Momentum

MAYDAY 2007

Friday, June 22, 2007

Demokrasi Sebuah Kata Final?

Riky Akira*

Demokrasi prosedural seakan-akan merupakan satu-satunya pilihan sistem politik bagi seluruh negara di berbagai belahan dunia saat ini. Gelombang demokratisasi negara-negara ini telah berlangsung sejak akhir perang dunia kedua dan semakin menguat pada dekade 1980-an.

India merupakan salah satu negara yang tidak luput dari ‘trend’ internasional tersebut, bahkan negara yang padat penduduknya tersebut telah menjadi salah satu negara terbesar yang menerapkan demokrasi prosedural secara penuh dan aktif. Tidak tanggung-tanggung negara ini menerapkan sistem yang tidak jauh berbeda dengan demokrasi prosedural yang diterapkan negara-negara maju.

Kita harus mengakui bahwa hampir di seluruh negara di dunia saat ini menjadikan sistem politik ini sebagai sandaran harapan perubahan. Harus diakui pula -suka ataupun tidak- bahwa kesadaran rakyat di berbagai negara mendorong mereka untuk menyukai politik elektoral ini. Termasuk juga di Kerala, India. Rakyat antusias dan merasa senang untuk terlibat dalam memilih. Karena dalam proses ini rakyat merasa ikut berpolitik tanpa merasa perlu menanggung akibat-akibat dan resiko politik.

Namun menguatnya Amerikanisasi sistem kepartaian dan demokrasi yang berlaku saat ini memberikan ruang bagi bagi munculnya 'disposal political party', partai-partai yang dibuat semata-mata sebagai kendaraan bagi para elit: orang berduit, figur populer, untuk meraih kekuasaan. Keadaan ini mendorong komersialisasi kepartaian dan politik makin menjadi-jadi bahkan menjadi satu-satunya logika politik yang ada saat ini.

Di samping itu mengakibatkan absennya hal-hal fundamental seperti ideologi. Program, isu-isu esensial seperti keadilan dan persamaan hingga akibatnya tujuan-tujuan kepolitikan secara umum akan lebih banyak dirumuskan dan dikendalikan oleh kelanjutan pragmatisme politik yang sudah ada dan mengakar.

Tidak perlu jauh-jauh bagi kita untuk melihat fenomena ini, di Indonesia sendiri kondisi serupa merupakan kondisi yang nyata-nyata terpampang di depan mata kita. Seperti dalam tulisan saya sebelumnya, yang kemudian menimbulkan pertanyaan yang layak dikedepankan adalah layakkah partai yang eksis saat ini menjadi tumpuan harapan akan perubahan?

Pada suatu negara demokratis, terdapat kandungan yang memiliki pengertian bahwa paling tidak di situ ada ‘ruang’ dimana masyarakat sipil dan kelompok oposisi dapat berfungsi dan mengejar tujuannya. Perkembangan akhir-akhir ini di Dunia Ketiga memungkinkan makin terbukanya ruang itu di banyak Negara. Sehingga muncul ‘revolusi diam’ yang berasal dari lapisan paling bawah dan mempengaruhi organisasi dan politik di tingkat regional maupun nasional di Dunia Ketiga. Organisasi ini justru mengikutsertakan lapisan paling bawah sebagai fondasi dari masyarakat demokratis Dunia Ketiga. Terjadi sebuah restrukturisasi fundamental untuk bidang kelembagaan pembangunan sebagai akibat lanjut perluasan pemberdayaan.

Namun kalian yang membaca tulisan ini kemudian akan bertanya mengenai apa signifikansi India dalam pembelajaran demokrasi bagi kita? Jawabannya mungkin tidak dapat terjawab pada satu tulisan ini, bahkan tulisan ini pun mungkin tidak akan mampu menjawab pertanyaan itu. Karena maksud penulisan ini sebenarnya merupakan overview atau bahkan sekedar preview sebelum kita bersama-sama melangkah bersama mengenal karakteristik demokrasi di salah satu negara terpadat didunia tersebut. Dengan salah satu contoh kasus di negara bagian Kerala, India.

Mengapa kita akan lebih memperhatikan satu negara tersebut? Pertama; bahwa karena karakteristik masyarakatnya yang sangat plural namun dengan taraf ekonomi yang relatif tidak tinggi. Kedua; bahwa ruang politik lokal disana memungkinkan berdirinya partai politik lokal progresif yang konsen terhadap permasalahan lokal serta erat bekerja sama dengan kelompok aksi sosial-politik yang tumbuh subur dan memiliki relasi yang dekat dengan massa. Ketiga; banyaknya pencapaian yang telah direngkuh oleh masyarakat Kerala yang diakui baik di dalam negeri maupun dunia internasional, khususnya bidang pendidikan dan pemberdayaan.

Bagaimana di balik permasalahan dan hambatan dari demokrasi disana justru dapat di putar menjadi sebuah kesempatan untuk pendalaman demokrasi yang melibatkan masyarakat secara aktif. Kerala, India adalah salah satu negara bagian yang dapat menjadi contoh pelibatan kembali masyarakat dalam sistem politik. Ditengah kecenderungan apatisme politik dan depolitisasi massa oleh demokrasi yang reot.

Dengan membangun institusi pemerintahan mandiri serta keterlibatan pengembangan sumber daya manusia. Rakyat harus cukup banyak akal untuk hadir dalam bagian penting sistem politik, mempolitisir kepentingan dasar mereka, dan memobilisir dukungan secara luas, sehingga mereka cukup tahan untuk menggunakan hak kebebasan berbicara, dan organisasi juga menjadi seperti lembaga elektoral yang bebas dan adil. Kalau tidak begitu maka demokratisasi dan demokrasi tidak akan cukup substansial untuk membentuk cara yang berarti bagi rakyat, dalam memecahkan masalah yang biasa dan membangun kehidupan yang lebih baik.

Keberhasilan Kerala sehingga menjadi model tersebut tidaklah telepas dari ide kreatif dari para aktivis kelompok aksi sosial-politik dan akademisi. Kalangan intelektual yang memiliki kesadaran untuk mengambil peran dalam perubahan sosial bersama kelompok rakyat termarjinal, seperti di Kerala dimana terdapat “People Science Movement” atau Gerakan Ilmu Pengetahuan Rakyat yang di tukangi oleh kaum terpelajar dengan misi memberikan pengajaran dan pengetahuan kepada rakyat. Sekaligus merupakan kelompok aksi paling ‘vokal’ dan berdampingan dengan rakyat tertindas. KSSP memandang bahwa masyarakat India terbagi dalam dua kelompok: minoritas, yang mana terus-menerus bertambah kaya dan mayoritas yang terus menerus melarat atau menghadapi ancaman pemiskinan.

Kerjasama dengan Partai Komunis India-Marxist (CPI-M) juga menjadi fondasi pemberdayaan masyarakat di lapisan akar rumput. Partai satu ini tampaknya telah memiliki perspektif untuk tidak hanya berfikir bagaimana merebut kekuasaan, namun juga mengambil kesempatan untuk mendidik dan menggalang dukungan yang luas terhadap mereka. Partai merasa sudah menjadi kewajiban mereka untuk memenuhi hak ekonomi-sosial-budaya massa yang mendukungnya.

Kondisi politik dan tekanan ekonomi yang semakin besar tampaknya telah mendorong terbentuknya berbagai kelompok aksi sosial dan politik yang mengusung visi ‘membangun masyarakat tanpa eksploitasi melalui perluasan demokrasi yang berbasis kemandirian rakyat’.

Sementara kita memerlukan ukuran generalisasi yang luas, ada manfaatnya secara analitis memilahkan kelompok aksi di Dunia Ketiga menjadi dua kategori yang luas: mereka yang menaruh perhatian pada pembangunan ekonomi dan mereka yang bekerja ke arah perubahan sosial politik. Seperti yang terlihat dalam kasus di Kerala, apakah sebagai isu politik atau bukan, pada umumnya hal itu merupakan indikator tingkat kesadaran politik rakyat jelata dan kekentalan masyarakat sipil di berbagai wilayah dan di Negara Dunia Ketiga. Pada negara-negara Dunia Ketiga yang demokratis atau yang menuju demokrasi, kelompok aksi cenderung memiliki tujuan sosial politik yang mencolok.

Kesimpulan bahwa akhirnya kelompok aksi akan menang dengan terbangunnya demokrasi partisipatoris di Dunia ketiga di masa mendatang, dapat dikatakan terlalu optimistis dan terlalu dini untuk ditarik. Realitasnya lebih kompleks dan untuk golongan bawah dapat lebih suram. Memang benar bahwa di sejumlah – barang kali sebagian besar – Negara Dunia Ketiga ruang kelembagaan dan politik yang baru dan tidak diperkirakan sebelumnya, telah terbuka untuk macam-macam usaha yang terorganisasi. Namun di satu sisi, kelompok kaum miskin yang besar dan heterogen dan mereka yang tersingkir merasa makin sulit untuk mempertahankan posisinya. Dalam berbagai hal, apa yang terjadi adalah revolusi ‘diam’.

Dihubungkan dengan upaya yang terjadi saat ini, suatu ledakkan organisasi sedang terjadi di Dunia Ketiga; tetapi, sangat sering, orientasinya adalah defensife. Seringkali yang terjadi merupakan revolusi yang terjungkal pada tahap awal’; kelompok aksi ‘sedang membuat serangan tetapi masih jauh dari menggulingkan tatanan lama kemiskinan dan ketidaksetaraan’. Karena kelompok aksi sosial-politik harus terus berkutat pada pemanfaat ruang yang disediakan oleh demokrasi. Dari sana justru kelompok sosial-politik ini akan mencapai kemajuan. Pertanyaan yang akan muncul kemudian dan pantas untuk direnungkan oleh kita kelompok yang mengaku progresif adalah dimana peran partai progresif atau kiri atau bahkan berani mengaku revolusioner? Buat saya partai kiri kemudian harus mampu mempertahankan ruang yang disediakan oleh demokrasi dengan berbagai cara sehingga dengan demikian juga akan mampu mendorong kinerja kelompok aksi sosial-politik.

*Ketua Divisi Jaringan dan Hubungan Internasional KP PRP

No comments: