Momentum

MAYDAY 2007

Saturday, July 28, 2007

Fauzi Bowo vs Adang Dorodjatun: apa pilihan bagi Rakyat Pekerja Jakarta?

Ken Budha Kusumandaru*

Debat Calon Gubernur yang aneh di SCTV, 25 Juli 2007, menampilkan para juru kampanye dari kubu. Aneh bukan hanya dari isinya, tapi juga dari formatnya, yang hanya menampilkan para juru kampanye. Dari sini saja sudah terlihat bahwa baik Fauzi maupun Adang memang sarat digayuti kepentingan kubu yang “mendukung” di belakangnya. Terlepas dari kemungkinan bahwa SCTV memang hanya mengundang para “jurkam”, seharusnya baik Fauzi maupun Adang tidak melepaskan kesempatan untuk maju sendiri. Kenyataan bahwa mereka tidak bersedia untuk maju bertarung sendiri menunjukkan sampai di mana kualitas sesungguhnya dari kedua calon gubernur ini.

Tapi, terlepas dari kualitas pribadi mereka, yang lebih mengkuatirkan bagi rakyat pekerja justru adalah cara mereka memandang persoalan. Aku akan menyoroti soal ketenagakerjaan, satu hal yang sangat berkaitan dengan kepentingan rakyat pekerja di Jakarta.

Kubu Adang
Kubu Adang menyatakan bahwa mereka bertekad untuk menyediakan lebih banyak lapangan pekerjaan di Jakarta. Bagiku, ini satu pernyataan yang menunjukkan bahwa mereka sama sekali tidak paham masalah ketenagakerjaan, industri, kependudukan dan geopolitik Jakarta. Penyelesaian yang mereka ajukan sangat mudah dikatakan tapi luar biasa sulit untuk dilaksanakan.

Pertama, dengan cara apa lapangan pekerjaan akan disediakan? Moderator tidak mengejar lebih jauh soal ini, tapi aku curiga bahwa bagi mereka hanya terbuka dua pilihan: merekrut lebih banyak pegawai negeri atau mempercepat pelaksanaan sistem kontrak dan outsourcing. Kita tahu bahwa, menurut rejim SBY, sistem kontrak dan outsourcing adalah cara untuk menggairahkan industri dan membuka lebih banyak lapangan pekerjaan. Percuma saja membuka banyak lapangan pekerjaan kalau tidak menyediakan kepastian kerja dan jaminan kesejahteraan yang layak. Itu sama saja memberi peluang untuk terjadinya tindak penghisapan keringat buruh secara masif di Jakarta.

Sedikit informasi di luar apa yang diungkapkan dalam acara SCTV ini, kubu Adang Dorodjatun telah mengadakan kontrak politik dengan apa yang disebut “Koalisi Buruh Benahi Jakarta”. Ada beberapa butir isi kontrak ini, tapi yang paling menyolok adalah tidak disebutnya sama sekali tentang tuntutan buruh yang mengemuka paling kuat saat ini: menolak PHK massal, sistem kontrak dan outsourcing. Sementara solusi-solusi yang ditawarkan dalam kontrak ini persis dengan isi sogokan yang akan dijalankan melalui program Jamsostek, yakni perumahan murah untuk buruh. Kita perlu bertanya pada Jenderal Adang: kalau seorang buruh mengambil fasilitas rumah susun murah untuk buruh, kemudian di PHK dengan pesangon tidak memadai, bagaimana nasib rumah itu?

Kedua, dari sektor industri mana lapangan kerja ini akan dibuka? Kita semua tahu bahwa sentra-sentra industri besar sudah hampir tidak ada lagi di Jakarta – sudah dipindah ke Tangerang-Banten, Bekasi-Karawang atau Bogor. Paling-paling hanya sektor perdagangan, keuangan, administrasi-perkantoran dan jasa pendukungnya (seperti jasaboga atau cleaning service) yang bisa berkembang di Jakarta. Kalau memang sektor industri ini yang diandalkan untuk terbukanya lapangan kerja, kita harus sadari bahwa sektor jasa pada dasarnya merupakan pendukung dari sektor manufaktur. Tanpa adanya landasan yang kokoh di sektor manufaktur, sektor jasa juga akan tercekik.

Ketiga, bagaimana dengan soal arus masuk penduduk ke Jakarta? Kita tahu bahwa orang pindah ke Jakarta karena ingin mencari pekerjaan, karena mendengar di Jakarta mudah mendapatkan kerja. Pembukaan lapangan kerja di Jakarta, apalagi jika bersandar pada sektor jasa (yang relatif tidak membutuhkan ketrampilan tinggi), justru akan mendorong terjadinya arus perpindahan penduduk semakin besar ke Jakarta.

Kubu Fauzi
Jawaban dari kubu Fauzi Bowo lebih mengkuatirkan daripada jawaban asal-asalan dari kubu Adang Dorodjatun. Juru kampanye Fauzi dengan jelas-jelas menyatakan bahwa visi kubu itu adalah membuat Jakarta menjadi kota jasa, dengan meningkatkan semangat kewirausahaan warganya dan memperbesar sektor “informal” [sic!]. Lebih jauh lagi, si jurkam menyatakan bahwa selama warga Jakarta masih “bermental buruh” [sic!] mereka tidak akan pernah sejahtera.

Program ini jelas bertentangan dengan kecenderungan yang sekarang dijalankan oleh pasangan Sutiyoso-Fauzi Bowo, yakni menghancurkan semangat wirausaha warga Jakarta, dengan berbagai penggusuran yang dilakukannya. Mungkin saja kata “sektor informal” itu cuma keseleo lidah. Tapi, tetap saja tidak mengubah fakta bahwa di Jakarta ini berwirausaha dengan modal kecil berarti menentang pemerintah.

Di samping itu, jawaban yang angkuh ini menunjukkan dengan gamblang pada kita bahwa Fauzi Bowo berwatak anti-buruh. Tidak perlu diterangkan panjang lebar.

Kalau kita memperhatikan banyak poster yang bertebaran di jalan-jalan, salah satu slogan kubu Fauzi Bowo adalah: Fauzi menang, UMP Jakarta naik. Pernyataan dalam debat publik ini merupakan penyangkalan terang-terangan terhadap slogan itu. Lagipula, siapapun gubernurnya, UMP Jakarta (atau UMK di kota manapun) pasti naik tiap tahun. Persoalannya bukan pada naik atau tidak naik, tapi apakah kenaikan itu menambah kesejahteraan atau tidak cukup untuk bertahan hidup.

Kesimpulan
Jadi, saat ini kita berhadapan dengan dua pilihan: yang satu (kubu Adang) tidak memahami persoalan dan nampaknya mengandalkan penyelesaian ala neoliberal untuk soal ketenagakerjaan; sementara yang lain (kubu Fauzi) jelas dan tegas bersikap anti-buruh.

Bagiku, Rakyat Pekerja Jakarta harus menolak kedua pasangan calon gubernur ini. Apalagi kita punya tesis, kita punya prinsip, bahwa rakyat pekerja hanya akan sejahtera jika berkuasa. Maka, pengajuan calon independen dari kalangan rakyat pekerja, seorang pimpinan serikat rakyat, adalah hal yang vital dan harus dilakukan oleh organisasi-organisasi rakyat pekerja. Ditolak atau tidak ditolak adalah soal nomor 300, dengan kata lain tidak penting. Yang penting adalah mencari jalan untuk propaganda terbuka atas slogan “Buruh Berkuasa, Rakyat Sejahtera.”

Pada ujungnya, tentu kita akan menyerukan pada rakyat pekerja: kita hanya akan memilih pemimpin dari kalangan kita sendiri! Dan kita akan menyatakan diri sebagai oposisi dari rejim baru di Jakarta, siapapun yang terpilih sebagai gubernur di sini.

Jakarta, 26 Juli 2007

*Penulis adalah ketua divisi Pendidikan KP PRP

No comments: