Momentum

MAYDAY 2007

Friday, June 22, 2007

(Di)Hilang(Kan)nya Sebuah Rasa Kebangsaan

Angky B. Putrantyo*

Di sadari atau tidak, Indonesia hari ini mulai berusaha menghilangkan arti penting sebuah bangsa. Para pendiri ini republik ini bercita-cita mendirikan bangsa yang berdaulat atas dasar Pancasila bukan ideologi lain! Proses panjang yang berdarah-darah dalam menegakkan republik ini tidak lagi dipelajari dengan baik dan benar, kepentingan politis dan kepentingan-kepentingan golongan lain—baik itu agama atau yang lain—seakan-akan lebih penting dari pada rasa kebangsaan.

Indonesia hari ini, mulai tidak sadar(mungkin sengaja untuk tidak sadar) bahwa kesalahan-kesalahan di masa lalu kembali diulangi. Ada beberapa hal yang mudah dirasakan bahwa ada usaha-usaha untuk menghilangkan rasa kebangsaan tersebut. Beberapa hal diantaranya adalah: pertama, dibubarkannya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Sebagian golongan yang mengaku rakyat Indonesia bangga akan hasil tersebut (mereka merasa dirinya paling benar), namun mereka lupa bahwa orang-orang yang selama rezim Orde Baru dianggap sebagai tapol adalah anak-anak bangsa yang turut serta menegakkan Pancasila.

Mereka-mereka yang di stigma legal sebagai PKI, adalah orang-orang yang pernah mempertahankan Pancasila, turut berjuang menegakkan keutuhan bangsa. Bahkan seharusnya kita bertanya kepada mereka-mereka yang tidak menginginkan rekonsiliasi itu. Apakah mereka pernah memperjuangkan Pancasila?

Kedua, Indonesia hari ini berupaya melakukan pembelengguan akal pikir generasi muda dengan cara membredel buku-buku pelajaran sejarah. Indonesia hari ini lupa bahwa bangsa ini punya sejarah gelap, sejarah yang berdarah, sejarah pembantaian yang dilakukan oleh bangsa sendiri. Sudah seharusnya generasi muda tahu semua itu. Sudah saatnya generasi muda belajar dari kelampauan untuk mengkonstuk hari ini dan masa depan yang mapan.

Seharusnya kita sadar, bahwa realitas yang ada saat ini adalah usaha-usaha pembelokan sejarah dan memutar balikkan fakta. Pemberedelan buku-buku pelajaran tersebut tidak memiliki landasan yang fundamental, hanya karena penulisan G 30 S tanpa embel-embel PKI saja tentu bukan alasan yang substansial. Apabila kita mau sedikit cermat dan bijaksana, Sejarawan Hilmar Farid dalam wawancara sebuah media massa mengatakan bahwa para pemimpin dan pelaku peristiwa pada bulan September 1965 menamakan dirinya gerakan 30 September dan bukan G30S/PKI. Istilah G30S/PKI adalah produk politik Orde Baru sebagai salah satu proses Genoside dan berhasil meracuni cara berfikir bangsa ini.

Berjalannya ide-ide kebangsaan hanya akan berhasil apabila ada kerjasama yang baik antar elemen di masyarakat. Kerjasama tersebut berawal dari diri kita masing-masing yang harus belajar sadar bahwa mereka-mereka yang di-stigma PKI adalah anak-anak bangsa. Mau belajar dengan rendah hati untuk saling memaafkan agar tidak ada lagi konflik yang dapat menghancurkan bangsa ini atau bahkan menghilangkan arti penting kebangsaan.

*Ketua Biro Penelitian&Pengembangan Center of Local Economic and Politic Studies (CoLEPS) Jember

No comments: