Momentum

MAYDAY 2007

Saturday, August 4, 2007

Peran Cagub DKI atasi naiknya harga-harga*

Eka Pangulimara H**

Berita-berita terakhir, baik di koran maupun televisi, bangsa ini seperti hendak menghadapi krisis baru. Titiwancinya adalah naiknya berbagai macam kebutuhan masyarakat. Yang paling menonjol cabe merah keriting yang menembus angka Rp. 30.000/kg, dan minyak goreng hingga Rp. 9.000/kg. Harga komoditas lain seperti telur, gula, terigu, juga terus bergerak naik.

Ada dua penyebab. Pertama, jelang hari raya Idul Fitri bagi umat muslim, yang sebentar lagi dirayakan. Telah menjadi siklus bahwa pada masa-masa seperti ini harga-harga kebutuhan naik lumayan drastis. Utamanya disebabkan permintaan yang meningkat tajam di saat masyarakat memerlukan berbagai macam komoditas guna “menikmati” suasana lebaran dalam keadaan serba cukup.

Kedua, kenaikan harga BBM yang diputuskan pemerintah mulai 1 Oktober 2005 yang lalu. Kenaikan rata-rata yang melebihi angka 100% ini dipastikan mendorong naiknya harga-harga kebutuhan, minimal karena biaya transportasi yang melonjak.

Penyebab kedua lebih berpengaruh dibanding momentum menjelang lebaran. Hal ini karena pengaruh naiknya harga BBM lebih material daripada kenaikan jelang lebaran yang seringkali diakibatkan masalah psikologis pada diri pedagang. Kenaikan harga BBM kemarin juga mendorong pedagang untuk menaikkan harga untuk mengambil untung sebanyak-banyaknya. Dengan kondisi daya beli yang menurun, kaum pedagang tahu kenaikan harga yang “keterlaluan” akan sangat sensitif bagi pembeli.

Tren naiknya harga menjelang lebaran selama ini dimahfumi orang banyak. Selewat lebaran, harga-harga komoditas akan bergerak turun mencapai harga normal. Namun kondisi saat ini tidak ada jaminan seperti itu. Kenaikan biaya transportasi akibat naiknya harga BBM tidak bisa ditawar lagi. Akibatnya harga tinggi berbagai macam kebutuhan saat sekarang berpotensi tidak turun, bahkan naik lagi di waktu-waktu yang akan datang.

Potensi naiknya kembali harga-harga kebutuhan pokok selepas lebaran disumbang oleh rencana naiknya tarif dasar listrik (TDL), PDAM, tarif Telkom, BBM industri, elpiji yang harganya ditetapkan. Naiknya TDL di awal-awal tahun 2006, misalnya, diprediksikan akan memukul usaha konveksi yang berujung pada PHK massal para pekerjanya. Di samping proyeksi pengusaha untuk mengubah status para buruh menjadi sistem kontrak/outsourcing yang marak belakangan ini, ditenggarai dengan cara PHK massal. Semakin mendapat legitimasi dengan serba tingginya ongkos produksi yang dikeluarkan.

Pendidikan Terancam
Salah satu sektor yang paling terancam adalah dunia pendidikan dengan prediksi kenaikan angka putus sekolah. Kenaikan BBM menaikkan biaya transportasi cukup tinggi. Anak sekolah yang biasa menggunakan angkutan menuju sekolah akan terbebani oleh biaya transport yang melonjak. Kenaikan sebesar Rp. 500 sekali naik saja berarti orang tua harus menaikkan anggaran transport sebesar Rp. 30.000/bulan/anak sekolah. Sering anak yang disekolahkan mencapai 3 sampai 4 anak, sehingga biaya transport saja bisa mencapai 120.000/bulan.

Gambaran ini akan memaksa orang tua berpenghasilan pas-pasan akan memprioritaskan pendidikan anak-anaknya ke level lebih rendah. Kebutuhan untuk bertahan hidup jelas dinomersatukan. Orang tua dengan anak usia sekolah yang banyak akan mengurangi jumlah anak yang bersekolah, terutama yang dikorbankan adalah anak perempuan.

Penyesuaian pemenuhan kebutuhan (ketika harga-harga kebutuhan naik sementara penghasilan tetap) yang bisa ditempuh adalah dengan mengurangi asupan gizi atau nilai nutrisi. Tetapi kiat ini bukannya tak beresiko. Pengurangan gizi secara kontinyu bisa berakibat fatal berupa merebaknya penyakit-penyakit kekurangan gizi seperti busung lapar (marasmus kwasiorkhor) dan penurunan kecerdasan.

Siapa yang bertanggung jawab terhadap kemungkinan buruk tersebut? Tentu saja pemerintah yang telah “tega” menaikkan harga BBM demikian tinggi. Semestinya pemerintah tidak lepas tangan terhadap dampak buruk naiknya harga BBM pada rakyatnya sendiri. Pemerintah mesti mendayagunakan seluruh energinya untuk membantu rakyat agar tidak kelimpungan memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Naiknya harga BBM secara otomatis memperkuat APBN. Masyarakat pantas berharap seluruh devisa yang diperoleh dari kebijakan menaikkan harga BBM digunakan kembali seluruhnya untuk rakyat.

Namun sejauh ini, selain dana kompensasi langsung, sepertinya belum ada action pemerintah yang mampu secara signifikan membantu masyarakat menghadapi melonjaknya harga-harga. Terdapat waktu jeda yang tidak bisa ditentukan lamanya sampai ada action pemerintah yang memadai. Dan selama itu pula masyarakat terus dihantui kenaikan harga kebutuhan tanpa ada yang bisa mengendalikan.

Peran Para Cagub
Kini masyarakat Ibukota haruslah memilih satu di antara dua. Yang satunya, Fauzi Bowo yang merupakan Cagub yang diangkat oleh koalisi 20 Parpol, dan Adang dengan dukungan PKS sebagai partai tunggal di belakangnya. Apapun yang mereka lakukan, barulah nampak obralan beribu janji, terkesan sloganistik. Dan tidak lebih dari jargonistik dalam masa-masa kampanye seperti yang sudah-sudah.

Kita tengok kebijakan menaikan harga BBM misalnya, memang keputusan pemerintah pusat. Gubernur dan DPRD selalu berargumen demikian untuk menunjukkan ketidakberdayaan pemerintah di ibukota berikut daerah. Kita mengamini hal tersebut. Namun seyogyanya pernyataan tersebut tak mengindikasi lepas tangannya sosok gubernur dari persoalan yang dihadapi masyarakat. Sebab entah dari mana sebuah kebijakan turun, deretan kemiskinan warga Ibukota, tak selalu lebih baik dari masyarakat daerah.

Oleh karena itu, para Cagub mesti berpikir keras, menghitung-hitung kemampuan dan kinerja diri nantinya, mencari usulan dari sana-sini, yang seluruhnya digunakan demi memperkuat ketahanan ekonomi warga Ibukota. Tentu saja tugas ini adalah hal rutin dan inheren sebagai kerja gubernur terpilih berikut lima Pemkotnya. Namun intensitas dan besarannya harus lebih difokuskan dan dipersiapkan betul untuk saat-saat sekarang.

Resiko yang dihadapi cukup besar. Untuk kota Jakarta, terdapat karakteristik tercetusnya luapan masyarakat yang tidak puas dengan keadaan melalui jalan kekerasan. Di tahun 1998 kemarin, kota ini mengalami prahara hebat berupa kerusuhan massa yang meluluhlantakkan hampir seluruh persendian ekonomi kota. Belum lagi sikap sebagian besar warga Ibukota yang sudah terlanjur abai dengan elit dan partai politik.

Melakukan intervensi langsung untuk mempengaruhi harga kebutuhan mungkin mustahil dilakukan. Selain daya dukung APBD tidak memadai, intervensi harga dapat mendistorsi pasar. Tidak lebih dari dua minggu ke depan, agaknya para Cagub belum menampakkan strategi operasional di levelan program penyelesaian kompleksitas problem di Ibukota. Yang dapat dipertontonkan kepada masyarakat luas.

Ada beberapa tindakan nyata yang lebih realistis. Pertama, meninjau kembali UMK (upah minimum kota) untuk buruh dan mendorong naiknya upah buruh sampai mendekati atau setara kebutuhan hidup layak (KHL). Upaya ini akan mendapat resistensi dari pengusaha yang akan makin terbebani. Cagub dalam hal ini bisa menawarkan pengurangan instrument-instrumen tertentu yang sampai kini memperbesar biaya produksi. Biaya siluman seperti pungutan liar harus dikikis habis dan menjadi agenda utama para Cagub untuk membantu dunia usaha yang hasilnya bisa dinikmati kaum buruh.

Kedua, pengalokasian dana kota ke hal-hal yang semakin urgent. Biaya-biaya kota harus dikurangi, mobil dinas mewah kalau perlu bukan cuma diganti tapi dijual (daripada membebani biaya operasionalnya). Biaya operasional dan pemeliharaan aset negara juga dapat dikurangi. Pengurangan AC untuk ruang para pejabat. Kondisi gedung tidak perlu terlihat kinclong, sebab keadaan tersebut justru akan berkebalikan dengan kondisi masyarakat yang serba payah.

Ketiga, seluruh pejabat tinggi seperti gubernur dan wakilnya, anggota dewan dan pejabat eselon dipotong gajinya. Jumlahnya mungkin tak seberapa tapi menyimbolkan kesulitan yang kini dihadapi masyarakat juga dialami para pejabat tinggi. Terdapat suasana solidaritas di mana pejabat tidak berada dalam kesenangan di atas penderitaan rakyat.

Untuk sektor pendidikan, bisa diupayakan perbanyakan pengadaan bis kota khusus bagi anak sekolah yang langsung menjemput mereka dari tempat tinggal sampai ke sekolah (tidak perlu berganti-ganti bis kota). Bis DAMRI dengan subsidi gubernur adalah alternatifnya, di mana pada jam berangkat dan pulang sekolah disulap khusus sebagai bis sekolah. Anggaran yang dihemat dari kebijakan pengetatan anggaran maupun potong gaji pejabat bisa dialihkan ke keperluan ini.

Yang jelas, entah apapun tindakan para Cagub yang terpilih, setidaknya mewakili gambaran pada masyarakat bahwa pejabat publik tidak pernah berleha-leha dalam menghadapi situasi terburuk sekalipun.

*Tulisan ini pernah dipublikasikan oleh Buletin SADAR (prakarsa-rakyat.org)
**Penulis adalah anggota Solidaritas Buruh Pelabuhan Indonesia (SBPI) Jakarta dan anggota PRP Komite Kota Jakarta Raya

No comments: