Momentum

MAYDAY 2007

Friday, July 13, 2007

Sekelumit Kisah menjadi buruh di Tangerang

Kiswoyo (Pak Kumis)*

Cerita menjadi buruh di Indonesia mungkin pada umumnya sama. Cerita tersebut merupakan dampak dari disahkannya UU NO 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Maraknya upaya perusahaan untuk melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), adalah merupakan sebuah upaya untuk mengganti status karyawannya yang awalnya karyawan atau buruh tetap menjadi buruh kontrak, harian lepas atau bahkan yang lebih tragis adalah dengan memberlakukan sistem borongan. Dengan menjadikan status buruhnya menjadi buruh kontrak, maka pengusaha akan meraup keuntungan yang berlimpah. Hal ini dikarenakan pengusaha tidak perlu untuk memberikan imbalan sesuai dengan buruh yang mempunyai status buruh tetap.

Ada beberapa contoh kerugian ketika status buruh itu adalah buruh kontrak, antara lain:


  1. Buruh dengan status buruh tetap berhak atas UMP/UMK sedangkan buruh kontrak upahnya masih di bawah UMP/UMP. Upah buruh kontrak dihitung per hari yang jumlahnya sebesar Rp 16.000,-
  2. Buruh dengan status sebagai buruh tetap berhak atas cuti sakit untuk ke dokter, sedangkan buruh kontrak bila sakit dan tidak masuk kerja maka buruh tersebut tidak mendapatkan upah. Belum lagi, karena buruh tersebut tidak masuk kerja, maka buruh tersebut kemungkinan besar akan terancam nasibnya karena akan diputus kontrak kerjanya.
  3. Buruh dengan status sebagai buruh tetap berhak atas cuti tahunan, cuti haid dan melahirkan serta cuti-cuti lainnya sesuai dengan UU Ketenagakerjaan. Sedangkan hak istimewa tersebut, bagi buruh kontrak tidak akan mungkin didapat. Bila buruh kontrak hendak menanyakan tentang haknya atau bahkan hendak mengajukan cuti, maka kemungkin ancamannya adalah PHK.
  4. Selain itu, bila buruh kontrak berencana untuk membentuk atau ikut bergabung dengan organisasi buruh yang independen, maka pastinya pengusaha tidak segan-segan untuk mem-PHK dengan berbagai cara, termasuk dengan memanfaatkan bantuan para preman, militer, polisi atau bahkan Dinas Tenaga Kerja yang selama ini menjadi tempat berlindungnya para pengusaha.

Maka lengkaplah penderitaan kaum buruh yang harus berjuang sendirian melawan kedholiman dari berbagai pihak. Belum lagi buruh tersebut harus berjuang bagaimana menghidupi dirinya dan keluarganya. Rasa kepedulian pada sesama buruh harus mulai dibangun sejak saat ini. Karena saya merasakan masih banyak buruh-buruh di Indonesia yang masih tidak peduli dengan apa yang terjadi pada diri mereka. Bahkan mereka sendiri tidak mengetahui apa sebenarnya yang mereka hadapi. Mereka hanya mementingkan diri mereka sendiri, dan tidak sadar akan penjajahan yang telah terjadi pada kaum buruh pada umumnya.

Kesadaran untuk berorganisasi menjadi penting bagi kaum buruh. Dan kaum buruh, harus pintar untuk melihat mana organisasi yang benar-benar peduli dengan nasib buruh dan mana yang tidak. Karena banyak organisasi yang hanya merupakan formalitas dan tidak pernah mementingkan kepentingan buruh yang merupakan anggota dari organisasi buruh tersebut.

Untuk itu saya akan menceritakan sedikit pengalaman saya. Pengalaman-pengalaman di atas, yang saya tahu, benar-benar terjadi di Banten atau tepatnya di kota dan kabupaten Tangerang. Beberapa waktu yang lalu saya pernah bekerja di salah satu pabrik di Kabupaten Tangerang, tepatnya di PT Sarasa Nugraha. PT Sarasa Nugraha beralamat di Jalan Raya Serang KM 24,5, Desa Pasir jaya, Kecamatan Balaraja, Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten.

Saya bekerja di pabrik tersebut awalnya pada tanggal 17 Juli 1994. Pada saat saya awal bekerja di pabrik tersebut, saya merasakan bahwa ada beberapa situasi dan kondisi kerja yang tidak nyaman. Ditambah lagi pengaturan kerja yang sangat semrawut. Akibatnya ada beberapa orang yang memiliki potensi dan keahlian di bagian tertentu tidak ditempatkan sesuai dengan keahliannya. Hal ini dikarenakan orang-orang tersebut harus mengcover atau menggantikan kerja-kerja para pengurus organisasi buruh yang memang oleh perusahaan tidak diberikan tugas yang jelas. Para pengurus organisasi buruh ini sangat dekat dengan perusahaan, sehingga mereka diberikan keistimewaan dibandingkan dengan buruh-buruh yang lainnya. Kebetulan organisasi buruh yang ada di perusahaan saya tersebut hanya Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI). Saya melihat setiap hari aktivitas atau kerja-kerja para pengurus organisasi ini hanya datang dan mengobrol di ruang personalia, ruang HRD atau kalau tidak, pasti berada di ruangan Manager Produksi.

Dari hari ke hari hingga berganti bulan bahkan berganti tahun kondisi kerja seperti itu terus terjadi. Saya sendiri tidak tahu pasti apakah kondisi kerja seperti itu akan berdampak buruk bagi perusahaan atau tidak. Tetapi yang pasti, saya mendengar banyak sekali keluhan-keluhan dari para buruh yang berkaitan dengan upah mereka. Hal ini dipicu karena buruh yang telah bekerja selama puluhan tahun, ternyata mendapatkan upah sama besarnya dengan buruh baru masuk kerja. Kemudian keluhan dari buruh selanjutnya adalah soal K3, kemudian hak untuk cuti yang seharusnya dapat diambil oleh buruh ternyata dipersulit oleh perusahaan. Kemudian ada lagi bagaimana sulitnya buruh yang sakit tetapi tetap harus dipaksa bekerja oleh perusahaan, dan tidak diperbolehkan beristirahat, serta hanya boleh berobat di Puskesmas.

Sedangkan bagi buruh yang sakit parah dan seharusnya mendapatkan penanganan proses untuk mengurus surat rekomendasi agar mendapatkan rujukan ke rumah sakit, maka prosesnya sangat berbelit-belit dan sulit. Kalaupun buruh tersebut sudah mendapatkan surat rujukan, maka paling buruh tersebut hanya dirawat di RSUD. Dan kalau dirawat inap, maka diharuskan buruh tersebut dirawat di kelas III. Itupun penggantian biaya pengobatan oleh perusahaan hanya diberikan sebesar 50% saja dari seluruh biaya pengobatan. Sedangkan untuk keluarga buruh itu sendiri, sama sekali tidak mendapatkan penggantian biaya pengobatan dari perusahaan.

Kondisi kerja seperti di atas tidak pernah ditanggapi oleh para pengurus organisasi buruh. Akhirnya kemudian kondisi tersebut menimbulkan kekecewaan terhadap para pengurus organisasi buruh yang ada. Terjadilah krisis kepercayaan terhadap organisasi buruh di tempat bekerja saya, khususnya kepada SPSI. Pemogokan buruh dengan tuntutan untuk mengganti organisasi buruh di sana pun terjadi. Pemogokan itu kemudian berujung pada penggantian organisasi buruh, dari SPSI menjadi SPTP. Seluruh kepengurusan organisasi buruh kemudian dirubah.

Sejak pergantian tersebut, banyak perubahan-perubahan yang terjadi di tempat saya bekerja. Keberhasilan-keberhasilan tersebut antara lain: Tunjangan Masa Kerja (TMK), uang makan, seragam, pengobatan yang akhirnya juga bisa menanggung keluarga dan tidak terpaku di Puskesmas atau RSUD saja, serta masih banyak lagi keberhasilan yang bersinggungan dengan kesejahteraan buruh.

Mungkin ini saja dulu yang dapat saya ceritakan untuk saat ini. Nanti akan saya ceritakan tentang kronologi kerja-kerja kawan-kawan yang menjadi pahlawan dalam melakukan perubahan, dan apa saja kendala-kendala yang dihadapi.

Salam Perjuangan

*Anggota SPTP dan anggota PRP Komite Kota Tangerang

No comments: