rangka memperingati Hari Anak Nasional (HAN), ada sebuah hal yang menarik dari berbagai rangkaian aksi tersebut, terutama mengenai tema yang diusung, kampanye untuk mematikan televisi selama satu hari pada tanggal 23 Juli 2007 yang bertepatan dengan peringatan Hari Anak Nasional, munculnya gagasan ini adalah semata-mata dilatar belakangi oleh banyaknya tayangan televisi yang dinilai tidak mendidik terhadap anak-anak yang merupakan calon-calon penerus bangsa yang akan menggantikan generasi tua untuk meneruskan tongkat estafet kepemimpinan bangsa.

Apabila kita ulas mengenai fenomena budaya pertelevisian kita akhir-akhir ini , maka pantaslah apabila banyak kalangan yang sudah mulai geram terhadap industri pertelevisian kita yang hanya bertorientasi pada rating dan banyaknya iklan yang ditayangkan didalam suatu program acara televisi yang ujung-ujungnya hal ini ialah kembali kepada orientasi profit oriented, tanpa ada sebuah tanggung jawab sosial dari dunia pertelevisian kita terhadap masa depan generasi penerus dengan tanpa memperhatikan berbagai efek dari sebuah penayangan program acara. Semisal banyaknya tayangan sinetron yang mengusung tema romantisme remaja yang celakanya banyak cerita sinetron tersebut yang menceritakan kisah percintaan Anak Baru Gede (ABG), yang masih berusia SMP, ataupun bahkan masih berusia SD,…waahhh,..bagaimana kita bisa membayangkan efek psikologis dari tayangan tersebut terhadap perkembangan anak-anak kita,…mereka pasti akan lebih malas belajar, serta lebih senang untuk meniru apa yang ada didalam tayangan sinetron tersebut untuk dipratekkan didalam keseharian mereka.

Di kalangan kaum ibu, yang merupakan salah satu penentu didalam keberhasilan proses pendidikan anak, juga ada banyak keprihatinan, karena pada jam-jam belajar (pukul 19.00-21.00) ibu-ibu kita lebih tertarik untuk menyaksikan tayangan-tayangan gossip artis, sinetron-sinetron, mulai yang bertemakan misteri yang dibungkus secara apik dalam nuansa religi, sampai yang bertemakan percintaan usia dini (ABG). Inilah efek yang sangat luar biasa dari dunia pertelevisian kita, yang mungkin takkan pernah terlintas didalam konstruksi pemikiran kita bagaimana berpengaruhnya telelevisi,…ya sebuah benda kotak kaku tetapi mempunyai dampak yang sangat besar terhadap perkembangan mental generasi penerus bangsa.

Di Negara kita sebenarnya sudah ada lembaga yang mengatur mengenai permasalahan ini yaitu KPI (Komisi Penyiaran Indonesia), yang bertugas untuk mengatur dan menyeleksi tayangan-tayangan televisi di Indonesia, tetapi bukannya bermaksud menjadikan KPI sebagai sebuah lembaga pencabut SIUPP layaknya masa Orde Baru, tetapi KPI harus kita fungsikan sebagai lembaga yang bisa menyaring kualitas dan mutu tayangan televisi, masih ingatkah kita kasus tayangan Smack Down beberapa waktu lalu??...(dalam hal ini harusnya KPI sudah mulai tanggap terhadap tayangan-tayangan yang kurang mendidik dan memiliki efek yang buruk terhadap perkembangan mental anak). Hal ini semata-mata bertujuan untuk menyelamatkan generasi penerus bangsa dari cengkeraman budaya berorientasikan profit cirikhas kapitalisme yang sama sekali tak mau peduli dengan urusan mutu tayangan,…karena semakin bodoh suatu generasi, maka akan semakin mudah kapitalisme untuk menipu kita,..dan ketika KPI mengalami sebuah kemandulan didalam memberikan sanksi kepada stasiun-stasiun televisi yang banyak menayangkan tayangan-tayangan yang kurang bermutu tersebut, maka tugas kitalah untuk memberikan sanksi terhadap stasiun televisi tersebut dengan bersama-sama mematikan pesawat televisi kita, karena sekali lagi yang perlu kita catat ialah,…salah satu alat pembodohan yang efektif bagi kapitalisme ialah melalui sebuah benda kotak yang bernama televisi,…….So shutdown your television…….

*Penulis adalah Peneliti di Centre of Local Economic and Politic Studies (CoLEPS) Jember

Baca Selengkapnya......

Monday, July 16, 2007

Demokratisasi Kampus Universitas Jember

PERNYATAAN SIKAP
PERHIMPUNAN RAKYAT PEKERJA (PRP)


Tegakkan demokratisasi kampus!!!
Libatkan mahasiswa dalam pemilihan rektor!!!



Salam rakyat pekerja,

Universitas sebagai sebuah pencetak calon-calon intelektual muda di Indonesia, seharusnya dapat menerapkan sebuah kultur demokrasi di dalam kampus. Namun hal ini tidak terjadi di Universitas Jember. Dalam pemilihan rektor Universitas Jember, ada upaya pembatasan bagi yang dapat menghadiri acara pemilihan rektor di kampus tersebut.

Mahasiswa yang ingin memasuki ruang pemilihan rektor, dihalang-halangin oleh petugas satuan pengamanan kampus. Pemilihan rektor tersebut hanya dapat dihadiri oleh anggota senat mahasiswa saja, dengan alasan pemilihan rektor tersebut sifatnya tertutup. Tetapi mahasiswa mencium adanya kecurangan dan politik uang dalam pemilihan rektor tersebut.

Hal ini menjadi sangat aneh, karena kalau tidak ada yang ditutup-tutupi oleh pihak kampus, seharusnya pemilihan rektor tersebut dapat dihadiri oleh seluruh mahasiswa. Karena mahasiswa memiliki hak untuk dapat mengawasi dan bahkan memilih rektor yang dikehendaki. Tetapi kenyataannya sangat berbeda. Pemilihan rektor yang seharusnya terbuka, ternyata hanya diikuti oleh segelintir mahasiswa yang terlibat dalam senat mahasiswa.

Isu kecurangan dan politik uang dalam pemilihan rektor tersebut dikhawatirkan akan berdampak pada jalannya operasionalisasi kampus sehari-hari di kemudian hari. Alam demokrasi seharusnya dapat dijaga dan dihidupkan di dalam kampus, sehingga setiap mahasiswa memiliki kesempatan dan hak yang sama dengan mahasiswa yang lainnya.

Akibat ingin menyaksikan pemilihan rektor tersebut, mahasiswa pun terlibat bentrok dengan petugas satuan pengamanan kampus. Arogansi pihak kampus dengan merepresi kehidupan demokratisasi di dalam kampus merupakan sebuah perbuatan yang mencoba menghilangkan hak-hak mahasiswa di dalam kampus. Bahkan tindakan pemukulan yang dilakukan oleh satuan petugas pengamanan kampus merupakan bentuk-bentuk kekerasan di dalam kampus.

Maka dari itu, kami dari Perhimpunan Rakyat Pekerja (PRP) menyatakan sikap:

  1. Pihak kampus harus menjamin dan melindungi seluruh hak-hak mahasiswa dan mewujudkan demokratisasi di dalam kampus.
  2. Pemilihan rektor harus dibuka kepada seluruh mahasiswa karena ini merupakan hak bagi mahasiswa untuk mengikuti jalannya pemilihan rektor di Universitas Jember.
  3. Pejabat kampus harus bertanggungjawab terhadap tindakan kekerasan yang dilakukan oleh satuan petugas pengamanan Universitas Jember.
  4. Hentikan segera praktek kecurangan dan politik uang dalam proses pemilihan rektor Universitas Jember.
  5. Kepolisian harus mengusut tindakan kekerasan dan praktek politik uang yang dilakukan oleh pejabat kampus, karena hal tersebut merupakan tindakan kriminal dan penghancuran terhadap demokratisasi kampus.
  6. Departemen Pendidikan Nasional harus mengusut praktek kecurangan dan politik uang yang dilakukan oleh pejabat kampus Universitas Jember.
  7. Kepada seluruh elemen pro demokrasi untuk segera bersatu dan membentuk perlawanan pekerja multisektor agar dapat berjuang bersama-sama dalam menegakkan kesejahteraan rakyat pekerja.


Jakarta, 16 Juli 2007

Komite Pusat Perhimpunan Rakyat Pekerja



Sekretaris Jenderal



Irwansyah



Baca Selengkapnya......

Friday, July 13, 2007

Sekelumit Kisah menjadi buruh di Tangerang

Kiswoyo (Pak Kumis)*

Cerita menjadi buruh di Indonesia mungkin pada umumnya sama. Cerita tersebut merupakan dampak dari disahkannya UU NO 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Maraknya upaya perusahaan untuk melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), adalah merupakan sebuah upaya untuk mengganti status karyawannya yang awalnya karyawan atau buruh tetap menjadi buruh kontrak, harian lepas atau bahkan yang lebih tragis adalah dengan memberlakukan sistem borongan. Dengan menjadikan status buruhnya menjadi buruh kontrak, maka pengusaha akan meraup keuntungan yang berlimpah. Hal ini dikarenakan pengusaha tidak perlu untuk memberikan imbalan sesuai dengan buruh yang mempunyai status buruh tetap.

Ada beberapa contoh kerugian ketika status buruh itu adalah buruh kontrak, antara lain:


  1. Buruh dengan status buruh tetap berhak atas UMP/UMK sedangkan buruh kontrak upahnya masih di bawah UMP/UMP. Upah buruh kontrak dihitung per hari yang jumlahnya sebesar Rp 16.000,-
  2. Buruh dengan status sebagai buruh tetap berhak atas cuti sakit untuk ke dokter, sedangkan buruh kontrak bila sakit dan tidak masuk kerja maka buruh tersebut tidak mendapatkan upah. Belum lagi, karena buruh tersebut tidak masuk kerja, maka buruh tersebut kemungkinan besar akan terancam nasibnya karena akan diputus kontrak kerjanya.
  3. Buruh dengan status sebagai buruh tetap berhak atas cuti tahunan, cuti haid dan melahirkan serta cuti-cuti lainnya sesuai dengan UU Ketenagakerjaan. Sedangkan hak istimewa tersebut, bagi buruh kontrak tidak akan mungkin didapat. Bila buruh kontrak hendak menanyakan tentang haknya atau bahkan hendak mengajukan cuti, maka kemungkin ancamannya adalah PHK.
  4. Selain itu, bila buruh kontrak berencana untuk membentuk atau ikut bergabung dengan organisasi buruh yang independen, maka pastinya pengusaha tidak segan-segan untuk mem-PHK dengan berbagai cara, termasuk dengan memanfaatkan bantuan para preman, militer, polisi atau bahkan Dinas Tenaga Kerja yang selama ini menjadi tempat berlindungnya para pengusaha.

Maka lengkaplah penderitaan kaum buruh yang harus berjuang sendirian melawan kedholiman dari berbagai pihak. Belum lagi buruh tersebut harus berjuang bagaimana menghidupi dirinya dan keluarganya. Rasa kepedulian pada sesama buruh harus mulai dibangun sejak saat ini. Karena saya merasakan masih banyak buruh-buruh di Indonesia yang masih tidak peduli dengan apa yang terjadi pada diri mereka. Bahkan mereka sendiri tidak mengetahui apa sebenarnya yang mereka hadapi. Mereka hanya mementingkan diri mereka sendiri, dan tidak sadar akan penjajahan yang telah terjadi pada kaum buruh pada umumnya.

Kesadaran untuk berorganisasi menjadi penting bagi kaum buruh. Dan kaum buruh, harus pintar untuk melihat mana organisasi yang benar-benar peduli dengan nasib buruh dan mana yang tidak. Karena banyak organisasi yang hanya merupakan formalitas dan tidak pernah mementingkan kepentingan buruh yang merupakan anggota dari organisasi buruh tersebut.

Untuk itu saya akan menceritakan sedikit pengalaman saya. Pengalaman-pengalaman di atas, yang saya tahu, benar-benar terjadi di Banten atau tepatnya di kota dan kabupaten Tangerang. Beberapa waktu yang lalu saya pernah bekerja di salah satu pabrik di Kabupaten Tangerang, tepatnya di PT Sarasa Nugraha. PT Sarasa Nugraha beralamat di Jalan Raya Serang KM 24,5, Desa Pasir jaya, Kecamatan Balaraja, Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten.

Saya bekerja di pabrik tersebut awalnya pada tanggal 17 Juli 1994. Pada saat saya awal bekerja di pabrik tersebut, saya merasakan bahwa ada beberapa situasi dan kondisi kerja yang tidak nyaman. Ditambah lagi pengaturan kerja yang sangat semrawut. Akibatnya ada beberapa orang yang memiliki potensi dan keahlian di bagian tertentu tidak ditempatkan sesuai dengan keahliannya. Hal ini dikarenakan orang-orang tersebut harus mengcover atau menggantikan kerja-kerja para pengurus organisasi buruh yang memang oleh perusahaan tidak diberikan tugas yang jelas. Para pengurus organisasi buruh ini sangat dekat dengan perusahaan, sehingga mereka diberikan keistimewaan dibandingkan dengan buruh-buruh yang lainnya. Kebetulan organisasi buruh yang ada di perusahaan saya tersebut hanya Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI). Saya melihat setiap hari aktivitas atau kerja-kerja para pengurus organisasi ini hanya datang dan mengobrol di ruang personalia, ruang HRD atau kalau tidak, pasti berada di ruangan Manager Produksi.

Dari hari ke hari hingga berganti bulan bahkan berganti tahun kondisi kerja seperti itu terus terjadi. Saya sendiri tidak tahu pasti apakah kondisi kerja seperti itu akan berdampak buruk bagi perusahaan atau tidak. Tetapi yang pasti, saya mendengar banyak sekali keluhan-keluhan dari para buruh yang berkaitan dengan upah mereka. Hal ini dipicu karena buruh yang telah bekerja selama puluhan tahun, ternyata mendapatkan upah sama besarnya dengan buruh baru masuk kerja. Kemudian keluhan dari buruh selanjutnya adalah soal K3, kemudian hak untuk cuti yang seharusnya dapat diambil oleh buruh ternyata dipersulit oleh perusahaan. Kemudian ada lagi bagaimana sulitnya buruh yang sakit tetapi tetap harus dipaksa bekerja oleh perusahaan, dan tidak diperbolehkan beristirahat, serta hanya boleh berobat di Puskesmas.

Sedangkan bagi buruh yang sakit parah dan seharusnya mendapatkan penanganan proses untuk mengurus surat rekomendasi agar mendapatkan rujukan ke rumah sakit, maka prosesnya sangat berbelit-belit dan sulit. Kalaupun buruh tersebut sudah mendapatkan surat rujukan, maka paling buruh tersebut hanya dirawat di RSUD. Dan kalau dirawat inap, maka diharuskan buruh tersebut dirawat di kelas III. Itupun penggantian biaya pengobatan oleh perusahaan hanya diberikan sebesar 50% saja dari seluruh biaya pengobatan. Sedangkan untuk keluarga buruh itu sendiri, sama sekali tidak mendapatkan penggantian biaya pengobatan dari perusahaan.

Kondisi kerja seperti di atas tidak pernah ditanggapi oleh para pengurus organisasi buruh. Akhirnya kemudian kondisi tersebut menimbulkan kekecewaan terhadap para pengurus organisasi buruh yang ada. Terjadilah krisis kepercayaan terhadap organisasi buruh di tempat bekerja saya, khususnya kepada SPSI. Pemogokan buruh dengan tuntutan untuk mengganti organisasi buruh di sana pun terjadi. Pemogokan itu kemudian berujung pada penggantian organisasi buruh, dari SPSI menjadi SPTP. Seluruh kepengurusan organisasi buruh kemudian dirubah.

Sejak pergantian tersebut, banyak perubahan-perubahan yang terjadi di tempat saya bekerja. Keberhasilan-keberhasilan tersebut antara lain: Tunjangan Masa Kerja (TMK), uang makan, seragam, pengobatan yang akhirnya juga bisa menanggung keluarga dan tidak terpaku di Puskesmas atau RSUD saja, serta masih banyak lagi keberhasilan yang bersinggungan dengan kesejahteraan buruh.

Mungkin ini saja dulu yang dapat saya ceritakan untuk saat ini. Nanti akan saya ceritakan tentang kronologi kerja-kerja kawan-kawan yang menjadi pahlawan dalam melakukan perubahan, dan apa saja kendala-kendala yang dihadapi.

Salam Perjuangan

*Anggota SPTP dan anggota PRP Komite Kota Tangerang

Baca Selengkapnya......

Solidaritas terhadap perjuangan buruh PT Eka Swastya

PERNYATAAN SIKAP
PERHIMPUNAN RAKYAT PEKERJA (PRP)


Disnaker Kabupaten Tangerang harus melindungi kepentingan buruh!!!
Hentikan tindakan brutal kepolisian terhadap buruh!!!
Bebaskan buruh yang ditangkap oleh kepolisian!!!


Salam rakyat pekerja,

Tindakan brutal aparat negara terhadap buruh kembali terjadi di negeri ini. Buruh-buruh PT Eka Swastya yang menuntut hak-hak mereka harus menerima perlakuan semena-mena dari aparat kepolisian dan Disnaker Kabupaten Tangerang. Hal ini terjadi pada tanggal 12 Juli 2007, ketika buruh-buruh yang menginap di Disnaker Kabupaten Tangerang diangkut paksa oleh kepolisian resort Tangerang dibantu oleh Disnaker Kabupaten Tangerang.

Buruh-buruh PT Eka Swastya telah menginap di Disnaker Kabupaten Tangerang sejak tanggal 14 Juni 2007. Mereka menginap di Disnaker Kabupaten Tangerang karena ingin mengadukan nasibnya yang diperlakukan tidak adil oleh pihak PT Eka Swastya. Namun sejak tanggal 14 Juni, tuntutan buruh PT Eka Swastya tidak pernah diperhatikan oleh pihak Disnaker Kabupaten Tangerang, sehingga mereka memutuskan untuk menginap di sana.

Hal ini jelas menunjukkan ketidakpedulian Disnaker kabupaten Tangerang terhadap buruh di wilayah mereka. Disnaker yang seharusnya melindungi nasib buruh, ternyata hanyalah isapan jempol. Upaya untuk melindungi buruh-buruh yang merasakan ketidakadilan tidak pernah ditunjukkan oleh pihak Disnaker Kabupaten Tangerang.

Pada tanggal 12 Juli 2007, buruh PT Eka Swastya mencoba untuk mengadukan nasibnya ke DPRD kabupaten Tangerang dan sebagian lagi aksi ke Jakarta. Sementara hanya 6 orang saja yang tinggal di Disnaker Kabupaten Tangerang. Melihat kekuatan buruh yang tinggal di Disnaker kabupaten Tangerang hanya sedikit, kemudian moment ini dimanfaatkan oleh pihak kepolisian resort Tangerang dan Disnaker. Mereka kemudian menangkapi para buruh yang tertinggal di Disnaker Kabupaten Tangerang.

Upaya evakuasi para buruh yang menginap di Disnaker Kabupaten Tangerang oleh pihak kepolisian sebenarnya telah lama direncanakan oleh pihak kepolisian. Namun karena kekuatan buruh sangat besar maka hal tersebut ditunda sampai kekuatan buruh semakin mengecil.

Penangkapan secara paksa 6 orang buruh tersebut jelas-jelas menunjukkan keberpihakan aparat negara terhadap pengusaha. Disnaker Kabupaten Tangerang yang jelas-jelas seharusnya melindungi kaum buruh, ternyata juga memusuhi buruh dan berpihak kepada para pengusaha. 6 orang buruh tersebut saat ini berada di Kepolisian Resort Tangerang dan sedang diurus BAP nya.

Melihat kejadian di atas, maka kami dari Perhimpunan Rakyat Pekerja (PRP) menyatakan sikap:

  1. Bebaskan buruh-buruh PT Swastya yang ditangkap oleh kepolisian resort Tangerang. Karena jelas buruh-buruh tersebut hanya mencoba untuk memperjuangkan nasibnya dan mengadukan ketidakadilan yang dilakukan oleh PT Eka Swastya.
  2. Manajemen PT Eka Swastya harus ditangkap dan diadili oleh kepolisian karena telah menyengsarakan kehidupan buruh-buruhnya.
  3. Kepolisian Resort Tangerang harus segera menangkap pemilik PT Eka Swastya dan segera membebaskan buruh-buruh yang telah ditangkap. Karena kepolisian harus bersikap adil dan tidak berpihak kepada pengusaha.
  4. Disnaker Kabupaten Tangerang harus melindungi nasib para buruh yang tertindas dan tidak berpihak kepada pengusaha. Karena Disnaker Kabupaten Tangerang merupakan benteng perlindungan bagi kaum buruh di wilayah Tangerang.
  5. Pemerintah harus memeriksa dan mengadili Kepala Kepolisian Resort Tangerang dan Kepala Disnaker Kabupaten Tangerang karena telah membantu menyengsarakan kehidupan kaum buruh di wilayah Tangerang.
  6. Kepada elemen gerakan pro demokrasi untuk segera menyatakan dukungannya terhadap perjuangan buruh PT Eka Swastya.


Jakarta, 13 Juli 2007

Komite Pusat Perhimpunan Rakyat Pekerja



Sekretaris Jenderal



Irwansyah

Baca Selengkapnya......

Monday, July 2, 2007

Satpol PP, Militerisme dan Posisi Kelas Kaum Miskin Perkotaan

Ken Budha Kusumandaru*

Prolog

Satu malam, seperti biasa, motor GL100 tua yang aku pakai mogok karena kepanasan. Kali itu, si jago mogok berhenti tepat di depan sebuah warung jamu di ujung jalan Tambak, Manggarai. Dasar, pikirku, tapi kebetulan - aku bisa minta mampir mendinginkan mesin. Pemilik kios jamu itu adalah seorang bapak setengah baya, barangkali limapuluhan usianya, seorang Betawi asli (sekalipun Betawi itu sendiri merupakan peleburan beberapa bangsa) yang leluhurnya juga lahir dan wafat di daerah itu.

Kami pun bercakap-cakap. Setelah bicara ke sana ke mari tentang keluarga beliau, kami sampai juga ke topik favoritku (pasti dong! :D). Kami mulai bicara tentang Pilkada, satu topik yang menarik sebenarnya kalau mau didiskusikan lebih lanjut. Kawan-kawan yang berdebat soal Pilkada seharusnya turun mencari sample semacam ini, mengadakan wawancara informal secara tersebar untuk meraba langsung pandangan masyarakat Jakarta, terutama warga Betawi, terhadap event politik ini. Tapi, sudahlah, bukan itu yang ingin aku bicarakan. Yang lebih menarik bagiku adalah pandangan beliau tentang banyaknya geng preman yang mengatasnamakan Betawi dan Satpol PP.

Yang paling menarik bagiku dari percakapan itu adalah kegeraman yang ditunjukkan bapak penjual jamu itu pada kedua hal yang disebut di atas. Bagi beliau, geng-geng preman itu sama sekali tidak "berwatak Betawi" dan memalukan bagi warga Betawi asli karena sebagian besar anggota geng itu bukan orang Betawi. Bagi beliau, entah benar entah tidak, budaya Betawi menjunjung tinggi kegagahan (ini mengutip kho ping hoo, kelihatannya) dan hanya mau berkelahi jika membela kebenaran, itupun harus satu lawan satu. Geng-geng "Betawi" ini tidak lebih dari sekumpulan tukang pukul yang patuh pada juragan-juragan, bukan jagoan betulan. Barangkali, yang ada dalam pikiran bapak itu, yang patut disebut "jagoan" itu semacam si Pitung itulah.

Kalau pada geng "Betawi", si bapak menunjukkan kegeraman, pada Satpol PP ia menunjukkan kesedihan. Ternyata, di masa mudanya, sekitar tahun 1980-an awal, ia sempat bekerja di bagian Kamtibmas, di Pemda DKI Jakarta. Ia bercerita bagaimana dia selalu membocorkan rencana penggusuran pada para "calon korban". Dibujuknya para "gepeng" (begitu istilahnya dulu untuk para tunawisma dan penghuni rumah gubug) untuk membongkar dulu rumah mereka. Nanti, setelah musim gusuran lewat, mereka bisa membangun kembali tempat mereka. Yang penting, menurutnya, bahan bangunan selamat, karena kayu dan kardus itu merupakan harta-benda tak ternilai bagi para penghuni rumah gubug ini. Satpol PP yang sekarang begitu telengas. Tidak kenal perikemanusiaan. Raja Tega. Padahal, sebagian besar anggota Satpol PP sekarang ini adalah pemuda-pemuda miskin juga. Barangkali di antara sanak-keluarga mereka ada yang menjadi pedagang kaki-lima atau penghuni gubug. Terlebih lagi, status kerja anggota Satpol PP sekarang adalah kontrak, beda dengan Kamtib di jaman dulu yang berstatus pegawai negeri. Jika kontrak habis, mau kerja apa para mantan Satpol PP ini? Paling-paling juga buka lapak. Bagi bapak itu, benar-benar tidak masuk akal bahwa ada orang yang bersedia melakukan kekejaman macam itu hanya demi makan hari ini. Mungkin bapak itu tidak bisa mengerti bahwa watak yang biasanya ditunjukkan para kriminal kelas teri ini bisa-bisanya ditunjukkan juga oleh aparat berseragam.

Militerisme dan kelas pekerja

Kita sendiri biasanya beranggapan bahwa militer merupakan alat negara penindas - bahkan "negara" itu sendiri, dalam pengertian bahwa "Negara adalah alat yang dipakai kelas berkuasa untuk merepresi kemungkinan munculnya konflik dan perlawanan kelas-kelas tertindas." Namun, sesungguhnya hubungan antara Militer dan Kelas Tertindas (dalam hal ini kelas-kelas pekerja) tidaklah selinear atau sedikotomis yang dibayangkan. Ingatlah hukum dialektika, bahwa apa yang berlawanan sesungguhnya satu dan saling menyaratkan.

Historyworld.net, satu situs sejarah yang cukup berwibawa, memiliki banyak artikel yang menerangkan mengenai perkembangan militer menjadi seperti yang kita lihat saat ini.Dan salah satu kenyataan pahit yang disajikan sejarah pada kita adalah bahwa tulang punggung setiap ketentaraan yang kuat adalah kelas pekerja.

Sejak awal terbentuknya ketentaraan, kelas pekerja selalu hadir di garis terdepan tiap medan pertempuran. Merekalah yang gugur dalam jumlah paling besar di setiap kesempatan benturan antar pasukan. Merekalah yang dikenal sebagai "tentara jalan kaki" (foot soldier), "umpan peluru" (cannon fodder), "kuda beban" (grunts), atau istilah-istilah lain yang pada dasarnya merendahkan derajat mereka yang harus berkorban paling dahulu dan paling besar dalam tiap pertempuran ini.

Sejak pertama kali masyarakat berkelas menampakkan batang hidungnya di muka bumi, rakyat pekerja telah dikerahkan untuk membela kepentingan kelas berkuasa. Memang, sejak masyarakat terbelah menjadi kelas-kelas yang saling bertarung, ketentaraan tidak lagi merupakan pekerjaan sampingan melainkan pekerjaan purna-waktu. Tentara purna-waktu (standing army) inilah yang justru menjadi ciri masyarakat berkelas. Tapi, sekalipun tugas utama tentara ini adalah menindas rakyatnya sendiri, anggota-anggotanya direkrut dari kalangan kelas pekerja. Setelah direkrut, mereka ditempatkan dalam pengawasan ketat dan arahan dari para perwira yang secara eksklusif direkrut dari kalangan kelas berkuasa.

Selain itu, seperti yang terjadi di kerajaan Mesopotamia (yang diteruskan oleh Babilonia), kelas pekerja dikerahkan untuk melancarkan invasi dan penjarahan budak ke desa-desa atau negeri orang. Jika diperlukan, kelas pekerja akan diperintahkan untuk meninggalkan pekerjaannya dan memanggul senjata, membela kepentingan kelas berkuasa. Jadi, untuk menambah wilayah kekuasaan (dan otomatis menambah jumlah kelas pekerja yang dikuasainya), kelas berkuasa sejak dulu telah menggunakan tenaga kelas pekerja di negerinya sendiri.

Semakin lama semakin nampak pembelahan antara para "foot soldier" dengan para perwira ini. Di kerajaan Mesir Kuno, misalnya, para perwira dan bangsawan maju perang dengan menunggang kereta perang (chariot), sementara tentara biasa tetap berjalan kaki. Dengan kereta perang, posisi para perwira ini menjadi lebih aman dan dapat melakukan pembantaian tentara musuh secara lebih leluasa. Perhatikan bahwa "tentara musuh" yang dibantai ini adalah yang berasal dari kelas pekerja di negeri "musuh" itu. Jarang sekali antar perwira ini bertemu dan beradu nyawa.

Pembelahan ini semakin tajam dengan semakin jauhnya perbedaan kemampuan ekonomi antara kelas berkuasa dan kelas pekerja. Di abad pertengahan, misalnya, perbedaan antara para ksatria dan para prajurit biasa sangat menyolok, terutama karena biaya yang perlu dikeluarkan untuk peralatan perang seorang ksatria tidak akan pernah dapat dibayar seorang prajurit biasa, yang berasal dari kelas pekerja. Kuda perang dan baju zirah dari baja terlalu mahal untuk dibeli, belum lagi mengingat biaya perawatannya.

Curangnya, ketika kondisi ini berbalik dengan ditemukannya crossbow (panah yang dilepaskan dengan menggunakan pegas), halberd (tombak panjang dengan kait dan kapak kecil di bawah mata tombak) dan senjata api, para perwira ini langsung mengambil langkah seribu. Kalau dulu mereka berada paling depan, nampak gagah dan jaya karena terlindung peralatan perangnya, kini mereka lebih suka "memimpin dari belakang" (lead from behind - satu ungkapan yang absurd).

Sekarang ini justru makin terang-terangan "tentara jalan kaki" ini dijadikan umpan peluru. Para prajurit, yang barangkali berasal dari keluarga buruh, dipaksa saling tembak dengan sesama prajurit yang juga berasal dari kelas pekerja. Sementara para perwira berperang dengan aman di garis belakang.

Kisah tentang Jenderal McArthur bisa menjadi contoh yang luar biasa. Komandan Pasukan AS di Filipina ini membiarkan belasan ribu prajuritnya dalam keadaan kelaparan dan kekurangan amunisi di Bataan dan Corregidor, kabur ke Australia ketika Jepang menyerbu Filipina. Sejarah resmi AS membenarkan tindakan McArthur ini dengan alasan ini adalah perintah Komando Tertinggi dan bahwa McArthur sebenarnya enggan pergi kalau tidak dipaksa. Sejarah alternatif (seperti yang dimuat dalam situs "JAPAN ATTACKS THE PHILIPPINES, 1941- 42" http://www.users.bigpond.com/pacificwar/gatheringstorm/Philippines/Philindex.html) membeberkan fakta bahwa McArthur bukan saja melalaikan persiapan pertahanan Filipina, tapi juga sempat-sempatnya membeli saham Lepanto Mining Company yang harganya jatuh menjelang penyerbuan Jepang. Saham inilah yang membuat McArthur menjadi milioner seusai perang. Di samping itu, McArthur masih sempat memaksa Presiden Filipina waktu itu, Manuel Quezon, untuk memberinya Piagam Penghargaan sebagai Pahlawan Filipina, penghargaan yang disertai uang hadiah sebesar USD 500ribu (bernilai sekitar USD 5juta sekarang).

Kelas berkuasa tetaplah kelas berkuasa, mereka akan merebut seluruh kemuliaan ketika pertempuran dimenangkan tapi mereka tidak akan berkedip sedikit juga ketika mengorbankan prajuritnya untuk mendapat kemenangan itu. Mengapa mereka harus berkedip? Bukankah kita tahu bahwa para umpan peluru ini diambil dari kelas pekerja?

Ketika seseorang berkhianat pada kelasnya sendiri

Di lain pihak, banyak anggota kelas pekerja yang melihat karir kemiliteran sebagai peluang untuk keluar dari kesengsaraan dan himpitan penderitaan hidup yang selama ini dialaminya. Sekalipun ia tidak menyadarinya, secara naluriah ia tahu bahwa dengan demikian ia telah menyeberang. Ia telah menjadi pengkhianat bagi kelasnya sendiri. Dan seorang pengkhianat cenderung akan berusaha membuktikan dirinya di hadapan majikan barunya secara berlebihan. Ia akan menjadi lebih kejam dan jahat daripada jika anggota kelas berkuasa itu sendiri yang menjalankan penindasannya. Beberapa artikel penelitian tentang Psikologi Kekuasaan (bisa dicari di Google dengan kata kunci "psychology of power") menunjukkan bahwa orang-orang yang memegang kekuasaan cenderung bersikap tidak sewajarnya karena ia tahu tidak akan mendapat akibat buruk dari tindak-tanduknya. Bisa dibayangkan bahwa mereka yang tadinya merayap-rayap di lumpur kehinaan dan penindasan kini bisa petantang-petenteng berkuasa, tentu mereka mabuk berat!

Salah satu ciri hegemoni adalah jika anggota-anggota kelas yang dikuasai beraspirasi atau bercita-cita menjadi bagian dari kelas berkuasa, atau menganggap apa yang dilakukan kelas berkuasa sebagai teladan mereka. Tidak mengherankan jika banyak anggota kelas pekerja di Jogjakarta (bahkan sampai hari ini) yang bangga dan bahagia ketika diangkat menjadi pelayan atau abdi dalem keraton. Kita juga mendengar berbagai kisah nina-bobo yang menggambarkan betapa bahagianya seorang rakyat jelata ketika dinikahi oleh keluarga raja, atau seorang petani miskin yang menjadi pelayan seorang ksatria kemudian berkesempatan membuktikan dirinya layak menjadi ksatria. Contoh modern dari kisah-kisah semacam ini barangkali adalah seorang anak petani dari dusun, yang mendapat kesempatan berkuliah di kota besar lewat jalur PMDK (sekarang masih ada gak sih?), lalu belajar sekeras mungkin untuk kelak bisa bekerja di sebuah kantor mentereng, kalau bisa perusahaan luar negeri. Ia sama sekali tidak berpikir bagaimana bisa kembali ke desa membangun desanya. Aku bertemu banyak sekali contoh seperti ini ketika kuliah di IPB.

Dari tinjauan empirik (dari pengamatan saja; ada yang bisa kasih tinjauan akademiknya?), ada beberapa posisi yang rentan menjerumuskan orang dalam pengkhianatan terhadap kepentingan kelasnya sendiri:


  1. Ketika seseorang berada dalam posisi kepemimpinan yang tidak demokratis atas komunitas. Kepemimpinan yang tidak didasarkan pada struktur demokratik bisa terjadi dalam kumpulan formal ataupun informal. Hal ini tidak harus didahului dengan satu niat buruk, misalnya ambisi pribadi ingin kaya, dsb. Bisa jadi, awalnya adalah niat baik untuk membangun komunitas. Tapi, karena struktur organisasinya tidak menjamin adanya regenerasi yang terus-menerus, komunitas pelan-pelan menjadi tergantung. Si pemimpin tersebut makin lama makin jago (karena terus mengasah kemampuannya), jarak antara tingkat kemampuan pribadinya dengan tingkat kemampuan orang lain dalam komunitas itu menjadi jauh sekali, bahkan mungkin tidak terkejar lagi. Si pemimpin ini rentan berkhianat karena para penguasa borjuasi tahu betul bahwa ia adalah sasaran tunggal. Penguasa borjuasi dapat memilih untuk mengguyur si pemimpin ini dengan harta melimpah (atau apa saja yang diinginkannya) atau melenyapkannya sekalian (jika sogokan tidak mempan). Begitu si pemimpin terbeli (atau terbunuh, mana saja yang datang duluan) organisasi pun akan terjinakkan.

  2. Ketika seseorang tidak memiliki pijakan kelas. Ketika seorang buruh di-PHK tanpa kejelasan masa depan, ketika seorang petani kehilangan tanah tanpa tahu ke mana harus meneruskan hidup, ketika seorang pelajar lulus tanpa kemungkinan melanjutkan pendidikan atau masuk dunia kerja, mereka terlempar ke dalam sebuah limbo - keadaan tanpa pijakan, tanpa kepastian. Dan, lembaga yang paling menyediakan kepastian - baik dari segi penghasilan, kekuasaan, disiplin dan komando - adalah lembaga yang dekat dengan militerisme. Tidak begitu mengherankan, (hampir) tidak akan ada anggota kelas pekerja yang dengan sukarela bergabung dalam organisasi preman, atau SatpolPP sekalipun, jika mereka bukan pengangguran.

Pengangguran dan Masalah Kemiskinan Perkotaan

Kedua kondisi yang kupaparkan di atas, sialnya, hadir bersamaan di tengah komunitas-komunitas miskin perkotaan. Komunitas miskin perkotaan ini terbentuk sebagai akibat dari pembangunan kapitalisme yang menggunakan pola akumulasi modal primitif (primitive accumulation of capital). Pola ini diterapkan pada masa-masa awal pembangunan kapitalisme di Eropa, dan kini diterapkan kembali untuk pembangunan kapitalisme di negeri-negeri kapitalis terbelakang yang menjadi sasaran penghisapan negeri imperialis di Dunia Pertama. Pola akumulasi primitif ini pada dasarnya berusaha menceraikan para produsen dari alat kerja dan hasil produksinya. Dengan kata lain, penghancuran pola produksi sisa peradaban Berburu-Mengumpul (misalnya nelayan tradisional) dan Feudal (misalnya pertanian). Tujuan utama dari pola akumulasi primitif ini adalah penciptaan lapisan masyarakat yang tidak lagi memiliki alat untuk bertahan hidup dan harus bergantung pada kapitalisme agar bisa bertahan. Di mana-mana, di seluruh negeri yang baru belakangan diserap ke dalam kapitalisme (yang biasa disebut Dunia Ketiga) kita lihat terjadinya akumulasi primitif ini.

Kita melihat brutalitas kapitalisme primitif ini di depan mata kita, dalam sejarah kontemporer Indonesia. Brutalisme ini terjadi bukan saja dalam perampasan tanah di pedesaan, tapi juga dalam pengabaian pedesaan dalam pembangunan fasilitas penunjang kehidupan. Semua "pembangunan" yang dilakukan Orde Baru, dilakukan di perkotaan. Para petani yang telah kehilangan tanah terpaksa pindah ke kota-kota besar karena tidak ada sarana penunjang kehidupan di pedesaan. Sekalipun tidak langsung, inipun salah satu bentuk kekerasan yang luar biasa, yang memaksa orang untuk pergi atau mati kelaparan.

Tapi, mereka tidak punya bekal yang cukup untuk mencari penghidupan di perkotaan. Sama seperti yang dialami petani-petani Inggris di abad ke-16, para petani Indonesia yang kehilangan tanah ini juga terdampar di kota-kota besar tanpa pegangan. Tapi, petani Inggris di abad ke-16 berhadapan dengan kapitalisme yang baru bangkit, yang baru saja merealisasikan potensinya sebagai sebuah sistem ekonomi-politik. Sekalipun dengan brutal para petani ini diubah menjadi proletariat, industri yang tersedia cukup banyak untuk menampung cadangan tenaga kerja baru ini. Sebaliknya, para pendatang baru di perkotaan Indonesia masa kini tidak dapat menemukan pekerjaan yang memadai jumlahnya. Jangankan dalam tingkat upah, pertumbuhan jumlah lowongan kerja saja tidak berimbang dengan jumlah pendatang baru yang tiba tiap tahu di kota-kota besar di seluruh Indonesia.

Karena itu, pola akumulasi primitif ini menghasilkan banyak sekali kantung-kantung kemiskinan yang kumuh di perkotaan. Di kantung-kantung kemiskinan ini, warga berjuang dari hari ke hari untuk mendapatkan pekerjaan apapun yang bisa membantu mereka melewatkan hari itu dan, jika mereka beruntung, keesokan harinya. Keterdesakan untuk bertahan hidup ini membuat warga di kampung-kampung kumuh ini mengerjakan apa saja, hal-hal yang tidak terbayangkan, untuk dijadikan uang. Dan sempitnya peluang yang tersedia menyebabkan pertarungan memperebutkan peluang ini menjadi sangat keras.

Struktur kepemimpinan di tengah masyarakat miskin perkotaan jarang sekali bersifat demokratis. Biasanya, hanya orang-orang "kuat" yang mampu memimpin komunitas yang hanya diikat oleh satu hal: sama-sama menunggu kesempatan untuk "sukses" - apapun makna "sukses" bagi mereka. Mereka telah dipaksa untuk menjadi proletariat karena telah dilucuti dari sarana produksi milik mereka. Namun mereka tidak bisa masuk ke dalam dunia proletariat karena kurangnya lapangan pekerjaan. Suasana di mana mereka sudah dipaksa berhadapan dengan taring telanjang kapitalisme, sementara mereka tidak dapat menikmati solidaritas yang menjadi ciri proletariat, menyebabkan mereka (dalam keadaan tidak terorganisir) sangat mudah terjatuh ke arah pemikiran vigilantisme - hukum ditentukan oleh mereka yang kuat. Pemikiran ini hanya berjarak sejengkal saja dari militerisme skala penuh.

Dan, sialnya, kelompok-kelompok vigilantes (premanisme terorganisir) dan paramiliter (orang sipil yang dipersenjatai dan bertingkah laku seperti tentara) di Indonesia biasanya melakukan perekrutan dengan preteks (dalih) membagi lapak dan lapangan pekerjaan. (Ini baru pengamatan sepintas dan dari beberapa wawancara informal. Butuh disangkal lewat penelitian ilmiah.) Banyak orang juga ikut menjadi anggota organisasi vigilantes dan paramiliter karena tertarik dengan janji disalurkan bekerja. Dengan cara ini, organisasi preman menjadi agen yang kuat untuk menegakkan sistem ketenagakerjaan ala Neoliberal, yakni Labor Market Flexibility.

SatpolPP tidaklah terlalu berbeda. Banyak artikel yang mengutip wawancara dengan para anggota Satpol PP (yang bertanggungjawab dalam kekerasan yang terjadi di berbagai penggusuran) menyatakan bahwa sebenarnya hati nurani mereka menjerit. Tapi, apa daya, begitu kata mereka, perintah atasan dan mereka juga butuh makan.

Pernyataan seperti inilah yang menjadi ciri dari Lumpenproletarisme. Lumpenproletariat adalah proletariat sampah, yang hidup dari memangsa sesama proletariat. Kata lumpen berasal dari bahasa Jerman, der Lumpen, yang artinya lap dapur. Ia bukan kriminal biasa. Ia adalah drakula, dari jenis yang terburuk. Dan drakula-drakula ini adalah bahan mentah yang siap dibentuk menjadi senjata pemukul yang ampuh, pelayan bagi kelas berkuasa.

Implikasinya bagi kita

Pengorganisiran terhadap kelompok yang secara pukul-rata disebut "kaum miskin perkotaan" biasanya disandarkan pada perebutan hak sebagai warganegara - khususnya hak mendapat pelayanan publik. Ini tentu bukan satu hal yang keliru, karena mereka justru terdampar di perkotaan karena kehilangan hak mereka atas alat-alat produksi. Lagipula, kondisi mereka yang mengais hidup dari hari ke hari ini akan sangat terbantu dengan perjuangan atas hak sebagai warganegara. Perjuangan atas hak warganegara ini dapat menjadi satu alat pengorganisiran yang ampuh, sebagaimana telah ditunjukkan oleh pengalaman SRMK (Serikat Rakyat Miskin Kota) yang mengorganisir di wilayah Jakarta Barat.

Namun demikian, analisis kelas kita menunjukkan bahwa perjuangan atas hak warganegara ini bukanlah alat pukul utama yang bisa kita bangun dari komunitas miskin perkotaan. Kita harus melihat mereka sebagaimana mereka adanya: pasukan cadangan proletariat (reserve army of proleariat).

Jika komunitas miskin perkotaan dipandang secara demikian, maka perjuangan kelas pekerja tidak boleh ditujukan secara eksklusif untuk pembelaan terhadap buruh yang masih bekerja di pabrik, melainkan juga terhadap komunitas ini. Serikat-serikat buruh harus merangkul organisasi-organisasi komunitas, bersama-sama memperjuangkan perbaikan nasib di komunitas sekaligus penciptaan lapangan kerja baru. Lebih baik lagi kalau bukan sekedar merangkul, tapi memang dengan sengaja serikat buruh mengirim organisernya untuk membantu pengorganisiran di komunitas. Organisasi-organisasi kelas kapitalis mengirim organisernya ke sini, mengapa serikat-serikat buruh tidak? Bukankah kelas pekerja ingin mengambil kekuasaan dari tangan kelas kapitalis? Tanpa bertarung di semua lini, termasuk memperebutkan kepemimpinan di tengah komunitas miskin perkotaan, mimpi kelas pekerja untuk berkuasa akan sulit tercapai.

Persatuan organik antara serikat buruh dengan serikat komunitas akan berguna juga berkenaan dengan persoalan organisasi-organisasi paramiliter, termasuk SatpolPP. Organisasi paramiliter ini menarik anggotanya dari kalangan miskin perkotaan sekaligus menggunakan orang-orang miskin ini di barisan terdepan ketika memukul komunitas miskin lainnya. Dengan masuknya pengorganisiran kelas ke tengah komunitas miskin perkotaan, kita akan mengajarkan dan melatih komunitas itu untuk bersolidaritas. Solidaritas akan memudahkan kita melancarkan perlawanan terhadap organisasi paramiliter, yang terkadang menuntut digunakannya metode-metode yang keras lawan keras. Solidaritas juga akan melunakkan, minimal mematahkan kohesi di tengah organisasi paramiliter ini, melumpuhkan kemampuannya bergerak sebagai satu unit yang utuh dan tak kenal belas-kasihan. Kalau kita beruntung, dan cukup tabah berjuang, ada kemungkinan kita bisa mendorong terjadinya pembelotan. Jika para anggota SatpolPP atau organisasi paramiliter lain bisa dibangkitkan solidaritasnya, ada kemungkinan mereka akan membangkang pada perintah atasan mereka dan balik berpihak justru pada komunitas yang tadinya menjadi sasaran penindasan mereka.

Ada banyak kemungkinan terbuka untuk ini. Mari kita diskusikan lebih lanjut.

Jakarta,1 Juli 2007

*Ketua Divisi Pendidikan Komite Pusat Perhimpunan Rakyat Pekerja

Baca Selengkapnya......

Sunday, June 24, 2007

Solidaritas terhadap mantan buruh RCTI

PERNYATAAN SIKAP
PERHIMPUNAN RAKYAT PEKERJA (PRP)


Hentikan segera pemberangusan terhadap hak-hak rakyat!!!
Security Group Artha (SGA) harus bertanggunjawab terhadap aksi pemukulan buruh!!!
Hari Tanoesoedibjo harus diusut akibat pemecatan sepihak terhadap buruhnya!!!


Salam rakyat pekerja,

Pengebirian demokrasi di Indonesia kembali terjadi. Aksi pemukulan terhadap buruh-buruh yang ingin memperjuangkan haknya kerap kali dilakukan oleh orang-oang bayaran para pemilik modal. Bahkan penolakan pemilik modal untuk mematuhi keputusan hukum yang telah berjalan, kembali diinjak-injak. Negara pun tidak dapat memaksakan keputusan hukum yang telah berlaku kepada para pemilik modal yang jelas-jelas telah dinyatakan bersalah dalam keputusan Mahkamah Agung.

Jelas bahwa aksi pemukulan terhadap mantan buruh RCTI yang tergabung dalam Ikatan Solidaritas Karyawan (ISKA) RCTI merupakan suatu pencorengan terhadap demokrasi di Indonesia. Pada tanggal 22 Juni 2007, ISKA RCTI dan beberapa elemen pro demokrasi yang tergabung dalam Solidaritas Masyarakat untuk Karyawan (SEMARAK) RCTI melakukan aksi damai ke gedung BEJ di Jalan Jend Sudirman Kav 52-53. Aksi ini dilakukan karena pihak RCTI pada tahun 1999 melancarkan aksi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) kepada 250 buruhnya. Perjuangan para mantan buruh pun dilakukan agar pihak RCTI dapat memenuhi hak-hak buruhnya.

Kemudian pada tahun 2003, Mahkamah Agung (MA) memutuskan untuk menolak permohonan ijin pengusaha RCTI agar dapat melakukan PHK terhadap 250 buruhnya. Bahkan pihak RCTI, dalam keputusan MA, dinyatakan harus menerima kembali para buruh yang di-PHK untuk bekerja kembali seperti semula. Namun sampai 2007, keputusan MA tersebut tidak dipenuhi oleh pihak RCTI.

Maka dari itu, kawan-kawan mantan buruh RCTI bersama dengan beberapa elemen pro demokrasi lainnya berencana untuk melakukan aksi damai. Aksi damai ini pun dipicu karena mantan buruh tersebut mendengar bahwa RCTI berencana akan go public. Isu go public itu sendiri dirasa oleh para mantan buruh sebagai upaya untuk menutupi citra RCTI yang sebenarnya.

Ketika aksi damai ke gedung BEJ dilancarkan oleh para mantan buruh RCTI dan beberapa elemen pro demokrasi, ternyata mereka dihadapi oleh tindak kekerasan dari aparat keamanan Security Group Artha (SGA). Upaya aparat keamanan SGA untuk membubarkan aksi damai ini memang sudah terlihat ketika rombongan aksi itu datang. Awalnya mereka menanyakan surat ijin untuk melakukan aksi demonstrasi dari kepolisian. Kemudian ketika diperlihatkan surat pemberitahuan untuk melakukan demonstrasi kepada kepolisian, mereka pun memaksa utnuk mengambil surat tersebut. Hal inilah kemudian yang memicu ketegangan antara para pengunjuk rasa dan aparat keamanan dari SGA.

Seharusnya ketika para buruh telah mendapatkan surat ijin dari kepolisian untuk melakukan aksi demonstrasi, maka aksi tersebut tidak dapat dibubarkan begitu saja oleh pohak lain. Karena surat pemberitahuan tersebut merupakan suatu bukti bahwa aksi tersebut telah diketahui oleh kepolisian dan kepolisian akan melindungi rakyatnya yang melakukan aksi demonstrasi untuk dapat mencapai hak-haknya.

Namun aksi pembubaran dengan melakukan tindakan kekerasan, berupa pemukulan dan tendangan ke beberapa anggota aksi pun terjadi. Kembali Indonesia telah dicoreng dengan sikap arogansi para aparat keamanan swasta yang berusaha melindungi majikannya. Pihak kepolisian yang menjaga aksi tersebut pun tidak dapat melakukan apapun, atau bahkan malah mendiamkan tindakan kekerasan dari aparat keamanan SGA.

Sementara Hari Tanoesoedibjo, yang merupakan Direktur Utama PT Media Nusantara Citra (MNC) telah jelas-jelas melanggar keputusan MA. Namun sampai saat ini tidak ada upaya apapun yang dilakukan oleh negara terhadap penolakan keputusan MA dari seorang warga negara tersebut. Bahkan sebenarnya dalam Pengadilan Hubungan Industrial Jakarta Barat, Hari Taoesoedibjo telah dinyatakan sebagai tersangka dalam kasus ini.

Dalam permasalahan ini, jelas kita melihat keberpihakan negara kepada para pemilik modal. Sementara rakyat yang seharusnya dilindungi dan bahkan diperkuat dengan keputusan MA bahwa para mantan buruh tersebut dalam pihak yang benar, namun ketika mereka ingin menggapai hak-haknya, mereka malah dipukuli.

Maka dari itu, kami dari Perhimpunan Rakyat Pekerja (PRP) menyatakan sikap:

  1. Negara telah gagal dalam melindungi hak-hak rakyatnya, dan lebih berpihak kepada para pemilik modal yang telah merugikan rakyat.
  2. Hari Tanoesoedibjo, sebagai Direktur Utama MNC, harus diusut dan dihukum karena telah dinyatakan sebagai pihak yang bersalah oleh keputusan MA dalam kasus PHK kepada buruhnya.
  3. Pihak RCTI harus menerima kembali para mantan buruh yang telah di-PHK, karena hal tersebut telah diperkuat dalam keputusan MA.
  4. Pihak kepolisian harus segera mengusut hingga tuntas dan menghukum aparat keamanan dari SGA yang telah melakukan tindakan kekerasan terhadap para mantan buruh RCTI dan beberapa elemen pro demokrasi di BEJ. Karena sikap arogansi dan premanisme dari aparat keamanan SGA tersebut telah melanggar HAM.
  5. Kepada elemen pro demokrasi lainnya untuk segera membentuk persatuan multi sektor rakyat pekerja dan melakukan perjuangan politik karena tindakan kekerasan terhadap rakyat yang ingin hak-haknya terpenuhi akan terus berlangsung, selama pemerintahan ini tidak berpihak kepada rakyat yang tertindas.


Jakarta, 24 Juni 2007

Komite Pusat Perhimpunan Rakyat Pekerja



Sekretaris Jenderal



Irwansyah



Baca Selengkapnya......

Friday, June 22, 2007

(Di)Hilang(Kan)nya Sebuah Rasa Kebangsaan

Angky B. Putrantyo*

Di sadari atau tidak, Indonesia hari ini mulai berusaha menghilangkan arti penting sebuah bangsa. Para pendiri ini republik ini bercita-cita mendirikan bangsa yang berdaulat atas dasar Pancasila bukan ideologi lain! Proses panjang yang berdarah-darah dalam menegakkan republik ini tidak lagi dipelajari dengan baik dan benar, kepentingan politis dan kepentingan-kepentingan golongan lain—baik itu agama atau yang lain—seakan-akan lebih penting dari pada rasa kebangsaan.

Indonesia hari ini, mulai tidak sadar(mungkin sengaja untuk tidak sadar) bahwa kesalahan-kesalahan di masa lalu kembali diulangi. Ada beberapa hal yang mudah dirasakan bahwa ada usaha-usaha untuk menghilangkan rasa kebangsaan tersebut. Beberapa hal diantaranya adalah: pertama, dibubarkannya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Sebagian golongan yang mengaku rakyat Indonesia bangga akan hasil tersebut (mereka merasa dirinya paling benar), namun mereka lupa bahwa orang-orang yang selama rezim Orde Baru dianggap sebagai tapol adalah anak-anak bangsa yang turut serta menegakkan Pancasila.

Mereka-mereka yang di stigma legal sebagai PKI, adalah orang-orang yang pernah mempertahankan Pancasila, turut berjuang menegakkan keutuhan bangsa. Bahkan seharusnya kita bertanya kepada mereka-mereka yang tidak menginginkan rekonsiliasi itu. Apakah mereka pernah memperjuangkan Pancasila?

Kedua, Indonesia hari ini berupaya melakukan pembelengguan akal pikir generasi muda dengan cara membredel buku-buku pelajaran sejarah. Indonesia hari ini lupa bahwa bangsa ini punya sejarah gelap, sejarah yang berdarah, sejarah pembantaian yang dilakukan oleh bangsa sendiri. Sudah seharusnya generasi muda tahu semua itu. Sudah saatnya generasi muda belajar dari kelampauan untuk mengkonstuk hari ini dan masa depan yang mapan.

Seharusnya kita sadar, bahwa realitas yang ada saat ini adalah usaha-usaha pembelokan sejarah dan memutar balikkan fakta. Pemberedelan buku-buku pelajaran tersebut tidak memiliki landasan yang fundamental, hanya karena penulisan G 30 S tanpa embel-embel PKI saja tentu bukan alasan yang substansial. Apabila kita mau sedikit cermat dan bijaksana, Sejarawan Hilmar Farid dalam wawancara sebuah media massa mengatakan bahwa para pemimpin dan pelaku peristiwa pada bulan September 1965 menamakan dirinya gerakan 30 September dan bukan G30S/PKI. Istilah G30S/PKI adalah produk politik Orde Baru sebagai salah satu proses Genoside dan berhasil meracuni cara berfikir bangsa ini.

Berjalannya ide-ide kebangsaan hanya akan berhasil apabila ada kerjasama yang baik antar elemen di masyarakat. Kerjasama tersebut berawal dari diri kita masing-masing yang harus belajar sadar bahwa mereka-mereka yang di-stigma PKI adalah anak-anak bangsa. Mau belajar dengan rendah hati untuk saling memaafkan agar tidak ada lagi konflik yang dapat menghancurkan bangsa ini atau bahkan menghilangkan arti penting kebangsaan.

*Ketua Biro Penelitian&Pengembangan Center of Local Economic and Politic Studies (CoLEPS) Jember

Baca Selengkapnya......

Reforma Agraria Sebagai Alat Pemberdayaan Rakyat

Angky B. Putrantyo*

Reforma agraria bukanlah isu baru bagi rakyat Indonesia, di era 1960-an isu ini lebih dikenal dengan nama Landreform dan dituduh sebagai sebuah gerakan komunis pada saat itu. Membicarakan landreform atau reforma agraria bukanlah membahas komunis atau bukan komunis, konsep ideal reforma agraria yang pernah ada di Indonesia—UUPA 1960 & UUPBH, TAP MPR No. IX/MPR/2001, Perpres No. 36/2005— sebenarnya mengandung sebuah nilai yang sangat mulia yaitu mensejahterakan kehidupan rakyat.

UUPA 1960 yang disusun oleh Panitia 11 (sebut saja begitu, karena terdiri dari perwakilan 10 ormas tani dan seorang dari Departemen Agraria), berhasil menghancurkan dua produk kolonial Belanda (Domein Verklaring& Agrarische Wet) dari bumi Indonesia. UUPA 1960 adalah sebuah produk dalam negeri yang diproses oleh dewan legislatif dengan rujukan UUD 1945 pasal 33 yang mana disebutkan bahwa Negara menguasai tanah, air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya untuk kemakmuran rakyat yang sebesar-besarnya.

Carut marutnya kondisi ekonomi dan politik Indonesia di era 1960-an, menjadikan pelaksanaan landreform tidak berjalan sebagai mana mestinya. Landreform yang di jalankan setengah hati oleh beberapa golongan menumbuhkan benih-benih konflik di lapisan masyarakat pedesaan. Isu-isu landreform di era 1960-an juga di gunakan sebagai alat pembenaran genoside sepanjang tahun 1965 sampai dengan tahun 1967.

Belajar dari pengalaman historis(mungkin), pemerintah negeri ini mengeluarkan produk baru dengan nama TAP MPR No. IX/MPR/2001 dan Perpres No. 36/2005. Lagi-lagi sebuah konsep yang ideal tentang pembaharuan agraria dan pengelolaan Sumber Daya Alam. Seharusnya konsep ini tidak hanya berakhir pada tataran teoritis dan habis setelah menjadi wacana publik. Konsep ini akan semakin ideal apabila pemerintah dengan serius menjalankannya dan bisa dirasakan hasilnya oleh rakyat di negeri ini.

Banyak hal yang bisa kita rumuskan dari beberapa kasus dan kondisi terbaru tentang gagasan reforma agrarian dewasa ini. Beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh pemerintah antara lain: pertama, pembagian tanah bagi rakyat yang tidak memiliki mata pencaharian khusunya di daerah pedesaan. Disini perlu diperhatiakan bahwa tanah-tanah yang di bagikan untuk rakyat adalah tanah-tanah yang produktif dan tidak bermasalah (sengketa) dengan pihak lain.

Kedua, pemerintah harus sadar bahwa pemberian sertifikat oleh pejabat terkait bukanlah sebuah solusi akhir bagi rakyat. Pemerintah paling tidak bisa membentuk sebuah kelompok tani di daerah tersebut guna mengolah tanah yang telah di sertifikatkan tadi secara bersama-sama demi kemakmuran anggota kelompok tersebut. Selain sebagai sumber mata pencaharian yang berkelanjutan, kelompok tani ini juga sebagai pengawas agar tanah yang telah disertifikatkan tidak di jual atau di gadaikan. Sebab apabila tanah-tanah tadi dijual atau digadaikan maka rakyat dimungkinkan akan kembali miskin.

Reforma agraria yang digulirkan oleh pemerintah tentunya juga mencakup aspek-aspek pemberdayaan masyarakat pemilik tanah, dalam artian bahwa pemerintah juga memberikan bantuan permodalan, pemeliharaan dan menjamin kesejahteraan dengan cara memberikan atau membantu mencarikan pasar untuk memasarkan hasil pertanian dari kelompok tersebut. Hal ini tentunya juga harus ada pemahaman bersama antara kelompok tani tersebut dengan aparatur terkait seperti BPN.

Apabila reforma agraria benar-benar di jalankan oleh pemerintah negeri ini, maka amanat pada UUD 1945 tentang menciptakan kemakmuran bagi rakyat dapat terwujud. Sudah saatnya Pancasila dan UUD 1945 dijalankan secara konsisten. Reforma agraria adalah alat untuk kembali memberdayakan rakyat bukan memperdaya rakyat!!!!.

*Ketua Biro Penelitian dan Pengembangan Centre of Local Economic and Politic Studies (CoLEPS) Jember

Baca Selengkapnya......

Demokrasi Sebuah Kata Final?

Riky Akira*

Demokrasi prosedural seakan-akan merupakan satu-satunya pilihan sistem politik bagi seluruh negara di berbagai belahan dunia saat ini. Gelombang demokratisasi negara-negara ini telah berlangsung sejak akhir perang dunia kedua dan semakin menguat pada dekade 1980-an.

India merupakan salah satu negara yang tidak luput dari ‘trend’ internasional tersebut, bahkan negara yang padat penduduknya tersebut telah menjadi salah satu negara terbesar yang menerapkan demokrasi prosedural secara penuh dan aktif. Tidak tanggung-tanggung negara ini menerapkan sistem yang tidak jauh berbeda dengan demokrasi prosedural yang diterapkan negara-negara maju.

Kita harus mengakui bahwa hampir di seluruh negara di dunia saat ini menjadikan sistem politik ini sebagai sandaran harapan perubahan. Harus diakui pula -suka ataupun tidak- bahwa kesadaran rakyat di berbagai negara mendorong mereka untuk menyukai politik elektoral ini. Termasuk juga di Kerala, India. Rakyat antusias dan merasa senang untuk terlibat dalam memilih. Karena dalam proses ini rakyat merasa ikut berpolitik tanpa merasa perlu menanggung akibat-akibat dan resiko politik.

Namun menguatnya Amerikanisasi sistem kepartaian dan demokrasi yang berlaku saat ini memberikan ruang bagi bagi munculnya 'disposal political party', partai-partai yang dibuat semata-mata sebagai kendaraan bagi para elit: orang berduit, figur populer, untuk meraih kekuasaan. Keadaan ini mendorong komersialisasi kepartaian dan politik makin menjadi-jadi bahkan menjadi satu-satunya logika politik yang ada saat ini.

Di samping itu mengakibatkan absennya hal-hal fundamental seperti ideologi. Program, isu-isu esensial seperti keadilan dan persamaan hingga akibatnya tujuan-tujuan kepolitikan secara umum akan lebih banyak dirumuskan dan dikendalikan oleh kelanjutan pragmatisme politik yang sudah ada dan mengakar.

Tidak perlu jauh-jauh bagi kita untuk melihat fenomena ini, di Indonesia sendiri kondisi serupa merupakan kondisi yang nyata-nyata terpampang di depan mata kita. Seperti dalam tulisan saya sebelumnya, yang kemudian menimbulkan pertanyaan yang layak dikedepankan adalah layakkah partai yang eksis saat ini menjadi tumpuan harapan akan perubahan?

Pada suatu negara demokratis, terdapat kandungan yang memiliki pengertian bahwa paling tidak di situ ada ‘ruang’ dimana masyarakat sipil dan kelompok oposisi dapat berfungsi dan mengejar tujuannya. Perkembangan akhir-akhir ini di Dunia Ketiga memungkinkan makin terbukanya ruang itu di banyak Negara. Sehingga muncul ‘revolusi diam’ yang berasal dari lapisan paling bawah dan mempengaruhi organisasi dan politik di tingkat regional maupun nasional di Dunia Ketiga. Organisasi ini justru mengikutsertakan lapisan paling bawah sebagai fondasi dari masyarakat demokratis Dunia Ketiga. Terjadi sebuah restrukturisasi fundamental untuk bidang kelembagaan pembangunan sebagai akibat lanjut perluasan pemberdayaan.

Namun kalian yang membaca tulisan ini kemudian akan bertanya mengenai apa signifikansi India dalam pembelajaran demokrasi bagi kita? Jawabannya mungkin tidak dapat terjawab pada satu tulisan ini, bahkan tulisan ini pun mungkin tidak akan mampu menjawab pertanyaan itu. Karena maksud penulisan ini sebenarnya merupakan overview atau bahkan sekedar preview sebelum kita bersama-sama melangkah bersama mengenal karakteristik demokrasi di salah satu negara terpadat didunia tersebut. Dengan salah satu contoh kasus di negara bagian Kerala, India.

Mengapa kita akan lebih memperhatikan satu negara tersebut? Pertama; bahwa karena karakteristik masyarakatnya yang sangat plural namun dengan taraf ekonomi yang relatif tidak tinggi. Kedua; bahwa ruang politik lokal disana memungkinkan berdirinya partai politik lokal progresif yang konsen terhadap permasalahan lokal serta erat bekerja sama dengan kelompok aksi sosial-politik yang tumbuh subur dan memiliki relasi yang dekat dengan massa. Ketiga; banyaknya pencapaian yang telah direngkuh oleh masyarakat Kerala yang diakui baik di dalam negeri maupun dunia internasional, khususnya bidang pendidikan dan pemberdayaan.

Bagaimana di balik permasalahan dan hambatan dari demokrasi disana justru dapat di putar menjadi sebuah kesempatan untuk pendalaman demokrasi yang melibatkan masyarakat secara aktif. Kerala, India adalah salah satu negara bagian yang dapat menjadi contoh pelibatan kembali masyarakat dalam sistem politik. Ditengah kecenderungan apatisme politik dan depolitisasi massa oleh demokrasi yang reot.

Dengan membangun institusi pemerintahan mandiri serta keterlibatan pengembangan sumber daya manusia. Rakyat harus cukup banyak akal untuk hadir dalam bagian penting sistem politik, mempolitisir kepentingan dasar mereka, dan memobilisir dukungan secara luas, sehingga mereka cukup tahan untuk menggunakan hak kebebasan berbicara, dan organisasi juga menjadi seperti lembaga elektoral yang bebas dan adil. Kalau tidak begitu maka demokratisasi dan demokrasi tidak akan cukup substansial untuk membentuk cara yang berarti bagi rakyat, dalam memecahkan masalah yang biasa dan membangun kehidupan yang lebih baik.

Keberhasilan Kerala sehingga menjadi model tersebut tidaklah telepas dari ide kreatif dari para aktivis kelompok aksi sosial-politik dan akademisi. Kalangan intelektual yang memiliki kesadaran untuk mengambil peran dalam perubahan sosial bersama kelompok rakyat termarjinal, seperti di Kerala dimana terdapat “People Science Movement” atau Gerakan Ilmu Pengetahuan Rakyat yang di tukangi oleh kaum terpelajar dengan misi memberikan pengajaran dan pengetahuan kepada rakyat. Sekaligus merupakan kelompok aksi paling ‘vokal’ dan berdampingan dengan rakyat tertindas. KSSP memandang bahwa masyarakat India terbagi dalam dua kelompok: minoritas, yang mana terus-menerus bertambah kaya dan mayoritas yang terus menerus melarat atau menghadapi ancaman pemiskinan.

Kerjasama dengan Partai Komunis India-Marxist (CPI-M) juga menjadi fondasi pemberdayaan masyarakat di lapisan akar rumput. Partai satu ini tampaknya telah memiliki perspektif untuk tidak hanya berfikir bagaimana merebut kekuasaan, namun juga mengambil kesempatan untuk mendidik dan menggalang dukungan yang luas terhadap mereka. Partai merasa sudah menjadi kewajiban mereka untuk memenuhi hak ekonomi-sosial-budaya massa yang mendukungnya.

Kondisi politik dan tekanan ekonomi yang semakin besar tampaknya telah mendorong terbentuknya berbagai kelompok aksi sosial dan politik yang mengusung visi ‘membangun masyarakat tanpa eksploitasi melalui perluasan demokrasi yang berbasis kemandirian rakyat’.

Sementara kita memerlukan ukuran generalisasi yang luas, ada manfaatnya secara analitis memilahkan kelompok aksi di Dunia Ketiga menjadi dua kategori yang luas: mereka yang menaruh perhatian pada pembangunan ekonomi dan mereka yang bekerja ke arah perubahan sosial politik. Seperti yang terlihat dalam kasus di Kerala, apakah sebagai isu politik atau bukan, pada umumnya hal itu merupakan indikator tingkat kesadaran politik rakyat jelata dan kekentalan masyarakat sipil di berbagai wilayah dan di Negara Dunia Ketiga. Pada negara-negara Dunia Ketiga yang demokratis atau yang menuju demokrasi, kelompok aksi cenderung memiliki tujuan sosial politik yang mencolok.

Kesimpulan bahwa akhirnya kelompok aksi akan menang dengan terbangunnya demokrasi partisipatoris di Dunia ketiga di masa mendatang, dapat dikatakan terlalu optimistis dan terlalu dini untuk ditarik. Realitasnya lebih kompleks dan untuk golongan bawah dapat lebih suram. Memang benar bahwa di sejumlah – barang kali sebagian besar – Negara Dunia Ketiga ruang kelembagaan dan politik yang baru dan tidak diperkirakan sebelumnya, telah terbuka untuk macam-macam usaha yang terorganisasi. Namun di satu sisi, kelompok kaum miskin yang besar dan heterogen dan mereka yang tersingkir merasa makin sulit untuk mempertahankan posisinya. Dalam berbagai hal, apa yang terjadi adalah revolusi ‘diam’.

Dihubungkan dengan upaya yang terjadi saat ini, suatu ledakkan organisasi sedang terjadi di Dunia Ketiga; tetapi, sangat sering, orientasinya adalah defensife. Seringkali yang terjadi merupakan revolusi yang terjungkal pada tahap awal’; kelompok aksi ‘sedang membuat serangan tetapi masih jauh dari menggulingkan tatanan lama kemiskinan dan ketidaksetaraan’. Karena kelompok aksi sosial-politik harus terus berkutat pada pemanfaat ruang yang disediakan oleh demokrasi. Dari sana justru kelompok sosial-politik ini akan mencapai kemajuan. Pertanyaan yang akan muncul kemudian dan pantas untuk direnungkan oleh kita kelompok yang mengaku progresif adalah dimana peran partai progresif atau kiri atau bahkan berani mengaku revolusioner? Buat saya partai kiri kemudian harus mampu mempertahankan ruang yang disediakan oleh demokrasi dengan berbagai cara sehingga dengan demikian juga akan mampu mendorong kinerja kelompok aksi sosial-politik.

*Ketua Divisi Jaringan dan Hubungan Internasional KP PRP

Baca Selengkapnya......