Momentum

MAYDAY 2007

Sunday, June 24, 2007

Solidaritas terhadap mantan buruh RCTI

PERNYATAAN SIKAP
PERHIMPUNAN RAKYAT PEKERJA (PRP)


Hentikan segera pemberangusan terhadap hak-hak rakyat!!!
Security Group Artha (SGA) harus bertanggunjawab terhadap aksi pemukulan buruh!!!
Hari Tanoesoedibjo harus diusut akibat pemecatan sepihak terhadap buruhnya!!!


Salam rakyat pekerja,

Pengebirian demokrasi di Indonesia kembali terjadi. Aksi pemukulan terhadap buruh-buruh yang ingin memperjuangkan haknya kerap kali dilakukan oleh orang-oang bayaran para pemilik modal. Bahkan penolakan pemilik modal untuk mematuhi keputusan hukum yang telah berjalan, kembali diinjak-injak. Negara pun tidak dapat memaksakan keputusan hukum yang telah berlaku kepada para pemilik modal yang jelas-jelas telah dinyatakan bersalah dalam keputusan Mahkamah Agung.

Jelas bahwa aksi pemukulan terhadap mantan buruh RCTI yang tergabung dalam Ikatan Solidaritas Karyawan (ISKA) RCTI merupakan suatu pencorengan terhadap demokrasi di Indonesia. Pada tanggal 22 Juni 2007, ISKA RCTI dan beberapa elemen pro demokrasi yang tergabung dalam Solidaritas Masyarakat untuk Karyawan (SEMARAK) RCTI melakukan aksi damai ke gedung BEJ di Jalan Jend Sudirman Kav 52-53. Aksi ini dilakukan karena pihak RCTI pada tahun 1999 melancarkan aksi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) kepada 250 buruhnya. Perjuangan para mantan buruh pun dilakukan agar pihak RCTI dapat memenuhi hak-hak buruhnya.

Kemudian pada tahun 2003, Mahkamah Agung (MA) memutuskan untuk menolak permohonan ijin pengusaha RCTI agar dapat melakukan PHK terhadap 250 buruhnya. Bahkan pihak RCTI, dalam keputusan MA, dinyatakan harus menerima kembali para buruh yang di-PHK untuk bekerja kembali seperti semula. Namun sampai 2007, keputusan MA tersebut tidak dipenuhi oleh pihak RCTI.

Maka dari itu, kawan-kawan mantan buruh RCTI bersama dengan beberapa elemen pro demokrasi lainnya berencana untuk melakukan aksi damai. Aksi damai ini pun dipicu karena mantan buruh tersebut mendengar bahwa RCTI berencana akan go public. Isu go public itu sendiri dirasa oleh para mantan buruh sebagai upaya untuk menutupi citra RCTI yang sebenarnya.

Ketika aksi damai ke gedung BEJ dilancarkan oleh para mantan buruh RCTI dan beberapa elemen pro demokrasi, ternyata mereka dihadapi oleh tindak kekerasan dari aparat keamanan Security Group Artha (SGA). Upaya aparat keamanan SGA untuk membubarkan aksi damai ini memang sudah terlihat ketika rombongan aksi itu datang. Awalnya mereka menanyakan surat ijin untuk melakukan aksi demonstrasi dari kepolisian. Kemudian ketika diperlihatkan surat pemberitahuan untuk melakukan demonstrasi kepada kepolisian, mereka pun memaksa utnuk mengambil surat tersebut. Hal inilah kemudian yang memicu ketegangan antara para pengunjuk rasa dan aparat keamanan dari SGA.

Seharusnya ketika para buruh telah mendapatkan surat ijin dari kepolisian untuk melakukan aksi demonstrasi, maka aksi tersebut tidak dapat dibubarkan begitu saja oleh pohak lain. Karena surat pemberitahuan tersebut merupakan suatu bukti bahwa aksi tersebut telah diketahui oleh kepolisian dan kepolisian akan melindungi rakyatnya yang melakukan aksi demonstrasi untuk dapat mencapai hak-haknya.

Namun aksi pembubaran dengan melakukan tindakan kekerasan, berupa pemukulan dan tendangan ke beberapa anggota aksi pun terjadi. Kembali Indonesia telah dicoreng dengan sikap arogansi para aparat keamanan swasta yang berusaha melindungi majikannya. Pihak kepolisian yang menjaga aksi tersebut pun tidak dapat melakukan apapun, atau bahkan malah mendiamkan tindakan kekerasan dari aparat keamanan SGA.

Sementara Hari Tanoesoedibjo, yang merupakan Direktur Utama PT Media Nusantara Citra (MNC) telah jelas-jelas melanggar keputusan MA. Namun sampai saat ini tidak ada upaya apapun yang dilakukan oleh negara terhadap penolakan keputusan MA dari seorang warga negara tersebut. Bahkan sebenarnya dalam Pengadilan Hubungan Industrial Jakarta Barat, Hari Taoesoedibjo telah dinyatakan sebagai tersangka dalam kasus ini.

Dalam permasalahan ini, jelas kita melihat keberpihakan negara kepada para pemilik modal. Sementara rakyat yang seharusnya dilindungi dan bahkan diperkuat dengan keputusan MA bahwa para mantan buruh tersebut dalam pihak yang benar, namun ketika mereka ingin menggapai hak-haknya, mereka malah dipukuli.

Maka dari itu, kami dari Perhimpunan Rakyat Pekerja (PRP) menyatakan sikap:

  1. Negara telah gagal dalam melindungi hak-hak rakyatnya, dan lebih berpihak kepada para pemilik modal yang telah merugikan rakyat.
  2. Hari Tanoesoedibjo, sebagai Direktur Utama MNC, harus diusut dan dihukum karena telah dinyatakan sebagai pihak yang bersalah oleh keputusan MA dalam kasus PHK kepada buruhnya.
  3. Pihak RCTI harus menerima kembali para mantan buruh yang telah di-PHK, karena hal tersebut telah diperkuat dalam keputusan MA.
  4. Pihak kepolisian harus segera mengusut hingga tuntas dan menghukum aparat keamanan dari SGA yang telah melakukan tindakan kekerasan terhadap para mantan buruh RCTI dan beberapa elemen pro demokrasi di BEJ. Karena sikap arogansi dan premanisme dari aparat keamanan SGA tersebut telah melanggar HAM.
  5. Kepada elemen pro demokrasi lainnya untuk segera membentuk persatuan multi sektor rakyat pekerja dan melakukan perjuangan politik karena tindakan kekerasan terhadap rakyat yang ingin hak-haknya terpenuhi akan terus berlangsung, selama pemerintahan ini tidak berpihak kepada rakyat yang tertindas.


Jakarta, 24 Juni 2007

Komite Pusat Perhimpunan Rakyat Pekerja



Sekretaris Jenderal



Irwansyah



No comments: