Momentum

MAYDAY 2007

Friday, June 22, 2007

Reforma Agraria Sebagai Alat Pemberdayaan Rakyat

Angky B. Putrantyo*

Reforma agraria bukanlah isu baru bagi rakyat Indonesia, di era 1960-an isu ini lebih dikenal dengan nama Landreform dan dituduh sebagai sebuah gerakan komunis pada saat itu. Membicarakan landreform atau reforma agraria bukanlah membahas komunis atau bukan komunis, konsep ideal reforma agraria yang pernah ada di Indonesia—UUPA 1960 & UUPBH, TAP MPR No. IX/MPR/2001, Perpres No. 36/2005— sebenarnya mengandung sebuah nilai yang sangat mulia yaitu mensejahterakan kehidupan rakyat.

UUPA 1960 yang disusun oleh Panitia 11 (sebut saja begitu, karena terdiri dari perwakilan 10 ormas tani dan seorang dari Departemen Agraria), berhasil menghancurkan dua produk kolonial Belanda (Domein Verklaring& Agrarische Wet) dari bumi Indonesia. UUPA 1960 adalah sebuah produk dalam negeri yang diproses oleh dewan legislatif dengan rujukan UUD 1945 pasal 33 yang mana disebutkan bahwa Negara menguasai tanah, air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya untuk kemakmuran rakyat yang sebesar-besarnya.

Carut marutnya kondisi ekonomi dan politik Indonesia di era 1960-an, menjadikan pelaksanaan landreform tidak berjalan sebagai mana mestinya. Landreform yang di jalankan setengah hati oleh beberapa golongan menumbuhkan benih-benih konflik di lapisan masyarakat pedesaan. Isu-isu landreform di era 1960-an juga di gunakan sebagai alat pembenaran genoside sepanjang tahun 1965 sampai dengan tahun 1967.

Belajar dari pengalaman historis(mungkin), pemerintah negeri ini mengeluarkan produk baru dengan nama TAP MPR No. IX/MPR/2001 dan Perpres No. 36/2005. Lagi-lagi sebuah konsep yang ideal tentang pembaharuan agraria dan pengelolaan Sumber Daya Alam. Seharusnya konsep ini tidak hanya berakhir pada tataran teoritis dan habis setelah menjadi wacana publik. Konsep ini akan semakin ideal apabila pemerintah dengan serius menjalankannya dan bisa dirasakan hasilnya oleh rakyat di negeri ini.

Banyak hal yang bisa kita rumuskan dari beberapa kasus dan kondisi terbaru tentang gagasan reforma agrarian dewasa ini. Beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh pemerintah antara lain: pertama, pembagian tanah bagi rakyat yang tidak memiliki mata pencaharian khusunya di daerah pedesaan. Disini perlu diperhatiakan bahwa tanah-tanah yang di bagikan untuk rakyat adalah tanah-tanah yang produktif dan tidak bermasalah (sengketa) dengan pihak lain.

Kedua, pemerintah harus sadar bahwa pemberian sertifikat oleh pejabat terkait bukanlah sebuah solusi akhir bagi rakyat. Pemerintah paling tidak bisa membentuk sebuah kelompok tani di daerah tersebut guna mengolah tanah yang telah di sertifikatkan tadi secara bersama-sama demi kemakmuran anggota kelompok tersebut. Selain sebagai sumber mata pencaharian yang berkelanjutan, kelompok tani ini juga sebagai pengawas agar tanah yang telah disertifikatkan tidak di jual atau di gadaikan. Sebab apabila tanah-tanah tadi dijual atau digadaikan maka rakyat dimungkinkan akan kembali miskin.

Reforma agraria yang digulirkan oleh pemerintah tentunya juga mencakup aspek-aspek pemberdayaan masyarakat pemilik tanah, dalam artian bahwa pemerintah juga memberikan bantuan permodalan, pemeliharaan dan menjamin kesejahteraan dengan cara memberikan atau membantu mencarikan pasar untuk memasarkan hasil pertanian dari kelompok tersebut. Hal ini tentunya juga harus ada pemahaman bersama antara kelompok tani tersebut dengan aparatur terkait seperti BPN.

Apabila reforma agraria benar-benar di jalankan oleh pemerintah negeri ini, maka amanat pada UUD 1945 tentang menciptakan kemakmuran bagi rakyat dapat terwujud. Sudah saatnya Pancasila dan UUD 1945 dijalankan secara konsisten. Reforma agraria adalah alat untuk kembali memberdayakan rakyat bukan memperdaya rakyat!!!!.

*Ketua Biro Penelitian dan Pengembangan Centre of Local Economic and Politic Studies (CoLEPS) Jember

No comments: