Momentum

MAYDAY 2007

Wednesday, July 25, 2007

Perempuan dalam Politik Kelas Pekerja

Dwita Handayani*


Perempuan dalam kehidupan kesehariannya memiliki berbagai pengalaman khusus yang terkadang sulit dipahami kalangan di luar mereka. Pengalaman dan persoalan seperti kesehatan reproduksi, kesejahteraan keluarga, pendidikan, kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan sosial dan diskriminasi ditempat kerja.

Terdapat argumentasi yang menyatakan bahwa perbedaan berdasarkan jenis kelamin bukan lah suatu yang relevan bila dibahas melalui studi stratifikasi sosial (termasuk analisa kelas). Pendapat itu muncul karena ada pandangan bahwa perempuan tidak membentuk suatu “kolektivitas sosial yang terpadu”1. Perempuan tidak membentuk suatu tingkat sosial tertentu, tetapi terkonsentrasi di tingkat terendah dalam setiap kategori pekerjan, dan kurang terwakili dalam suatu posisi yang mengandung kekuasaan ekonomi dan politik.

Pembagian kerja menurut jenis kelamin rupanya universal hampir sepanjang sejarah, dalam masyarakat dimana pembagian tersebut bersifat hirakis dimana laki-laki meletakan perempuan lebih rendah. Adanya segregasi/pemisahan pekerjaan menurut jenis kelamin adalah mekanisme utama dalam masyarakat kapitalis yang mempertahankan “superioritas/kedigdayaan” laki-laki diatas perempuan karena segregasi tersebutlah yang menyebabkan upah tenaga kerja perempuan menjadi lebih murah dalam pasar tenaga kerja2. Akibat sistem patriarki yang masih melihat bahwa laki-laki sebagai kepala keluarga sehingga buruh laki-laki berhak atas tunjangan anak dan isteri. Sedangkan perempuan yang bekerja, tidak mendapat tunjangan suami dan anak, padahal kenyataannya banyak dari buruh perempuan saat ini berperan sebagai kepala keluarga.

Penggunaan tenaga kerja perempuan yang semakin besar sudah merupakan strategi penting bagi industri (perusahaan)untuk menurunkan biaya produksi. Dimana dengan kebijakan upah yang lebih murah menyebabkan posisi perempuan dibuat menjadi tergantung ke pada laki-laki.3

Dengan berkembangnya industri rumah tangga, perempuan memperoleh peran yang berarti dalam produksi dengan memamfaatkan keterampilan tradisional, terutama dalam produksi tekstil tradisional, akan tetapi upah pekerja perempuan masih lebih rendah dibandingkan dengan upah yang diberikan kepada pekerja laki-laki. Seiring pertumbuhan dan meluasnya pabrik-pabrik, perempuan dipaksa harus menerima kondisi-kondisi kerja yang sangat berbahaya -- kondisi yang sejak lama telah ditentang oleh pekerja laki-laki.

Hal itu disebabkan karena pekerja perempuan lebih “patuh dan permisif” dibandingkan pekerja laki-laki yang suka “membangkang”. Perempuan tidak saja menerima upah rendah, terkadang mereka juga acap mendapatkan pelecehan, dari atasan maupun dari pekerja laki-laki sendiri. Sehingga bisa dikatakan bahwa buruh perempuan menanggung beban ganda. Artinya: buruh perempuan tidak hanya melawan penindasan sang kapitalis semata, melainkan juga harus mengahadapi bentuk penindasan dari sistem patriaki.

Secara sadar dalam relasi ekonomi politik, dengan mempekerjakan perempuan, para pengusaha mendapat keuntungan dari segi ongkos operasional karena upah yang mereka berikan lebih sedikit dibandingkan dengan mempekerjakan para pekerja laki-laki. Ditambah lagi secara politik, buruh perempuan yang belum mempunyai kesadaran berorganisasi lebih sedikit melakukan perlawanan sehingga lebih patuh dan mudah ditundukkan.

Sejak awal pertumbuhan industri kapitalis, pekerja perempuan nampaknya kurang terorganisasi dengan baik secara kolektif dibandingkan dengan pekerja laki-laki. Dimana pekerja perempuan masih takut dan kurang mempunyai keberanian untuk bergabung dengan serikat buruh.

Padahal perempuan juga diberikan kebebasan untuk bergabung di serikat buruh yang ada di perusahaannya. Berdasarkan Konvensi ILO No.8 tentang kebebasan Berserikat menyatakan bahwa kebebesan berserikat berlaku bagi semua buruh tak terkecuali, bahwa jaminan ini di berikan tanpa mengenal diskriminasi atas pekerjaan, jenis kelamin, warna kulit, ras, keyakinan, kewarganegaraan ataupun pandangan politik.4

Sementara itu juga, dalam beberapa kasus perempuan mulai ,mundur atau keluar dari keanggotaan serikat buruh karena tidak tahan dengan berbagai bentuk intimidasi pihak perusahaan, mulai dari tindakan mutasi sampai dengan cara mengancam akan memberhentikan atau mem PHK kan mereka.

Buruh perempuan dalam memperjuangkan hak – haknya contohnya saja hak pekerja perempuan untuk memperoleh cuti haid masih sering mengalami hambatan dan perlakuan – perlakuan yang tidak wajar bahkan berujung pada PHK sepihak.5 Karena posisi mereka dibuat sangat lemah, selain harus bertarung dengan pihak pengusaha dan undang-undang perburuhan yang tidak berpihak pada buruh, juga harus menghadapi instansi pemerintah, aparat keamanan dan berbagai aparat desa yang masih didominasi oleh watak patriakis yang kuat..

Perempuan selalu dilekatkan dengan kepemilikan budaya perlawan yang lemah dibandingkan laki-kali dengan adanya hegemoni sejarah kekuasaan laki-laki. Dalam praktek keseharian represi dari pihak perusahaan dilakukan dengan cara memanggil satu persatu dan disuruh keluar dari keanggotaan serikat, kalau mereka tidak mau maka masa kontraknya diancam tidak akan akan diperpanjang lagi

Perjuangan Buruh Perempuan: Sebuah Ancaman?

Situasi di alam patriarkis seperti sekarang, membuat banyak pekerja laki-laki jauh lebih maju dalam memandang serikat buruh sehingga mereka bisa berorganisasi untuk mencapai tingkat kekuasaan tertentu dalam menghadapi para majikan -- apalagi diperkuat oleh kebiasaan kepemimpinan dalam keluarga, seperti juga hak-hak superior yang dimiliki laki-laki dalam ekspresi kenegaraan.

Konflik horizontal pun kemudian dimunculkan antara buruh laki-laki dengan buruh perempuan, dalam keseharian kita bisa menemukan para pekerja laki-laki secara sadar ataupun tidak telah memandang angkatan kerja perempuan sebagai ancaman dalam pasar tenaga kerja. Realitas ini merupakan ciri khas dari sistem ekonomi kapitalis yang melanggengkan sistem sosial patriarkis.

Pekerja perempuan yang dibayar lebih rendah adalah ancaman yang lebih buruk. Realitas di atas sering dipresentasikan dalam pandangan normatif masyarakat dengan meletakan perempuan dalam urusan sumur, dapur, dan kasur. Atau dengan perkataan lain, perempuan dikembalikan kepada pekerjaan domestik, sementara laki-laki mengerjakan pekerjaan di bidang publik.

Pikiran bahwa buruh perempuan adalah ancaman -- dalam berbagai bentuknya, baik secara kultural hingga persaingan memperebutkan lapangan kerja – bila mau secara jujur kita periksa di lingkungan kita masih merajela sebagai kesadaran umum yang dibiarkan. Cara pandang yang sesungguhnya justru melecehkan segala analisa sosiologis dan historis yang telah membuktikan adanya sistem patriarkis yang dipelihara oleh sistem-sistem eksploitasi masyarakat hingga era kapitalisme sekarang ini.

Perjuangan Perempuan adalah Kewajiban Politik Rakyat Pekerja

Pembagian kerja berdasar perbedaan jenis kelamin harus dipandang sebagai suatu yang tidak emansipatoris dan harus dilenyapkan bila kita percaya kaum perempuan berhak menyamakan status sosial dan mengembangkan potensi kemanusiaan secara total. Sejarah menunjukkan perjuangan emansipatoris itu adalah sesuatu yang mungkin dan punya banyak jejak dalam sejarah masyarakat kita.

Perjuangan perempuan di Nusantara bukanlah sesuatu yang ahistoris. Ia tidak hanya diwakili oleh R.A Kartini dengan bias catatan sejarah kolonialisme dan pendangkalan makna oleh rejim Orde Baru. Rohana Kudus di Bukittinggi jauh di awal abad ke 20 juga sudah menggorganisir ibu-ibu pedang kaki lima dan industri sulaman dengan membuat koran perempuan pertama di Asia Tenggara dan membuat perkumpulan Amai Candung sebagai media kolektif perjuangan hak-hak perempuan.

Pelanggengan domestifikasi sistem ekonomi politik kapitalisme terhadap perempuan harus diakhiri dengan gerakan perempuan yang terorganisir dengan sadar akan hak-hak dasar baik di dalam rumah, di tempat kerja, dan ruang publik lainnya. Perjuangan ini juga perlu dilakukan dengan bekerja sama dengan buruh laki-laki yang sudah mempunyai kesadaran gender yang lebih maju guna melawan sisitem patriaki yang masih mendominasi.

Sistem patriaki yang menindas ini pun masih melekat pada organisasi yang mengaku paling progresif sekalipun. Oleh karena itu mari kita sama-sama memeriksa dalam organisasi kita, serikat buruh tempat kita bergabung, keluarga kita, lingkungan sekitar, bahkan sampai pada level negara, apakah sistem patriaki ini sudah hilang? Apabila masih belum hilang, maka mari kita sama-sama berhimpun dan melakukan perlawanan, tidak hanya terhadap sistem kapitalis, juga terhadap sistem patriaki yang menindas.6

*Penulis adalah anggota PRP Komite Kota Tangerang

1 Anthony Giddens, Kelompok, Kekuasaan, dan Konflik, hal. 489, Rajawali Persada, 1981.
2 ibid, hal. 505
3 Ekonomi Pasar Sosial, FES, 2005
4 ABC Hak-hak Serikat Buruh, TURC, 2005
5 Sharing pengorganisiran dengan kawan-kawan aktifis perempuan KASBI Tangerang
6 Sharing dengan kawan-kawan Pelaksana sekolah Demokrasi Kabupaten Tangerang

No comments: