Momentum

MAYDAY 2007

Monday, July 2, 2007

Satpol PP, Militerisme dan Posisi Kelas Kaum Miskin Perkotaan

Ken Budha Kusumandaru*

Prolog

Satu malam, seperti biasa, motor GL100 tua yang aku pakai mogok karena kepanasan. Kali itu, si jago mogok berhenti tepat di depan sebuah warung jamu di ujung jalan Tambak, Manggarai. Dasar, pikirku, tapi kebetulan - aku bisa minta mampir mendinginkan mesin. Pemilik kios jamu itu adalah seorang bapak setengah baya, barangkali limapuluhan usianya, seorang Betawi asli (sekalipun Betawi itu sendiri merupakan peleburan beberapa bangsa) yang leluhurnya juga lahir dan wafat di daerah itu.

Kami pun bercakap-cakap. Setelah bicara ke sana ke mari tentang keluarga beliau, kami sampai juga ke topik favoritku (pasti dong! :D). Kami mulai bicara tentang Pilkada, satu topik yang menarik sebenarnya kalau mau didiskusikan lebih lanjut. Kawan-kawan yang berdebat soal Pilkada seharusnya turun mencari sample semacam ini, mengadakan wawancara informal secara tersebar untuk meraba langsung pandangan masyarakat Jakarta, terutama warga Betawi, terhadap event politik ini. Tapi, sudahlah, bukan itu yang ingin aku bicarakan. Yang lebih menarik bagiku adalah pandangan beliau tentang banyaknya geng preman yang mengatasnamakan Betawi dan Satpol PP.

Yang paling menarik bagiku dari percakapan itu adalah kegeraman yang ditunjukkan bapak penjual jamu itu pada kedua hal yang disebut di atas. Bagi beliau, geng-geng preman itu sama sekali tidak "berwatak Betawi" dan memalukan bagi warga Betawi asli karena sebagian besar anggota geng itu bukan orang Betawi. Bagi beliau, entah benar entah tidak, budaya Betawi menjunjung tinggi kegagahan (ini mengutip kho ping hoo, kelihatannya) dan hanya mau berkelahi jika membela kebenaran, itupun harus satu lawan satu. Geng-geng "Betawi" ini tidak lebih dari sekumpulan tukang pukul yang patuh pada juragan-juragan, bukan jagoan betulan. Barangkali, yang ada dalam pikiran bapak itu, yang patut disebut "jagoan" itu semacam si Pitung itulah.

Kalau pada geng "Betawi", si bapak menunjukkan kegeraman, pada Satpol PP ia menunjukkan kesedihan. Ternyata, di masa mudanya, sekitar tahun 1980-an awal, ia sempat bekerja di bagian Kamtibmas, di Pemda DKI Jakarta. Ia bercerita bagaimana dia selalu membocorkan rencana penggusuran pada para "calon korban". Dibujuknya para "gepeng" (begitu istilahnya dulu untuk para tunawisma dan penghuni rumah gubug) untuk membongkar dulu rumah mereka. Nanti, setelah musim gusuran lewat, mereka bisa membangun kembali tempat mereka. Yang penting, menurutnya, bahan bangunan selamat, karena kayu dan kardus itu merupakan harta-benda tak ternilai bagi para penghuni rumah gubug ini. Satpol PP yang sekarang begitu telengas. Tidak kenal perikemanusiaan. Raja Tega. Padahal, sebagian besar anggota Satpol PP sekarang ini adalah pemuda-pemuda miskin juga. Barangkali di antara sanak-keluarga mereka ada yang menjadi pedagang kaki-lima atau penghuni gubug. Terlebih lagi, status kerja anggota Satpol PP sekarang adalah kontrak, beda dengan Kamtib di jaman dulu yang berstatus pegawai negeri. Jika kontrak habis, mau kerja apa para mantan Satpol PP ini? Paling-paling juga buka lapak. Bagi bapak itu, benar-benar tidak masuk akal bahwa ada orang yang bersedia melakukan kekejaman macam itu hanya demi makan hari ini. Mungkin bapak itu tidak bisa mengerti bahwa watak yang biasanya ditunjukkan para kriminal kelas teri ini bisa-bisanya ditunjukkan juga oleh aparat berseragam.

Militerisme dan kelas pekerja

Kita sendiri biasanya beranggapan bahwa militer merupakan alat negara penindas - bahkan "negara" itu sendiri, dalam pengertian bahwa "Negara adalah alat yang dipakai kelas berkuasa untuk merepresi kemungkinan munculnya konflik dan perlawanan kelas-kelas tertindas." Namun, sesungguhnya hubungan antara Militer dan Kelas Tertindas (dalam hal ini kelas-kelas pekerja) tidaklah selinear atau sedikotomis yang dibayangkan. Ingatlah hukum dialektika, bahwa apa yang berlawanan sesungguhnya satu dan saling menyaratkan.

Historyworld.net, satu situs sejarah yang cukup berwibawa, memiliki banyak artikel yang menerangkan mengenai perkembangan militer menjadi seperti yang kita lihat saat ini.Dan salah satu kenyataan pahit yang disajikan sejarah pada kita adalah bahwa tulang punggung setiap ketentaraan yang kuat adalah kelas pekerja.

Sejak awal terbentuknya ketentaraan, kelas pekerja selalu hadir di garis terdepan tiap medan pertempuran. Merekalah yang gugur dalam jumlah paling besar di setiap kesempatan benturan antar pasukan. Merekalah yang dikenal sebagai "tentara jalan kaki" (foot soldier), "umpan peluru" (cannon fodder), "kuda beban" (grunts), atau istilah-istilah lain yang pada dasarnya merendahkan derajat mereka yang harus berkorban paling dahulu dan paling besar dalam tiap pertempuran ini.

Sejak pertama kali masyarakat berkelas menampakkan batang hidungnya di muka bumi, rakyat pekerja telah dikerahkan untuk membela kepentingan kelas berkuasa. Memang, sejak masyarakat terbelah menjadi kelas-kelas yang saling bertarung, ketentaraan tidak lagi merupakan pekerjaan sampingan melainkan pekerjaan purna-waktu. Tentara purna-waktu (standing army) inilah yang justru menjadi ciri masyarakat berkelas. Tapi, sekalipun tugas utama tentara ini adalah menindas rakyatnya sendiri, anggota-anggotanya direkrut dari kalangan kelas pekerja. Setelah direkrut, mereka ditempatkan dalam pengawasan ketat dan arahan dari para perwira yang secara eksklusif direkrut dari kalangan kelas berkuasa.

Selain itu, seperti yang terjadi di kerajaan Mesopotamia (yang diteruskan oleh Babilonia), kelas pekerja dikerahkan untuk melancarkan invasi dan penjarahan budak ke desa-desa atau negeri orang. Jika diperlukan, kelas pekerja akan diperintahkan untuk meninggalkan pekerjaannya dan memanggul senjata, membela kepentingan kelas berkuasa. Jadi, untuk menambah wilayah kekuasaan (dan otomatis menambah jumlah kelas pekerja yang dikuasainya), kelas berkuasa sejak dulu telah menggunakan tenaga kelas pekerja di negerinya sendiri.

Semakin lama semakin nampak pembelahan antara para "foot soldier" dengan para perwira ini. Di kerajaan Mesir Kuno, misalnya, para perwira dan bangsawan maju perang dengan menunggang kereta perang (chariot), sementara tentara biasa tetap berjalan kaki. Dengan kereta perang, posisi para perwira ini menjadi lebih aman dan dapat melakukan pembantaian tentara musuh secara lebih leluasa. Perhatikan bahwa "tentara musuh" yang dibantai ini adalah yang berasal dari kelas pekerja di negeri "musuh" itu. Jarang sekali antar perwira ini bertemu dan beradu nyawa.

Pembelahan ini semakin tajam dengan semakin jauhnya perbedaan kemampuan ekonomi antara kelas berkuasa dan kelas pekerja. Di abad pertengahan, misalnya, perbedaan antara para ksatria dan para prajurit biasa sangat menyolok, terutama karena biaya yang perlu dikeluarkan untuk peralatan perang seorang ksatria tidak akan pernah dapat dibayar seorang prajurit biasa, yang berasal dari kelas pekerja. Kuda perang dan baju zirah dari baja terlalu mahal untuk dibeli, belum lagi mengingat biaya perawatannya.

Curangnya, ketika kondisi ini berbalik dengan ditemukannya crossbow (panah yang dilepaskan dengan menggunakan pegas), halberd (tombak panjang dengan kait dan kapak kecil di bawah mata tombak) dan senjata api, para perwira ini langsung mengambil langkah seribu. Kalau dulu mereka berada paling depan, nampak gagah dan jaya karena terlindung peralatan perangnya, kini mereka lebih suka "memimpin dari belakang" (lead from behind - satu ungkapan yang absurd).

Sekarang ini justru makin terang-terangan "tentara jalan kaki" ini dijadikan umpan peluru. Para prajurit, yang barangkali berasal dari keluarga buruh, dipaksa saling tembak dengan sesama prajurit yang juga berasal dari kelas pekerja. Sementara para perwira berperang dengan aman di garis belakang.

Kisah tentang Jenderal McArthur bisa menjadi contoh yang luar biasa. Komandan Pasukan AS di Filipina ini membiarkan belasan ribu prajuritnya dalam keadaan kelaparan dan kekurangan amunisi di Bataan dan Corregidor, kabur ke Australia ketika Jepang menyerbu Filipina. Sejarah resmi AS membenarkan tindakan McArthur ini dengan alasan ini adalah perintah Komando Tertinggi dan bahwa McArthur sebenarnya enggan pergi kalau tidak dipaksa. Sejarah alternatif (seperti yang dimuat dalam situs "JAPAN ATTACKS THE PHILIPPINES, 1941- 42" http://www.users.bigpond.com/pacificwar/gatheringstorm/Philippines/Philindex.html) membeberkan fakta bahwa McArthur bukan saja melalaikan persiapan pertahanan Filipina, tapi juga sempat-sempatnya membeli saham Lepanto Mining Company yang harganya jatuh menjelang penyerbuan Jepang. Saham inilah yang membuat McArthur menjadi milioner seusai perang. Di samping itu, McArthur masih sempat memaksa Presiden Filipina waktu itu, Manuel Quezon, untuk memberinya Piagam Penghargaan sebagai Pahlawan Filipina, penghargaan yang disertai uang hadiah sebesar USD 500ribu (bernilai sekitar USD 5juta sekarang).

Kelas berkuasa tetaplah kelas berkuasa, mereka akan merebut seluruh kemuliaan ketika pertempuran dimenangkan tapi mereka tidak akan berkedip sedikit juga ketika mengorbankan prajuritnya untuk mendapat kemenangan itu. Mengapa mereka harus berkedip? Bukankah kita tahu bahwa para umpan peluru ini diambil dari kelas pekerja?

Ketika seseorang berkhianat pada kelasnya sendiri

Di lain pihak, banyak anggota kelas pekerja yang melihat karir kemiliteran sebagai peluang untuk keluar dari kesengsaraan dan himpitan penderitaan hidup yang selama ini dialaminya. Sekalipun ia tidak menyadarinya, secara naluriah ia tahu bahwa dengan demikian ia telah menyeberang. Ia telah menjadi pengkhianat bagi kelasnya sendiri. Dan seorang pengkhianat cenderung akan berusaha membuktikan dirinya di hadapan majikan barunya secara berlebihan. Ia akan menjadi lebih kejam dan jahat daripada jika anggota kelas berkuasa itu sendiri yang menjalankan penindasannya. Beberapa artikel penelitian tentang Psikologi Kekuasaan (bisa dicari di Google dengan kata kunci "psychology of power") menunjukkan bahwa orang-orang yang memegang kekuasaan cenderung bersikap tidak sewajarnya karena ia tahu tidak akan mendapat akibat buruk dari tindak-tanduknya. Bisa dibayangkan bahwa mereka yang tadinya merayap-rayap di lumpur kehinaan dan penindasan kini bisa petantang-petenteng berkuasa, tentu mereka mabuk berat!

Salah satu ciri hegemoni adalah jika anggota-anggota kelas yang dikuasai beraspirasi atau bercita-cita menjadi bagian dari kelas berkuasa, atau menganggap apa yang dilakukan kelas berkuasa sebagai teladan mereka. Tidak mengherankan jika banyak anggota kelas pekerja di Jogjakarta (bahkan sampai hari ini) yang bangga dan bahagia ketika diangkat menjadi pelayan atau abdi dalem keraton. Kita juga mendengar berbagai kisah nina-bobo yang menggambarkan betapa bahagianya seorang rakyat jelata ketika dinikahi oleh keluarga raja, atau seorang petani miskin yang menjadi pelayan seorang ksatria kemudian berkesempatan membuktikan dirinya layak menjadi ksatria. Contoh modern dari kisah-kisah semacam ini barangkali adalah seorang anak petani dari dusun, yang mendapat kesempatan berkuliah di kota besar lewat jalur PMDK (sekarang masih ada gak sih?), lalu belajar sekeras mungkin untuk kelak bisa bekerja di sebuah kantor mentereng, kalau bisa perusahaan luar negeri. Ia sama sekali tidak berpikir bagaimana bisa kembali ke desa membangun desanya. Aku bertemu banyak sekali contoh seperti ini ketika kuliah di IPB.

Dari tinjauan empirik (dari pengamatan saja; ada yang bisa kasih tinjauan akademiknya?), ada beberapa posisi yang rentan menjerumuskan orang dalam pengkhianatan terhadap kepentingan kelasnya sendiri:


  1. Ketika seseorang berada dalam posisi kepemimpinan yang tidak demokratis atas komunitas. Kepemimpinan yang tidak didasarkan pada struktur demokratik bisa terjadi dalam kumpulan formal ataupun informal. Hal ini tidak harus didahului dengan satu niat buruk, misalnya ambisi pribadi ingin kaya, dsb. Bisa jadi, awalnya adalah niat baik untuk membangun komunitas. Tapi, karena struktur organisasinya tidak menjamin adanya regenerasi yang terus-menerus, komunitas pelan-pelan menjadi tergantung. Si pemimpin tersebut makin lama makin jago (karena terus mengasah kemampuannya), jarak antara tingkat kemampuan pribadinya dengan tingkat kemampuan orang lain dalam komunitas itu menjadi jauh sekali, bahkan mungkin tidak terkejar lagi. Si pemimpin ini rentan berkhianat karena para penguasa borjuasi tahu betul bahwa ia adalah sasaran tunggal. Penguasa borjuasi dapat memilih untuk mengguyur si pemimpin ini dengan harta melimpah (atau apa saja yang diinginkannya) atau melenyapkannya sekalian (jika sogokan tidak mempan). Begitu si pemimpin terbeli (atau terbunuh, mana saja yang datang duluan) organisasi pun akan terjinakkan.

  2. Ketika seseorang tidak memiliki pijakan kelas. Ketika seorang buruh di-PHK tanpa kejelasan masa depan, ketika seorang petani kehilangan tanah tanpa tahu ke mana harus meneruskan hidup, ketika seorang pelajar lulus tanpa kemungkinan melanjutkan pendidikan atau masuk dunia kerja, mereka terlempar ke dalam sebuah limbo - keadaan tanpa pijakan, tanpa kepastian. Dan, lembaga yang paling menyediakan kepastian - baik dari segi penghasilan, kekuasaan, disiplin dan komando - adalah lembaga yang dekat dengan militerisme. Tidak begitu mengherankan, (hampir) tidak akan ada anggota kelas pekerja yang dengan sukarela bergabung dalam organisasi preman, atau SatpolPP sekalipun, jika mereka bukan pengangguran.

Pengangguran dan Masalah Kemiskinan Perkotaan

Kedua kondisi yang kupaparkan di atas, sialnya, hadir bersamaan di tengah komunitas-komunitas miskin perkotaan. Komunitas miskin perkotaan ini terbentuk sebagai akibat dari pembangunan kapitalisme yang menggunakan pola akumulasi modal primitif (primitive accumulation of capital). Pola ini diterapkan pada masa-masa awal pembangunan kapitalisme di Eropa, dan kini diterapkan kembali untuk pembangunan kapitalisme di negeri-negeri kapitalis terbelakang yang menjadi sasaran penghisapan negeri imperialis di Dunia Pertama. Pola akumulasi primitif ini pada dasarnya berusaha menceraikan para produsen dari alat kerja dan hasil produksinya. Dengan kata lain, penghancuran pola produksi sisa peradaban Berburu-Mengumpul (misalnya nelayan tradisional) dan Feudal (misalnya pertanian). Tujuan utama dari pola akumulasi primitif ini adalah penciptaan lapisan masyarakat yang tidak lagi memiliki alat untuk bertahan hidup dan harus bergantung pada kapitalisme agar bisa bertahan. Di mana-mana, di seluruh negeri yang baru belakangan diserap ke dalam kapitalisme (yang biasa disebut Dunia Ketiga) kita lihat terjadinya akumulasi primitif ini.

Kita melihat brutalitas kapitalisme primitif ini di depan mata kita, dalam sejarah kontemporer Indonesia. Brutalisme ini terjadi bukan saja dalam perampasan tanah di pedesaan, tapi juga dalam pengabaian pedesaan dalam pembangunan fasilitas penunjang kehidupan. Semua "pembangunan" yang dilakukan Orde Baru, dilakukan di perkotaan. Para petani yang telah kehilangan tanah terpaksa pindah ke kota-kota besar karena tidak ada sarana penunjang kehidupan di pedesaan. Sekalipun tidak langsung, inipun salah satu bentuk kekerasan yang luar biasa, yang memaksa orang untuk pergi atau mati kelaparan.

Tapi, mereka tidak punya bekal yang cukup untuk mencari penghidupan di perkotaan. Sama seperti yang dialami petani-petani Inggris di abad ke-16, para petani Indonesia yang kehilangan tanah ini juga terdampar di kota-kota besar tanpa pegangan. Tapi, petani Inggris di abad ke-16 berhadapan dengan kapitalisme yang baru bangkit, yang baru saja merealisasikan potensinya sebagai sebuah sistem ekonomi-politik. Sekalipun dengan brutal para petani ini diubah menjadi proletariat, industri yang tersedia cukup banyak untuk menampung cadangan tenaga kerja baru ini. Sebaliknya, para pendatang baru di perkotaan Indonesia masa kini tidak dapat menemukan pekerjaan yang memadai jumlahnya. Jangankan dalam tingkat upah, pertumbuhan jumlah lowongan kerja saja tidak berimbang dengan jumlah pendatang baru yang tiba tiap tahu di kota-kota besar di seluruh Indonesia.

Karena itu, pola akumulasi primitif ini menghasilkan banyak sekali kantung-kantung kemiskinan yang kumuh di perkotaan. Di kantung-kantung kemiskinan ini, warga berjuang dari hari ke hari untuk mendapatkan pekerjaan apapun yang bisa membantu mereka melewatkan hari itu dan, jika mereka beruntung, keesokan harinya. Keterdesakan untuk bertahan hidup ini membuat warga di kampung-kampung kumuh ini mengerjakan apa saja, hal-hal yang tidak terbayangkan, untuk dijadikan uang. Dan sempitnya peluang yang tersedia menyebabkan pertarungan memperebutkan peluang ini menjadi sangat keras.

Struktur kepemimpinan di tengah masyarakat miskin perkotaan jarang sekali bersifat demokratis. Biasanya, hanya orang-orang "kuat" yang mampu memimpin komunitas yang hanya diikat oleh satu hal: sama-sama menunggu kesempatan untuk "sukses" - apapun makna "sukses" bagi mereka. Mereka telah dipaksa untuk menjadi proletariat karena telah dilucuti dari sarana produksi milik mereka. Namun mereka tidak bisa masuk ke dalam dunia proletariat karena kurangnya lapangan pekerjaan. Suasana di mana mereka sudah dipaksa berhadapan dengan taring telanjang kapitalisme, sementara mereka tidak dapat menikmati solidaritas yang menjadi ciri proletariat, menyebabkan mereka (dalam keadaan tidak terorganisir) sangat mudah terjatuh ke arah pemikiran vigilantisme - hukum ditentukan oleh mereka yang kuat. Pemikiran ini hanya berjarak sejengkal saja dari militerisme skala penuh.

Dan, sialnya, kelompok-kelompok vigilantes (premanisme terorganisir) dan paramiliter (orang sipil yang dipersenjatai dan bertingkah laku seperti tentara) di Indonesia biasanya melakukan perekrutan dengan preteks (dalih) membagi lapak dan lapangan pekerjaan. (Ini baru pengamatan sepintas dan dari beberapa wawancara informal. Butuh disangkal lewat penelitian ilmiah.) Banyak orang juga ikut menjadi anggota organisasi vigilantes dan paramiliter karena tertarik dengan janji disalurkan bekerja. Dengan cara ini, organisasi preman menjadi agen yang kuat untuk menegakkan sistem ketenagakerjaan ala Neoliberal, yakni Labor Market Flexibility.

SatpolPP tidaklah terlalu berbeda. Banyak artikel yang mengutip wawancara dengan para anggota Satpol PP (yang bertanggungjawab dalam kekerasan yang terjadi di berbagai penggusuran) menyatakan bahwa sebenarnya hati nurani mereka menjerit. Tapi, apa daya, begitu kata mereka, perintah atasan dan mereka juga butuh makan.

Pernyataan seperti inilah yang menjadi ciri dari Lumpenproletarisme. Lumpenproletariat adalah proletariat sampah, yang hidup dari memangsa sesama proletariat. Kata lumpen berasal dari bahasa Jerman, der Lumpen, yang artinya lap dapur. Ia bukan kriminal biasa. Ia adalah drakula, dari jenis yang terburuk. Dan drakula-drakula ini adalah bahan mentah yang siap dibentuk menjadi senjata pemukul yang ampuh, pelayan bagi kelas berkuasa.

Implikasinya bagi kita

Pengorganisiran terhadap kelompok yang secara pukul-rata disebut "kaum miskin perkotaan" biasanya disandarkan pada perebutan hak sebagai warganegara - khususnya hak mendapat pelayanan publik. Ini tentu bukan satu hal yang keliru, karena mereka justru terdampar di perkotaan karena kehilangan hak mereka atas alat-alat produksi. Lagipula, kondisi mereka yang mengais hidup dari hari ke hari ini akan sangat terbantu dengan perjuangan atas hak sebagai warganegara. Perjuangan atas hak warganegara ini dapat menjadi satu alat pengorganisiran yang ampuh, sebagaimana telah ditunjukkan oleh pengalaman SRMK (Serikat Rakyat Miskin Kota) yang mengorganisir di wilayah Jakarta Barat.

Namun demikian, analisis kelas kita menunjukkan bahwa perjuangan atas hak warganegara ini bukanlah alat pukul utama yang bisa kita bangun dari komunitas miskin perkotaan. Kita harus melihat mereka sebagaimana mereka adanya: pasukan cadangan proletariat (reserve army of proleariat).

Jika komunitas miskin perkotaan dipandang secara demikian, maka perjuangan kelas pekerja tidak boleh ditujukan secara eksklusif untuk pembelaan terhadap buruh yang masih bekerja di pabrik, melainkan juga terhadap komunitas ini. Serikat-serikat buruh harus merangkul organisasi-organisasi komunitas, bersama-sama memperjuangkan perbaikan nasib di komunitas sekaligus penciptaan lapangan kerja baru. Lebih baik lagi kalau bukan sekedar merangkul, tapi memang dengan sengaja serikat buruh mengirim organisernya untuk membantu pengorganisiran di komunitas. Organisasi-organisasi kelas kapitalis mengirim organisernya ke sini, mengapa serikat-serikat buruh tidak? Bukankah kelas pekerja ingin mengambil kekuasaan dari tangan kelas kapitalis? Tanpa bertarung di semua lini, termasuk memperebutkan kepemimpinan di tengah komunitas miskin perkotaan, mimpi kelas pekerja untuk berkuasa akan sulit tercapai.

Persatuan organik antara serikat buruh dengan serikat komunitas akan berguna juga berkenaan dengan persoalan organisasi-organisasi paramiliter, termasuk SatpolPP. Organisasi paramiliter ini menarik anggotanya dari kalangan miskin perkotaan sekaligus menggunakan orang-orang miskin ini di barisan terdepan ketika memukul komunitas miskin lainnya. Dengan masuknya pengorganisiran kelas ke tengah komunitas miskin perkotaan, kita akan mengajarkan dan melatih komunitas itu untuk bersolidaritas. Solidaritas akan memudahkan kita melancarkan perlawanan terhadap organisasi paramiliter, yang terkadang menuntut digunakannya metode-metode yang keras lawan keras. Solidaritas juga akan melunakkan, minimal mematahkan kohesi di tengah organisasi paramiliter ini, melumpuhkan kemampuannya bergerak sebagai satu unit yang utuh dan tak kenal belas-kasihan. Kalau kita beruntung, dan cukup tabah berjuang, ada kemungkinan kita bisa mendorong terjadinya pembelotan. Jika para anggota SatpolPP atau organisasi paramiliter lain bisa dibangkitkan solidaritasnya, ada kemungkinan mereka akan membangkang pada perintah atasan mereka dan balik berpihak justru pada komunitas yang tadinya menjadi sasaran penindasan mereka.

Ada banyak kemungkinan terbuka untuk ini. Mari kita diskusikan lebih lanjut.

Jakarta,1 Juli 2007

*Ketua Divisi Pendidikan Komite Pusat Perhimpunan Rakyat Pekerja

1 comment:

Anonymous said...

Rakyat miskin semakin mengalami kekerasan dari Negara dan pemodal atau korporasi. Kekerasan yang dialami rakyat (miskin) merupakan bagian dari proses pemiskinan sistematis dan terstruktur guna menyingkirkan mereka dari kehidupan masyarakat yang mengglobal dan kapitalistik. Rakyat dengan kemiskinannya dianggap bagian buruk wajah suatu kota atau negara. Sementara itu, usaha negara dalam mengatasi kemiskinan justru terjebak dalam arus neoliberalisme. Dalam sistem neoliberal, kemiskinan menjadi isu yang menjual dan profitable, sehingga yang terjadi kemudian ádalah rakyat tetap miskin dan semakin miskin, namun pengusaha-pengusaha atau pemodal dan Negara semakin menikmati kekayaan mereka yang berasal dari komoditas kemiskinan. Inilah yang disebut dengan pemiskinan.

Diskusi Sat.Pol. P.P. Lawan Rakyat Miskin yang dilakukan ARM tanggal 30 Mei 2007 merupakan bentuk perhatian dan perjuangan ARM sebagai upaya melawan pemiskinan tersebut. Ada beberapa hal penting dalam diskusi ini, antara lain pertama, kekerasan Satuan Polisi Pamong Praja (Sat.Pol. P.P.) terhadap rakyat miskin semakin meningkat; kedua, tuntutan pembubaran Dinas Tramtib (Ketentraman dan Ketertiban) dan Sat.Pol. P.P. dari warga semakin menguat; ketiga, produk-produk hukum atau kebijakan-kebijakan pemerintah yang diskriminatif dan mendeskreditkan rakyat miskin (warga miskin kota & desa, buruh, petani, perempuan, LGBT, dll) selalu menjadi momok rakyat miskin sehingga harus dicabut; dan keempat, untuk wilayah DKI Jakarta, anggaran Tramtib tahun 2007 sebesar Rp 303,2 milyar dan Dinas Pertamanan Kota sebesar Rp 247,5 milyar jauh lebih besar dari alokasi anggaran untuk Dinas Pendidikan Dasar sebesar Rp 188 milyar, bahkan lebih jauh lagi dengan anggaran Puskesmas seluruh DKI sebesar Rp 200 milyar dan seluruh rumah sakit di DKI sebesar Rp 122,4 milyar harus dialihkan untuk program riil kesejahteraan rakyat miskin kota.

Dari diskusi Sat.Pol. P.P. Lawan Rakyat Miskin membawa ARM pada langkah yang tegas menolak segala bentuk pemiskinan yang dilakukan Negara, pemodal, dan pelaku pasar terhadap rakyat miskin. Untuk itu kami mengadakan pertemuan rutin yang diadakan pada:

Tanggal : (Kamis) 5 Juli 2007.

Waktu : 15.00 WIB sampai selesai.

Tempat : Kantor Arus Pelangi, Jl. Tebet Dalam IV No.3 Rt.01 Tebet Jakarta (Tlp.0218297910).

Agenda : Rencana strategi ARM, kritik atas produk-produk hukum dan kebijakan yang tidak berpihak rakyat miskin, serta langkah taktis dan strategis pembubaran Dinas Tramtib dan Sat.Pol. P.P..

Demikian surat ini kami buat, atas perhatian dan kehadirannya kami ucapkan terima kasih.


Hormat kami,




Heru Suprapto
Koordinator