Momentum

MAYDAY 2007

Wednesday, April 4, 2007

Mencari Jaminan Keamanan dan Kepastian Kerja: Menghentikan Gelombang PHK dan Sistem Kerja Fleksibel di Indonesia

Ken Budha Kusumandaru*

PENDAHULUAN

Dari sekian banyak keresahan yang secara bertubi-tubi menghantam kehidupan buruh, sistem kerja kontrak dan PHK (terutama yang bersifat massal) adalah salah satu yang paling berat. Hampir semua keresahan lain terkandung pula dalam kedua masalah ini. Karena sistem kerja kontrak berarti antara lain (1) kehilangan tunjangan dan jaminan sosial; (2) kehilangan masa kerja; (3) kehilangan jaminan kepastian kerja; (4) kehilangan kepastian upah dan perlindungan upah minimum; dan (5) kehilangan kepastian jam kerja.

Setiap kali di satu pabrik terdengar isu bahwa status buruh tetap akan diubah menjadi buruh kontrak,hal ini pasti akan menimbulkan keresahan. Namun, perlawanan terhadap sistem kerja yang merugikan bagi buruh ini, setidaknya sampai sekarang, tidaklah berlangsung secara serius. Serikat-serikat buruh impoten ketika berhadapan dengan niat manajemen untuk mengubah sistem kerja tetap menjadi kontrak.

Pasti ada yang sangat keliru dalam penyusunan strategi-taktik perlawanan kelas pekerja terhadap sistem kerja kontrak ini sehingga benteng-bentengnya rubuh satu demi satu. Aksi-aksi demonstrasi yang dilancarkan dalam perlawanan terhadap sistem kerja kontrak ini mandul, pecah bagaikan ombak yang berbuih di pinggiran pantai. Kelihatan heroik tapi tidak ada tenaganya sama sekali. Mari kita coba telusuri segala hal yang berkaitan dengan sistem kerja kontrak ini agar kita mendapatkan gambaran yang lebih jelas, monster apa yang sedang kita hadapi ini. Dan, mudah-mudahan, kita akan dapat merumuskan cara menaklukkannya.

1. UNDANG-UNDANGNYA YANG TIDAK BENAR ATAU PELAKSANAANNYA YANG TIDAK KONSISTEN?

Ini merupakan persoalan klasik ketika kita berhadapan dengan sebuah peraturan perundang-undangan yang baru. UU Ketenagakerjaan yang baru, PPHI dan UUTK, memuat banyak hal baru yang sebelumnya dalam perundang-undangan sebelumnya kurang atau tidak diperhatikan. Masalah sistem kerja kontrak ini adalah salah satunya. Sebelum kita beranjak pada soal-soal lain, kita harus terlebih dahulu menjawab pertanyaan yang ini. Karena pertanyaan inilah yang akan menentukan cabang pemecahan masalah yang harus kita ambil.

Sistem kerja kontrak adalah sebuah sistem yang wajar dalam dunia industri. Karena ada proses-proses produksi yang tidak berlangsung secara terus-menerus, namun hanya sekali-sekali terjadi. Misalnya ketika musim pemilu tiba, tentunya pesanan pembuatan spanduk atau kaos akan meningkat secara drastis. Bukan saja industri sablon yang kebanjiran order, tapi juga industri garmen secara umum. Agar proses produksi yang mapan tidak terganggu, perlu ada penambahan tenaga secara musiman berdasarkan kebutuhan-kebutuhan ini.

Pemerintah (c.q. DPR) menyatakan bahwa hal ini adalah pertimbangan yang melatarbelakangi lahirnya pengaturan tentang sistem kerja kontrak di dalam UU PPHI. Lagipula, di dalam UU tersebut sudah dinyatakan bahwa hanya pekerjaan-pekerjaan tertentu (yakni musiman) di mana buruh boleh dipekerjakan dengan sistem kerja kontrak.

Kenyataannya di lapangan, operator genset pun dipekerjakan dengan sistem kontrak. Padahal operasi genset adalah operasi yang tidak boleh berhenti sedetikpun kalau tidak mau gensetnya cepat rusak. Ini sama sekali bukan kerja musiman. Demikian pula dengan pekerjaan sekuriti atau kebersihan (cleaning service). Dua-duanya, sekalipun berbentuk jasa dan tidak ada hubungan langsung dengan proses produksi, namun sangat menunjang kelancaran dan produktivitas pekerja. Dan, yang paling penting, bukan sebuah kerja musiman.

Demikian pula persoalannya dengan PHK

Pemutusan Hubungan Kerja kini merupakan satu momok yang menghantui pikiran massa buruh di Indonesia. Tanpa ancang-ancang, sebuah perusahaan bisa melakukan pemecatan, atau memaksa buruh untuk mengundurkan diri. Dengan alasan "merugi" perusahaan melakukan PHK secara massal, mematikan pencaharian ratusan, bahkan ribuan, buruh. Tanpa mempedulikan bahwa di belakang para buruh itu terdapat keluarga mereka, istri/suami dan anak-anak, yang harus diberi makan dan dijamin masa depannya, para pemilik modal berusaha menyelamatkan tingkat keuntungan dan pengerukan kekayaannya.

Namun tidak hanya itu. Seringkali pengusaha melakukan penutupan salah satu unit usaha dengan alasan bangkrut. Namun, seperti yang terjadi di PT Sarasa (di Balaraja), perusahaan sebetulnya tidak bangkrut, hanya satu unit itu saja yang merugi. Itu juga kata pengusaha, tanpa mau memperlihatkan pembukuan, skedul order atau dokumen lainnya pada buruh. Tapi, P4D mengabulkan permohonan pernyataan bangkrut/pailit oleh pengusaha padahal unit lain dari PT Sarasa masih beroperasi.

Pemerintah berkilah bahwa kemampuan mereka mengawasi “pengusaha nakal” yang melanggar peraturan sangat lemah. Sehingga banyak pelanggaran yang luput dari pengawasan mereka. Ketika kita mendengar pengakuan yang penuh permohonan belas-kasihan ini, biasanya kita cenderung langsung mengamini dan memberikan maaf.

Tapi persoalannya tidak sesederhana itu. OK kalau mereka luput mengawasi pabrik-pabrik kecil yang kurang terkenal produksinya. Tapi bagaimana mungkin mereka luput mengawasi Secure Parking yang ada di mana-mana? Bahkan Dinas Kebersihan Pemda DKI Jakarta saja sekarang men-subkontrakkan kerja-kerjanya pada perusahaan kebersihan swasta. Seperti yang kita lihat dalam kasus PT Sarasa, pemerintah sebenarnya sudah tahu bahwa alasan "bangkrut" itu cuma akal-akalan pengusaha. Tapi mereka menutup mata terhadap hal ini.

Kemampuan pemerintah untuk melakukan pengawasan ini lemah karena memang UU PPHI tidak mengatur secara rinci sektor produksi dan jasa macam apa yang boleh mempekerjakan buruh dengan sistem kerja kontrak. Di samping itu, UU menempatkan wewenang pengawasan tunggal pada pemerintah. Mereka sendiri mengakui bahwa kemampuan pengawasan mereka lemah, tapi mereka tetap memaksakan wewenang ini pada diri mereka sendiri. Kalaupun kita beranggapan bahwa pemerintah bisa netral dalam konflik antara pengusaha dan buruh (kita tahu bahwa 99 dari 100 kasus mereka berpihak pada pengusaha), mereka tetap akan gagal melakukan pengawasan.

Dengan kata lain, UU ini memberi blangko kosong pada pengusaha untuk melaksanakan sistem kerja kontrak dan PHK. Wewenang pengawasan tunggal diberikan pada pemerintah, yang tidak netral (baca: berpihak pada pengusaha) dan kemampuan pengawasannya lemah. Lalu, jika masih muncul kasusnya, perdebatan tentang interpretasi atas UU itu akan bisa mengulur waktu perjuangan buruh. Akan bisa membuat lelah buruh yang sumberdayanya tidak sebesar pengusaha.

Dengan cara membuat lubang besar dari sisi pengaturan perundang-undangan dan pengawasannya, sesungguhnya pemerintah telah memberi perlindungan pada pengusaha yang ingin melakukan sistem kerja kontrak dan PHK.

2. KRISIS EKONOMI DAN STRUKTUR EKONOMI ORDE BARU

Pemerintah selalu menggembar-gemborkan bahwa Pasar Tenaga Kerja Fleksibel (baca: PHK dan sistem kontrak) adalah jawaban yang paling masuk akal untuk mengatasi krisis ekonomi. Pertanyaan pertama yang seharusnya kita lontarkan pada penguasa negara ini adalah: "mengapa buruh yang harus membayar mahal agar krisis dapat diatasi?" Pertanyaan yang kedua adalah: "apa benar cara ini akan menjamin Indonesia dapat keluar dari krisis?"

Banyak orang yang sudah mulai mengeluhkan keadaan yang terjadi justru setelah Soeharto ditumbangkan dan "reformasi" menjadi sangkakala yang digemakan ke seluruh negeri. Katanya dulu ada jaminan keamanan, jaminan kepastian kerja, jaminan harga murah, dll. Tiba-tiba semuanya lenyap ditiup badai krisis. Banyak orang yang tidak mau berpikir kemudian menyalahkan reformasi dan merindukan kembalinya "jaman Soeharto". Demikian kuatnya sindroma Saya Amat Rindu Soeharto ini sehingga mampu memuluskan figur militer kembali berpeluang menapak tangga ke singgasana.
Kita sering lupa (atau pura-pura lupa) bahwa kondisi krisis ini adalah justru warisan Orde Baru. Yang terutama menyebabkan krisis ini adalah struktur ekonomi Indonesia pasca industrialisasi yang dicanangkan Soeharto di era 80-an.

Bangunan ekonomi Orde Baru.

Kita ingat bahwa struktur perekonomian Indonesia pasca 1965 terselamatkan dari krisis pertama yang menimpanya di awal 1970-an karena uang minyak. Ramalan gelap dari Club of Rome, sekumpulan pakar ekonomi kapitalis di tahun 1972 tentang akan habisnya cadangan minyak dunia dalam duapuluh tahun kemudian meroketkan harga minyak. Terjadinya perang antara Israel dengan koalisi negara Arab yang dipimpin Mesir dan Suriah di tahun 1973-74 (yang dikenal sebagai "Invasi Yom Kipur") juga ikut mendorong naik harga minyak karena tercekiknya suplai minyak dari kawasan itu selama hampir satu tahun. Harga minyak naik dari $3 menjadi $12 per barel dalam tempo singkat. Uang minyak inilah yang digunakan rejim Soeharto untuk mendanai banyak industri baru. Industri ini berlandaskan falsafah "Industri Subsitusi Impor", di mana titik beratnya adalah konsumsi dalam negeri. Karena harus dihabiskan oleh rakyatnya sendiri, Soeharto kemudian menggunakan sisa uang minyak itu untuk mendanai subsidi berbagai barang kebutuhan pokok.

Uang minyak inilah yang memulai berbagai hal. Satu di antaranya adalah stabilitas ekonomi yang kita nikmati sepanjang Orde Baru. Ketersediaan lapangan kerja terus ada karena uang minyak itu harus dihabiskan. Perlu kita tahu bahwa pemerintah kapitalis Indonesia selalu menganut sistem anggaran berimbang, di mana pemasukan harus sama dengan pengeluaran. Mereka tidak merasa perlu membuat cadangan karena, pada waktu itu setidaknya, mereka berpikir akan berkuasa selama-lamanya dan uang itu akan terus membuntuti mereka. Prinsip anggaran berimbang ini pula yang menjadi picu meledaknya korupsi. Uang yang dianggarkan harus habis tidak peduli caranya. Dan para pejabat bisa korup tanpa terlalu mempengaruhi perekonomian – pemasukan dari minyak terlalu banyak. Maka terjadilah hal yang secara akal-sehat tidak dimungkinkan: stabilitas ekonomi yang bersanding dengan merajalelanya korupsi.

Mendekati tahun 1980-an, harga minyak meroket lagi sampai $30 per barel. Kenaikan harga ini disebabkan oleh menguatnya OPEC sebagai organisasi kartel yang sanggup mengontrol harga minyak dunia. Sayangnya, kebangkitan kartel minyak dunia ini tidak dibarengi kondisi pasar yang baik. Amerika Serikat dan Eropa berbarengan mengalami resesi yang dimulai di tahun1982. Permintaan dunia akan minyak terjun bebas. Sebagai akibatnya, rejim Soeharto mulai resah. Prospek kebangkrutan ekonomi sudah di depan mata.

Lagi-lagi Soeharto tersandung dengan keberuntungan.
Pada tahun 1985, Jepang mengambil satu kebijakan yang dikenal sebagai Plaza Accord. Melalui kebijakan ini, Jepang mendevaluasi nilai yen terhadap dollar Amerika Serikat secara besar-besaran. Dengan demikian, semua perusahaan Jepang dipaksa untuk merelokasi pabrik mereka ke luar negeri untuk "menghemat biaya produksi". Bukan kebetulan kebijakan ini keluar. Sesungguhnya ini adalah balasan Jepang terhadap upaya Amerika Serikat memblokade invasi ekonomi Jepang ke pasar Amerika Serikat melalui devaluasi dollar terhadap yen sebesar 17% di tahun 1971. Akibat tindakan Amerika Serikat ini Jepang tercekik secara ekonomi, terutama karena ketergantungannya akan minyak dan pangan dari negeri imperialis itu. Dengan balas mendevaluasi yen terhadap dollar, para kapitalis Jepang memaksa diri keluar bertarung dengan kapital Amerika Serikat dalam perang ekonomi yang kita kenal sebagai "globalisasi".

Yang dipilih Jepang sebagai sasaran penanaman modalnya adalah Asia Tenggara, terutama Indonesia. Kelas pemilik modal Jepang sudah lama akrab dengan rejim Soeharto. Ini terlihat kalau kita runut pemicu kerusuhan Januari 1974 adalah protes terhadap masuknya kapital Jepang di bawah perlindungan Soeharto. Sekitar $15 trilyun mengalir dalam bentuk penanaman modal langsung dari perusahaan-perusahaan Jepang ke Asia Tenggara dalam kurun 1986-90. Ini belum termasuk trilyunan dollar lagi yang datang dalam bentuk pinjaman, bantuan dan hibah dari pemerintah Jepang.
Soeharto mengubah drastis kebijakan ekonominya. Melalui PAKTO 1986, Soeharto melakukan salto ekonomi-politik dari ISI menjadi IOE (Industri Orientasi Eksport). Ini adalah isyarat bagi para penanam modal asing untuk berbondong-bondong masuk ke negeri ini.

Kalau dipikir-pikir, sebenarnya aneh kalau kita menyebut strategi ekonomi ini sebagai "berorientasi eksport". Apa yang dieksport? Aki merk Yuasa, retsleting merk YKK, radio compo merk Sony…. Semuanya adalah barang yang diproduksi oleh perusahaan modal Jepang. Namun, semata karena barang-barang itu diproduksi di Indonesia dengan memeras keringat buruh Indonesia, rejim Soeharto memberinya label sebagai "barang eksport".

Tentu saja, untuk menarik modal asing untuk lebih memilih Indonesia ketimbang negeri-negeri Asia Tenggara lainnya, rejim Soeharto kemudian memproklamirkan kebijakan "keunggulan komparatif" Indonesia. Apa itu? Upah buruh murah. Indonesia dikatakan unggul dari negeri lainnya sebagai sasaran penanaman modal karena upah buruh di sini murah. "Keberuntungan" Soeharto kali ini diraihnya dengan mengorbankan kesejahteraan buruh.

Sampai di situ, Soeharto masih bisa bersikap acuh terhadap tekanan IMF dan Bank Dunia yang berusaha memaksakan liberalisasi perdagangan melalui "paket-paket bantuan" mereka. Soeharto dapat memainkan kartu yang ada di tangannya dengan brilian, sampai-sampai kekuatan adidaya semacam Amerika Serikat sekalipun harus sangat berhitung ketika hendak main dorong di sini.

Namun, mimpi indah manapun harus berakhir.

Kejatuhan struktur ekonomi Orde Baru

Di awal tahun 1990-an, kucuran modal dari Jepang mulai mengendur. Gelembung ekonomi yang dipompanya di tahun 80-an pecah. Krisis yang terjadi menyeret negeri itu ke dalam resesi terparah yang pernah dialami Jepang sejak usainya Perang Dunia II sampai saat itu. Begitu parahnya krisis yang dialami Jepang sampai-sampai banyak pemilik modal Jepang menghapuskan tradisi "kerja seumur hidup" yang dahulu menjadi ciri pola ketenagakerjaan Jepang. Artinya, PHK mulai diberlakukan bagi mereka yang "tidak memenuhi standard mutu".

Bisa dibayangkan bahwa rejim Soeharto mulai kebakaran jenggot. Pada saat itu rejim ini sudah sangat tergantung pada pasokan modal asing.

Bukan saja pemerintahnya, para pemilik modal nasional juga sudah keranjingan pinjaman dari pemodal asing. Kalau kita ambil tahun 1991, misalnya, dari Rp 41.210,8 milyar yang ditanamkan oleh pemodal nasional, $ 23,9 milyar di antaranya adalah pinjaman dari kapital asing. Kalau kita ingat bahwa satu dollar waktu itu bernilai kurang lebih Rp 2000, total pinjaman pemodal nasional justru melebihi dari apa yang ditanamkannya. Ini tentu lari ke korupsi, uang keamanan, dll biaya tak terduga seperti yang kita temui dalam praktek bisnis Indonesia. Tahun 1992 malah lebih parah, angka penanaman modal nasional merosot sampai hampir 1/2-nya tapi jumlah hutang luar negeri oleh perusahaan swasta justru meningkat beberapa milyar dollar.
Para pemodal nasional ini meminjam untuk segala macam hal, mereka memakai hutang ini untuk macam-macam jenis investasi. Tapi, pada tahun 1990-an, mereka menanam modal terutama untuk real-estat dan bisnis properti. Ini jenis bisnis yang cepat menyedot dana tapi kembalinya lama – bahkan lama sekali, 10-20 tahun. Oleh karena itu, rejim Orde Baru beserta semua kapitalis yang dilindunginya hampir-hampir mati ketagihan ketika Jepang terpuruk dalam krisis.

Untung lagi bagi Soeharto, kali ini bank-bank Amerika Serikat-lah yang menawarkan bantuan. Tapi, tidak seperti Jepang yang banyak memberi hibah, bantuan pinjaman Amerika ini datang dengan syarat liberalisasi lembaga keuangan dan adanya suku bunga yang tinggi.

Demikianlah kita dapati perubahan berikutnya dalam struktur perekonomian Indonesia. Kita lihat menjamurnya bank baru di awal 1990-an. Kita lihat pula bahwa bank-bank baru ini berani menawarkan suku bunga tabungan bahkan sampai 15% per tahun. Ini menyeramkan. Tingkat bunga tabungan setinggi itu berarti tingkat bunga kredit yang ditawarkan bank lebih tinggi lagi. Jumlah uang yang beredar akan berlipat ganda, dan itu artinya inflasi gila-gilaan. Harga-harga bisa meroket tinggi. Satu-satunya bidang investasi yang akan dapat meredam peredaran uang yang tidak masuk akal ini adalah bidang-bidang spekulatif seperti bisnis properti atau pasar saham. Dan itu artinya kita masuk dalam lingkaran setan. Makin banyak pinjaman dibutuhkan, makin tinggi jumlah uang beredar, makin tergopoh-gopoh para pemilik modal menanam dalam bidang spekulatif, dst.

Terbukti: keruntuhan perekonomian Indonesia terjadi dengan dipicu keruntuhan dari bidang-bidang itu. Dipicu oleh jatuhnya nilai dollar, kemudian disusul sektor real estat dan bisnis properti, lalu sektor perbankan. Satu persatu terhuyung-huyung lalu rubuh ditimpa beban hutang. Tidak usah dipikirkan terlalu njelimet. Bagaikan balon yang terus ditiup, lama-lama akan pecah juga. Demikian pula dengan sektor ekonomi spekulatif ini. Pada titik tertentu, gelembung ekonomi itu pecah karena jumlah uang yang ditanam di sektor ini sudah terlalu besar namun harga jual properti justru ambruk karena berlebihnya suplai. Ketika % keuntungan yang diharapkan tidak dicapai, balon yang sudah terlalu besar itupun meledak berkeping-keping.

Pertanyaannya sekarang adalah "mengapa mereka awalnya memilih menanam modal di sektor spekulatif macam itu?" Bukankah ada industri yang (sekalipun masih ada unsur spekulasinya) namun jauh lebih dapat diramalkan untung-ruginya?
Jawabannya ada pada situasi ekonomi internasional

3. KRISIS EKONOMI INTERNASIONAL

Krisis overproduksi

Satu hal yang tidak akan pernah diakui oleh para ahli ekonomi yang pro pada pemilik modal adalah adanya krisis yang disebut "krisis overproduksi". Pada dasarnya, krisis ini terjadi karena bertumpuknya barang di dalam gudang. Kalau kita mau melihat secara sepintas bagaimana terjadinya penumpukan barang ini, beginilah kira-kira:
Proses produksi dalam kapitalisme dimulai dengan menanam modal, ini semua orang sudah tahu. Setelah modal ditanam, ia diolah oleh pekerja menjadi satu komoditi tertentu. Setelah jadi, komoditi itu dijual dan hasil keuntungannya ditanamkan lagi menjadi modal baru. Pola ini kelihatannya wajar dan sehari-hari belaka. Namun demikian, ia mengandung akibat-akibat yang besar.

Pola ini sering digambarkan sebagai pola M-C-M'. Artinya: uang menjadi komoditi, komoditi menjadi uang yang lebih besar lagi jumlahnya dari yang pertama. Pola ini adalah hukum besi bagi kapitalisme. Jika salah satu urat nadinya macet, yaitu apakah uang yang ada tidak dapat dibelanjakan membeli kapital, dengan kata lain: proses penanaman modal terhambat, atau komoditi tidak terjual sehingga tidak menghasilkan jumlah uang yang lebih besar dari yang pertama, kapitalisme akan sakit-sakitan.
Sesungguhnya, pola ini tidak akan pernah menghasilkan krisis jika komoditi yang diproduksi oleh kapitalisme ditetapkan jumlah dan jenisnya persis (setidaknya mendekati) apa yang dibutuhkan oleh konsumen dan, karena konsumennya adalah kelas pekerja, tingkat upah yang diberikan oleh kapitalis cukup tinggi untuk membuat barang-barang itu terserap oleh pasar. Namun, tidak demikian halnya. Kapitalisme tidaklah membuat keputusan produksi berdasarkan apa yang dibutuhkan oleh konsumen, melainkan apa yang akan memberi tingkat keuntungan tertinggi.

Memang benar riset pasar selalu dilakukan. Memang benar perusahaan selalu berusaha menggali tanggapan konsumen atas produknya. Memang benar bahwa perusahaan akan selalu berusaha memperhatikan apa yang dibutuhkan pelanggannya. Namun demikian, setelah segala presentasi rencana produk baru diselesaikan, pertanyaan yang menentukan akan tiba: "Seberapa menguntungkan produk ini?"

Kunci semua proses produksi dalam kapitalisme adalah mengoptimalkan keuntungan, yaitu dengan memaksimalkan pendapatan atau meminimalkan biaya. Kunci dasar kapitalisme ini, optimalisasi keuntungan, disebut sebagai "akumulasi kapital".
Persoalannya memang mulai timbul karena adanya persaingan. Ada beberapa jalur yang dapat ditempuh oleh sebuah persaingan untuk justru memacetkan akumulasi kapital ini.
Yang pertama bekerjanya demikian: ketika sebuah jenis komoditi baru dibuat, dan menguntungkan, maka pesaing-pesaing akan segera berebut untuk masuk ke pasar komoditi bersangkutan. Pada awalnya, produksi atas komoditi ini demikian menguntungkan. Tapi, ketika pesaing sudah berbondong-bondong masuk, komoditi ini berkurang keuntungannya. Lagipula, ketika produk tersebut baru saja dipasarkan, ia tentu tidak dapat memenuhi seluruh kebutuhan konsumen. Karena permintaan lebih tinggi dari penawaran, hargapun melejit. Tapi ketika para pesaing sudah masuk, keadaan ini bisa berbalik: penawaran yang lebih tinggi dari permintaan. Hargapun jatuh. Karenanya, si kapitalis yang pertama memproduksi komoditi inipun akan berpikir berkali-kali untuk menanamkan kembali modal yang telah diakumulasinya. Ia akan memilih melakukan diversifikasi, membuat lini-produk baru, entah dalam industri yang sama atau industri yang lain. Namun demikian, jumlah kapital yang telah ditanamkan di dalam industri ini telah membengkak. Kapitalis kedua, ketiga dan keempat yang masuknya belakangan tentu tidak mau menjual dengan harga yang sudah jatuh itu. Tapi barang sudah terlanjur diproduksi, lalu bagaimana? Toh barang itu tidak dapat diubah menjadi kapital baru jika tidak laku terjual?

Jalur yang kedua bekerjanya demikian: jika kapitalis pertama memilih untuk bertahan dalam persaingan di dalam industri tersebut, ia akan berusaha untuk menekan upah buruhnya, demi meningkatkan "daya saing" perusahaan. Karena yang satu berhasil mengurangi biaya gaji, maka yang lain harus pula mengikutinya kalau tidak mau rontok. Akibatnya adalah turunnya pendapatan masyarakat secara umum, artinya: daya beli berkurang. Karena daya beli umum berkurang, komoditi yang telah dihasilkan pun menjadi tidak laku.

Cara yang ketiga agak lebih sulit ditempuh: dengan menanamkan modal pada teknologi baru. Teknologi baru menuntut sumberdaya yang besar. Hanya mereka yang cukup kuat akumulasinya saja yang akan sanggup menempuh cara ini. Karena itu, cara ini tidak akan ditempuh kalau tidak terpaksa sekali. Lebih jauh lagi, cara ini juga dengan efektif merontokkan mereka yang hanya tanggung-tanggung saja kemampuan akumulasi modalnya. Inilah sebabnya kita dapat menyatakan dengan tegas bahwa kapitalisme pada akhirnya akan menumpukan akumulasi modal di beberapa tangan belaka – karena yang lain sudah rontok dan jatuh ke dalam kemiskinan. Namun, resep ini juga tidak bertahan manjur terlalu lama. Dalam waktu relatif singkat, para kapitalis yang bertahan akan menemukan bahwa mereka kini berhadapan dengan pesaingan yang relatif setimbang kekuatan akumulasi modalnya. Masalah yang klasik akan kembali mereka hadapi.

Semua jalan yang dapat ditempuh ternyata menghasilkan jalan buntu bagi kapitalisme. Semua jalan yang dapat mereka tempuh ternyata di ujungnya membuahkan kelebihan produk yang tidak laku terjual, entah karena mereka tidak mau menjualnya karena kurang menguntungkan atau karena tidak ada orang yang sanggup membelinya. Karena ciri-ciri inilah krisis kapitalisme disebut "krisis overproduksi". Bukannya kelimpahan yang dicapai, tapi produksi yang tidak seimbang: yang tidak dibutuhkan ada dalam jumlah terlampau banyak, yang dibutuhkan tidak ada di pasar.

Apakah sekarang ini ada krisis overproduksi?
Tentu sulit untuk memperoleh angka-angka pasti. Semua angka ini ada di pembukuan perusahaan-perusahaan besar, perusahaan multinasional. Untuk mendapatkan bukti perusahaan di tempat kita sendiri sedang mengalami kerugian kita sering tidak sanggup. Apalagi untuk mendapatkan bukti pembukuan perusahaan-perusahaan raksasa itu. Tapi, tetap saja ada ciri-ciri yang bisa kita lihat secara kasat mata, akibat-akibat praktis yang timbul dari krisis ini.

Tanda pertama, yang paling menyolok, adalah terjadinya berbagai skandal keuangan yang menimpa banyak perusahaan raksasa multinasional. Misalnya kasus Enron. Perusahaan pemasok enerji yang merupakan perusahaan nomor tujuh terbesar di Amerika Serikat ini selama tiga tahun berturut-turut terpaksa memalsukan pembukuan mereka agar para pemegang saham tidak tahu bahwa sebetulnya perusahaan sudah jatuh ke dalam kerugian. Pemalsuan ini dilakukannya melalui persekongkolan Enron dengan perusahaan akuntannya, yang kebetulan juga sebuah perusahaan akuntansi multinasional yakni Arthur Andersen LLP.

Tapi, Enron tidak sendirian. Sampai pertengahan 2002, ada lima lagi perusahaan Amerika Serikat yang terlibat skandal besar: ImClone (perusahaan obat dan rekayasa genetika), Tyco (perusahaan konsultan benda seni), Albriond Capital Management (perusahaan konsultan keuangan), Merrill Lynch (perusahaan konsultan investasi), Kmart (perusahaan retail). Sebetulnya masih banyak lagi persuahaan yang bernasib sama. Daftar di atas hanya menyebutkan skandal-skandal besar yang menjadi tajuk utama berita internasional.

Lihat betapa beragamnya jenis usaha dari perusahaan-perusahaan "nakal" itu. Nakal? Sama sekali tidak menurut standard Amerika. Bahkan Enron pernah memperoleh penghargaan "good business practice" – praktek bisnis sehat – dari majalah Fortune, barometer kapitalisme Amerika. Perusahaan-perusahaan yang dipuji-puji sebagai standard ekonomi Amerika Serikat, dari berbagai macam sektor usaha, mengalami kegamangan. Kalau kita akui bahwa Amerika Serikat adalah barometer kapitalisme dunia, ini tentunya menggambarkan betapa kapitalisme sedang terlilit krisis secara internasional.

Namun skandal-skandal besar itupun hanya puncak gunung es yang kelihatan. Di bawah permukaan laut, masih terdapat segunung lagi persoalan yang belum lagi mencuat ke permukaan.

Ciri kedua dapat dilihat dari sebuah logika sederhana: jika barang menumpuk di gudang, kita pasti akan berusaha mati-matian untuk menjualnya dengan segala macam cara. Kalau perlu dengan menurunkan laba yang akan kita raih. Istilahnya, yang penting balik modal.

Dan inilah yang kita lihat di depan mata di negeri ini. Banjir hadiah, baik melalui kuis, undian, atau hadiah langsung kita temui setiap hari. Belum lagi diskon yang sampai tingkat mustahil. Mana ada diskon sampai 90%! Tapi itu ada, lihat saja iklan barang-barang DRTV. Di samping itu, berbagai perusahaan melakukan diversifikasi produk sampai tingkat ekstrim. Lihat saja Pepsodent yang sekarang ini ada Pepsodent untuk bayi, anak-anak, ibu-ibu, perlindungan 12 jam, pengharum mulut, multifungsi…. Fungsi dasar yang sederhana itu dipoles sedemikian rupa sehingga satu keluarga akan diharuskan membeli lebih dari satu tube pasta gigi tiap bulan. Belum lagi anjuran eksplisit untuk "mengoleskan pasta di sepanjang bulu sikat" – satu bentuk pemborosan kalau ditinjau dari fungsi klinis dasar pasta gigi.

Kita dapat lihat juga aktivitas periklanan yang makin membabi-buta belakangan ini. Sampai-sampai kenikmatan nonton Euro 2004 juga harus terganggu dengan banyaknya iklan. Iklan adalah sebuah parasit karena orang pasti membeli barang yang dia butuhkan sekalipun tidak ada iklan. Semakin banyak iklan, barang itu pasti sebenarnya sangat tidak dibutuhkan konsumen. Hanya saja, para pemilik modal yang desperate mau agar barangnya laku, tidak peduli bahwa barangnya tidak dibutuhkan. Mereka berusaha membuat masyarakat membutuhkan barang itu dengan membombardir kesadaran lewat iklan.

Apa akibat krisis overproduksi ini?
Sudah satu dasawarsa lebih krisis ini melanda dan belum ada tanda-tanda yang pasti bahwa krisis itu sudah berakhir. Sudah satu dasawarsa lebih keberadaan kapitalisme, kekuasaan pengusaha besar (baik lokal maupun multinasional) terancam oleh berbagai hal sebagai akibat terjadinya overproduksi:

1. Menurunnya tingkat keuntungan perusahaan
Penurunan ini disebabkan karena lingkaran setan yang diciptakan kapitalisme, pada akhirnya, menemui kebuntuan. Lingkaran setan ini tercipta karena kapitalisme selalu berusaha menekan upah serendah mungkin dan menaikkan harga barang setinggi mungkin. Padahal, agar hasil produksi dapat diserap oleh pasar, perlu ada standar upah yang memadai bagi kesejahteraan rakyat pekerja. Selama ini, kapitalisme secara internasional hanya menetapkan upah tinggi di negeri-negeri kapitalis maju, sedangkan buruh di negeri berkembang diiklankan sebagai “tenaga kerja murah”. Padahal pasar terbesar bagi produk kapitalisme ada di negeri berkembang yang penduduknya padat. Rendahnya tingkat kesejahteraan pekerja di negeri berkembang menyebabkan pasar cepat menjadi jenuh. Barang-barang tertumpuk di gudang, tidak terjual. Untuk mengatasi penumpukan barang inilah kapitalisme seringkali terpaksa menjual obral barang-barangnya, dengan diskon tinggi atau iming-iming hadiah. Akibatnya, tingkat keuntungan yang diperoleh oleh kapitalis juga merosot tajam.
Berbagai skandal keuangan yang menimpa banyak perusahaan raksasa multinasional merupakan cerminan dari krisis ini. Enron, misalnya, selama tiga tahun berturut-turut terpaksa memalsukan pembukuan mereka agar para pemegang saham tidak tahu bahwa sebetulnya perusahaan sudah jatuh ke dalam kerugian. Enron, perusahaan enerji yang merupakan perusahaan nomor tujuh terbesar di Amerika Serikat ini, merupakan salah satu kroni presiden Bush, di mana mereka mendapatkan order pertamanya setelah perusahaan listrik negara Amerika Serikat diprivatisasi di awal tahun 1980-an. Kasus ini merupakan satu kasus besar yang menonjol, tapi jika kita perhatikan, banyak kasus-kasus kecil lainnya yang serupa. Di Indonesia sendiri, banyak perusahaan yang semula tidak kelihatan kemerosotan keuntungannya. Tapi, setelah krisis ekonomi menimpa di pertengahan 1990-an, baru semua keboborokan pengusaha nasional ini terkuak.

2. Persaingan dagang yang semakin tajam
Pasca Perang Dunia II, Amerika Serikat muncul sebagai satu-satunya kekuatan kapitalisme Internasional. Kehancuran ekonomi Eropa, terutama Inggris dan Jerman, memungkinkan para pengusaha raksasa Amerika Serikat mengambil-alih pasar yang tadinya dikuasai oleh dua adidaya imperialisme Eropa itu. Penguasaan tunggal atas pasar dunia ini memungkinkan pengerukan keuntungan yang luar biasa oleh kapitalisme Amerika Serikat.

Sekarang tidak lagi. Selepas 1980-an, Eropa dan Jepang mulai bangkit sebagai pesaing yang tangguh atas kapitalisme Amerika Serikat. Selepas 1990-an, problem bagi hegemoni imperialisme Amerika Serikat bertambah lagi dengan secara resminya Tiongkok menjadi kapitalis. Terlebih lagi dengan kediktatoran partai seperti yang ada di RRT, dalam jangka pendek ini kekuatan kapital Tiongkok akan sulit dibendung oleh imperialis lainnya.

Upaya Amerika Serikat untuk menjalin aliansi taktis berhadapan dengan kekuatan ekonomi lainnya, yakni melalui WTO, sebetulnya amat dirongrong oleh persaingan kuat antar blok Uni Eropa dengan mereka sendiri. Karena di antara mereka sendiri saling jegal, sulit bagi mereka untuk menundukkan sepenuhnya perlawanan kapitalis lokal, terutama di dunia ketiga, yang bertekad membendung ambisi ekspansi Amerika Serikat dan Uni Eropa ke negeri berkembang.

Semua persaingan ini benar-benar merepotkan bagi imperialisme yang hanya bisa berdiri kokoh jika ada hegemoni atas pasar. Tingkat keuntungan makin ditekan ke bawah. Perusahaan-perusahaan besar macam Datsun, yang pernah merajai pasar untuk kelas mobil mini, kini sudah tergulung oleh badai krisis. Harley-Davidson, yang merupakan simbol “Impian Amerika” nyaris terguling kalau tidak buru-buru disuntik modal dan proteksi oleh pemerintahan Reagan. Kejayaan imperialisme goyah justru oleh pasar bebas yang dianutnya sendiri.

3. Menguatnya perlawanan terhadap kapitalisme
Di peralihan antara abad ke-20 dan 21, pemogokan-pemogokan umum mengguncang dunia. Dari mulai Portugal, Italia, Spanyol, sampai Argentina dan Venezuela, bahkan juga Uganda, Botswana dan Afrika Selatan, kelas buruh bergerak dalam tuntutan-tuntutan yang semakin lama semakin tegas anti-kapitalisme dan anti-imperialisme. Perlawanan kelas tanipun berlangsung dengan tidak kalah garangnya. Gerakan tani dan tani tak bertanah di Asia (terutama Korea Selatan) dan Amerika Latin mencatatkan heroisme dan kedisiplinan yang patut diteladani di seluruh dunia. Aksi-aksi yang digelar oleh rakyat pekerja ini tidak lagi dihitung dalam sekedar ribuan massa, melainkan ratusan ribu bahkan jutaan. Seperti pemogokan umum yang berlangsung di Italia di pertengahan tahun 2002, di mana 2 juta buruh dari seluruh penjuru Italia tumpah-ruah di Roma. Atau pemogokan umum di Spanyol akhir 2001, yang diikuti juga oleh mahasiswa, diikuti oleh lebih dari satu juta orang.

Pergeseran kesadaran massa rakyat pekerja akan kebuntuan yang dihadapi oleh kapitalisme ini tercermin dalam berbagai kemenangan yang dicapai partai-partai kiri di banyak tempat di seluruh dunia. Partai-partai sosialis mencatatkan kemenangan di Eropa, seperti di Portugal, Perancis dan Spanyol. Para pemimpin radikal yang populis menang di Amerika Latin, termasuk kemenangan yang akhirnya dicapai oleh Partai Buruh Brazil (PT) yang tulang punggunggya adalah CUT (Central Unida Trabalhadores – Sentral Persatuan Buruh). Saat ini CUT adalah serikat buruh terbesar dan terkuat di Brazil . Serikat buruh terkuat di Korea, KCTU (Korean Confederation of Trade Unions – Konfederasi Serikat Buruh Korea) juga membangun Partai Buruh Demokratik (DLP) yang kini adalah partai nomor tiga terbesar di Korea.

Di samping itu, berbagai formasi kiri juga terbentuk. Seperti Forum Sosial Dunia, misalnya. Sekalipun forum ini sekarang tidak bergaris massa, namun ia dibangun oleh berbagai organisasi yang bergaris massa. Terlepas dari semua kritik yang harus kita alamatkan pada mereka, termasuk di antaranya adalah kegunaannya yang sangat terbatas, formasi ini telah menunjukkan beberapa kemajuan yang dapat ditiru dan dikembangkan menjadi bentuk-bentuk yang lebih maju.

Semua perkembangan ini tentu akan menyulitkan pengerukan keuntungan yang rakus oleh kapitalisme, baik yang multinasional maupun yang lokal. Upaya menekan upah, upaya mencurangi buruh lewat buruknya kondisi kerja, perampasan tanah, represi dan intimidasi, tidak akan mentah-mentah lagi diterima oleh rakyat pekerja.

Krisis ini sudah terlampau dalam membenamkan kapitalisme ke dalam lumpur. Mereka harus mencari ruang untuk bernafas. Dan mereka mencari ruang ini dengan cara memaksakan sistem Pasar Tenaga Kerja Fleksibel ke seluruh dunia melalui perjanjian-perjanjian IMF.

Krisis ini adalah krisis internasional
Kalau kita lihat paparan di atas, jelas bahwa krisis ekonomi ini terjadi di tingkat internasional. Dan justru rejim Soeharto yang menyeret Indonesia masuk ke dalam krisis ini karena kerakusannya. Malah, sebelum jatuh, Soeharto masih sempat memasang jebakan maut terakhir bagi siapapun yang mungkin menggantikannya sebagai penguasa Indonesia.

Di bulan Januari 1998, Soeharto menandatangani perjanjian dengan IMF. Satu perjanjian bersejarah di mana akhirnya Soeharto tunduk juga pada badan wakil resmi imperialisme Amerika Serikat itu. Dengan perjanjian ini, Soeharto menyetujui penghapusan subsidi BBM dan listrik, liberalisasi perdagangan, penjualan aset negara pada pemodal asing dan "penyehatan perbankan". Untuk item yang disebut terakhir ini, kita harus membacanya: penjualan semua perusahaan swasta nasional yang bangkrut karena hutang kepada pemodal asing. Jadi, perekonomian Indonesia semakin dileburkan dengan perekonomian dunia dengan cara yang paling menyakitkan di mana baik kapital nasional maupun kelas pekerja menderita.

Tapi, yang paling menderita pastilah kelas pekerja. Karena kapital nasional pasti akan membebankan deritanya ke pundak buruh lagi. Mereka akan menyelamatkan diri dengan mem-PHK banyak buruh, merumahkan, menerapkan sistem kontrak atau melakukan outsourcing. Sudah kelas pekerja dipukul dengan dihapusnya subsidi, sekarang mereka diancam menjadi penganggur atau dipaksa menerima upah sangat minim dengan jam kerja efektif semakin panjang.

Satu bukti lagi bahwa krisis ini adalah krisis internasional: perlawanan terhadap sistem kerja kontrak dan PHK terjadi di mana-mana di seluruh dunia belakangan ini. Pemogokan-pemogokan umum menentang perpanjangan jam kerja dan sistem kontrak mengguncang dunia. Dari mulai Portugal, Italia, Spanyol, sampai Argentina dan Venezuela, bahkan juga Uganda, Botswana dan Afrika Selatan, kelas buruh bergerak dalam tuntutan-tuntutan yang semakin lama semakin tegas anti-kapitalisme dan anti-imperialisme. Jumlah peserta aksi bukan lagi ratusan atau ribuan, tapi sudah jutaan karena sifat pemogokannya adalah pemogokan nasional.

4. SISTEM PASAR TENAGA KERJA FLEKSIBEL DAN REAKSI KAPITALISME

Kalau anda seorang pengusaha besar, penguasa sebuah perusahaan raksasa multinasional yang memiliki koneksi kuat ke pemerintahan, apa yang akan anda lakukan untuk mengatasi tiga masalah yang beruntun menghantam keuntungan anda secara internasional itu? Dari mana anda akan mulai mengatasi masalahnya? Apakah mulai dari satu masalah dulu baru tangani yang lain setelah yang satu itu selesai? Atau anda akan mencari satu pilihan yang akan sekali pukul menyelesaikan masalah-masalah ini sekaligus?
Pilihan pertama, mengatasi masalah satu persatu, sulit dilakukan oleh rejim-rejim kapitalis internasional karena ketiga masalah itu saling berkait. Jadi, kapitalisme internasional harus menemukan cara untuk secara sekali pukul menyelesaikan masalah-masalah itu. Untuk keperluan inilah “paket-paket keuangan IMF” disusun.
Dengan berkedok memberikan bantuan untuk membantu negeri berkembang keluar dari krisis keuangan, IMF memaksakan syarat-syarat liberalisasi pasar.

Dari segi pasar modal, adanya liberalisasi akan memungkinkan pembukaan lapangan persaingan baru. Dengan demikian, persaingan antar perusahaan multinasional yang selama ini ketat akan dilonggarkan. Di samping itu, dengan adanya liberalisasi pasar, persaingan di tingkat global akan dapat dibatasi. Kedengarannya kontradiktif bahwa liberalisasi justru akan menghasilkan pembatasan dalam persaingan. Namun ini benar, karena dengan liberalisasi, kapital-kapital nasional di negeri berkembang akan dapat dicaplok oleh kapital multinasional melalui merger atau akuisisi. Selain itu, kapital multinasional akan dapat masuk dengan kekuatan penuh ke pasar nasional di negeri berkembang. Kekuatan R&D (LitBang) mereka, dukungan layanan purna-jual dan profesionalisme bisnis, belum lagi skala ekonomis dalam produksi massal mereka, pasti akan dapat menggusur kapital nasional dalam perebutan pasar. Dengan sekali pukul, imperialisme dapat mencapai dua hal sekaligus: melonggarkan persaingan ketat di antara mereka sendiri, sekaligus menghancurkan pesaing-pesaing baru yang mungkin berniat masuk ke dalam pasar global.

Dari segi pasar tenaga kerja, IMF masuk dengan syarat-syarat reformasi perburuhan. Yang dimaksud tentu saja adalah dilonggarkannya syarat-syarat yang harus dipenuhi pengusaha dalam mempekerjakan buruhnya. Dan hal ini terwujud dalam bentuk sistem kerja kontrak. Secara ekonomi, kita sudah lihat dan rasakan sendiri bahwa sistem kerja kontrak memungkinkan pengusaha untuk mempertahankan keuntungannya – dengan cara menekan kesejahteraan buruh. Tapi, ada hal lain yang lebih penting, yakni bahwa sistem pasar tenaga kerja fleksibel sangat ideal untuk menghancurkan kekuatan serikat buruh.

Akibat-akibat sistem kerja kontrak

Pertama, dengan sistem kerja kontrak, buruh dipaksa untuk mengikat perjanjian perorangan dengan pengusaha. Selama ini, KKB atau PKB adalah salah satu cara agar kekuatan tawar-menawar antara buruh dan pengusaha dapat (sedikit) diseimbangkan. Satu-satunya kekuatan yang dimiliki oleh buruh adalah jumlahnya. Dengan sebuah perjanjian kolektif, kekuatan ini didayagunakan sejauh yang dimungkinkan. Namun, jika perjanjian itu dilaksanakan secara perorangan, apalagi kekuatan yang dimiliki oleh buruh? Terutama sekali di Indonesia, di mana sistem kerja kontrak diberlakukan secara pukul-rata. Di beberapa jenis pekerjaan tertentu, terutama yang membutuhkan ketrampilan tinggi, ketrampilan ini dapat digunakan sebagai alat tawar-menawar. Tapi, tetap saja, karena tawar-menawarnya dilakukan secara perorangan, maka terjadilah kompetisi antar buruh. Jika ini terjadi, “harga jual tenaga kerja” akan jatuh. Kesejahteraan buruh ikut terjun bebas bersamanya. Pengusaha saja sekarang banyak melakukan merger untuk memperkuat posisinya dalam pasar. Tapi buruh justru dihancurkan posisinya dengan dipecah-belah dan dipaksa berkompetisi satu sama lain.

Kedua, seperti yang mungkin telah dirasakan di pabrik-pabrik, terbangunlah sebuah tembok pemisah antara buruh tetap dengan buruh kontrak. Di satu pihak banyak buruh tetap yang cari aman sendiri dan tidak mau peduli dengan nasib kawan-kawannya yang sial harus berhadapan dengan sistem kerja kontrak. Dengan alasan agar tidak terancam sistem kerja kontrak, banyak buruh tetap yang angkat tangan dan membuang muka dari kawan-kawannya yang terjerumus ke dalam sistem kontrak. Di pihak lain, buruh-buruh yang dipekerjakan dalam sistem kerja kontrak jadi takut untuk terlibat dalam kegiatan serikat. Selain karena kadang-kadang hal semacam itu dilarang secara tegas dalam kontrak, buruh-buruh ini sering takut sendiri jangan-jangan keterlibatan mereka dalam serikat buruh akan dapat berakibat diputusnya kontrak. Bukan sekali-dua hal ini terjadi. Secara efektif, sistem kerja kontrak telah mematahkan solidaritas antar sesama buruh.

Ketiga, karena semakin banyak pabrik yang mengubah status buruhnya dari tetap menjadi kontrak, keanggotaan efektif dalam serikat-serikat buruh juga semakin berkurang. Apalagi dengan modus yang belakangan banyak dipakai oleh kapitalis nasional: dengan menyatakan bahwa perusahaan mengalami kebangkrutan, menutup pabrik dan mem-PHK buruh (seringkali tanpa pesangon memadai dengan alasan perusahaan tidak memiliki uang), lalu membuka perusahaan baru dengan nama lain. Yang mendongkolkan, seringkali perusahaan baru ini dibuka di tempat yang persis sama, hanya susunan direksi dan akta notarisnya saja yang berbeda. Lainnya persis sama. Setelah perusahaan baru ini dibuka, mantan-mantan buruh di perusahaan lama dipanggil lagi untuk ditawari kerja dengan sistem kontrak di perusahaan baru. Dengan cara ini, praktis serikat buruh pasti mengalami kehancuran. Serikat buruh (PUK) pasti bubar karena perusahaannya ditutup, lalu di perusahaan baru PUK tidak dapat dibentuk karena sistem kerjanya kontrak, bukan tetap.

Keempat, dengan menggunakan sistem outsourcing, pengusaha dapat melakukan perundingan pengupahan dengan yayasan.Dengan sistem buruh tetap, pengusaha akan diharuskan melakukan perundingan pengupahan dengan Serikat Buruh. Perundingan ini akan berlangsung antara dua pihak yang memiliki kepentingan berbeda. Dan di sini, buruh memiliki peluang untuk mempertahankan kepentingannya berhadapan dengan kepentingan pengusaha. Namun, dengan sistem outsourcing, yang melakukan perundingan adalah sesama pengusaha. Kepentingan mereka sama: untuk menekan upah buruh serendah-rendahnya. Buruh yang bekerja di Yayasan tidak memiliki posisi tawar berhadapan dengan pemilik Yayasan karena mereka hanya akan mendapat prosentase dari nilai kontrak antara Yayasan dengan pemilik modal. Apalagi jika Yayasan mempekerjakan buruhnya dengan sistem kontrak. Seperti yang terjadi di perusahaan jasa keamanan atau perparkiran atau cleaning service. Praktis peran Serikat Buruh dalam melakukan perundingan upah dan mempertahankan kepentingan buruh dihancurkan sama sekali.

Kelima
, Serikat-serikat Buruh yang masih bertahan di tengah badai sistem kerja kontrak ini gagap. Terbiasanya serikat-serikat buruh untuk terkungkung di balik tembok pabrik, atau sektarianisme sektoral (serikat buruh berjuang sendiri berdasarkan sektornya: garmen, makanan atau metal), menyebabkan perlawanan terhadap sistem kontrak ini tidak efektif. Ketakutan buruh yang masih beruntung memiliki status tetap menjadi beban untuk PUK-PUK. Beban ini tidak akan lepas selama kepicikan perjuangan serikat buruh masih terus merajalela. Pada gilirannya, ini akan menurunkan kepercayaan anggota pada serikat. Dengan turunnya kepercayaan ini, serikat buruh semakin lemah dan gagap. Begitu seterusnya seperti lingkaran setan. Kalaupun tidak dihantam langsung, proses ini pelan-pelan akan mematikan serikat buruh juga.

Dapatlah kita lihat bahwa, dengan sekali pukul, pemilik modal dapat menghancurkan posisi tawar buruh, mematahkan solidaritas antar buruh dan menghancurkan serikat buruh. Benar-benar sistem kerja kontrak adalah sebuah penyelesaian yang mantap demi kelangsungan hidup kapitalisme.

Akibat-akibat sosial dari PHK massal
Pertama, ancaman akan adanya PHK dapat membuat buruh jadi berusaha "menjilat" pada pengusaha, dalam arti buruh akan berusaha memenuhi apapun yang dituntut oleh pengusaha. Kadang apa yang tidak diatur dalam PKB pun terpaksa dipenuhi, agar jangan sampai perusahaan menyatakan diri bangkrut atau melakukan PHK. Posisi tawar buruh terhadap kemauan pengusaha jadi lemah karena ancaman PHK ini. Buruh pun berusaha menjadi "anak baik" di perusahaan agar jangan sampai masuk daftar hitam dan menjadi prioritas untuk di-PHK.

Kedua, semakin banyaknya PHK akan menambah panjang daftar pengangguran di negeri ini. Dengan semakin banyak penganggur, pengusaha akan dapat menekan buruh agar mau menerima upah murah dengan alasan "kalau kamu tidak mau, masih banyak yang membutuhkan pekerjaan ini." Mereka yang baru saja di-PHK atau calon-calon buruh terpaksa menerima upah murah ini, daripada tidak bekerja sama sekali. Kerja seharusnya adalah hak dan kewajiban manusia. Piagam Perserikatan Bangsa-bangsa tentang Hak Asasi Manusia menyebutkan bahwa "Setiap orang berhak memperoleh pekerjaan layak yang dipilihnya sendiri. upah yang diterimanya harus sebanding dengan pekerjaan tersebut." Namun, karena PHK terjadi di mana-mana, seringkali kita tidak dapat memilih pekerjaan, kita terima apa saja yang tersedia dengan upah yang tidak layak pula.

Ketiga, adanya PHK massal dan pengangguran yang tinggi memaksa buruh untuk bersaing satu sama lain. Jika pengusaha bersaing, akibatnya harga barang jadi murah. Buruh diuntungkan. Tapi, jika buruh bersaing, harga jual tenaga kerja (= upah) akan jadi murah. Buruh dirugikan. Adanya persaingan antar buruh ini menyebabkan erosi solidaritas. Buruh jadi egois dan mau menang sendiri. Dan yang tertawa adalah pengusaha.

Keempat, dengan adanya PHK massal, serikat buruh akan hancur. Jumlah anggota serikat buruh berkurang drastis, atau malah bubar sama sekali. Sementara buruh yang masih beruntung belum di-PHK jadi ketakutan untuk aktif dalam serikat buruh karena takut menjadi target PHK. Serikat buruh lama-lama akan sakit dan mati pelan-pelan.

5. SISTEM KERJA KONTRAK DAN REAKSI KAPITALISME

Kalau anda seorang pengusaha besar, penguasa sebuah perusahaan raksasa multinasional yang memiliki koneksi kuat ke pemerintahan, apa yang akan anda lakukan untuk mengatasi tiga masalah yang beruntun menghantam keuntungan anda secara internasional itu? Dari mana anda akan mulai mengatasi masalahnya? Apakah mulai dari satu masalah dulu baru tangani yang lain setelah yang satu itu selesai? Atau anda akan mencari satu pilihan yang akan sekali pukul menyelesaikan masalah-masalah ini sekaligus?

Pilihan pertama, mengatasi masalah satu persatu, sulit dilakukan oleh rejim-rejim kapitalis internasional karena ketiga masalah itu saling berkait. Jadi, kapitalisme internasional harus menemukan cara untuk secara sekali pukul menyelesaikan masalah-masalah itu. Untuk keperluan inilah “paket-paket keuangan IMF” disusun.

Dengan berkedok memberikan bantuan untuk membantu negeri berkembang keluar dari krisis keuangan, IMF memaksakan syarat-syarat liberalisasi pasar. Dari segi pasar modal, adanya liberalisasi akan memungkinkan pembukaan lapangan persaingan baru. Dengan demikian, persaingan antar perusahaan multinasional yang selama ini ketat akan dilonggarkan. Di samping itu, dengan adanya liberalisasi pasar, persaingan di tingkat global akan dapat dibatasi. Kedengarannya kontradiktif bahwa liberalisasi justru akan menghasilkan pembatasan dalam persaingan. Namun ini benar, karena dengan liberalisasi, kapital-kapital nasional di negeri berkembang akan dapat dicaplok oleh kapital multinasional melalui merger atau akuisisi. Selain itu, kapital multinasional akan dapat masuk dengan kekuatan penuh ke pasar nasional di negeri berkembang. Kekuatan R&D mereka, dukungan layanan purna-jual dan profesionalisme bisnis, belum lagi skala ekonomis dalam produksi massal mereka, pasti akan dapat menggusur kapital nasional dalam perebutan pasar. Dengan sekali pukul, imperialisme dapat mencapai dua hal sekaligus: melonggarkan persaingan ketat di antara mereka sendiri, sekaligus menghancurkan pesaing-pesaing baru yang mungkin berniat masuk ke dalam pasar global.

Dari segi pasar tenaga kerja, IMF masuk dengan syarat-syarat reformasi perburuhan. Yang dimaksud tentu saja adalah dilonggarkannya syarat-syarat yang harus dipenuhi pengusaha dalam mempekerjakan buruhnya. Dan hal ini terwujud dalam bentuk sistem kerja kontrak. Secara ekonomi, kita sudah lihat dan rasakan sendiri bahwa sistem kerja kontrak memungkinkan pengusaha untuk mempertahankan keuntungannya – dengan cara menekan kesejahteraan buruh. Tapi, ada hal lain yang lebih penting, yakni bahwa sistem kerja kontrak sangat ideal untuk menghancurkan kekuatan serikat buruh.

Pertama, dengan sistem kerja kontrak, buruh dipaksa untuk mengikat perjanjian perorangan dengan pengusaha. Selama ini, KKB atau PKB adalah salah satu cara agar kekuatan tawar-menawar antara buruh dan pengusaha dapat (sedikit) diseimbangkan. Satu-satunya kekuatan yang dimiliki oleh buruh adalah jumlahnya. Dengan sebuah perjanjian kolektif, kekuatan ini didayagunakan sejauh yang dimungkinkan. Namun, jika perjanjian itu dilaksanakan secara perorangan, apalagi kekuatan yang dimiliki oleh buruh? Terutama sekali di Indonesia, di mana sistem kerja kontrak diberlakukan secara pukul-rata. Di beberapa jenis pekerjaan tertentu, terutama yang membutuhkan ketrampilan tinggi, ketrampilan ini dapat digunakan sebagai alat tawar-menawar. Tapi, tetap saja, karena tawar-menawarnya dilakukan secara perorangan, maka terjadilah kompetisi antar buruh. Jika ini terjadi, “harga jual tenaga kerja” akan jatuh. Kesejahteraan buruh ikut terjun bebas bersamanya. Pengusaha saja sekarang banyak melakukan merger untuk memperkuat posisinya dalam pasar. Tapi buruh justru dihancurkan posisinya dengan dipecah-belah dan dipaksa berkompetisi satu sama lain.

Kedua, seperti yang mungkin telah dirasakan di pabrik-pabrik, terbangunlah sebuah tembok pemisah antara buruh tetap dengan buruh kontrak. Di satu pihak banyak buruh tetap yang cari aman sendiri dan tidak mau peduli dengan nasib kawan-kawannya yang sial harus berhadapan dengan sistem kerja kontrak. Dengan alasan agar tidak terancam sistem kerja kontrak, banyak buruh tetap yang angkat tangan dan membuang muka dari kawan-kawannya yang terjerumus ke dalam sistem kontrak. Di pihak lain, buruh-buruh yang dipekerjakan dalam sistem kerja kontrak jadi takut untuk terlibat dalam kegiatan serikat. Selain karena kadang-kadang hal semacam itu dilarang secara tegas dalam kontrak, buruh-buruh ini sering takut sendiri jangan-jangan keterlibatan mereka dalam serikat buruh akan dapat berakibat diputusnya kontrak. Bukan sekali-dua hal ini terjadi. Secara efektif, sistem kerja kontrak telah mematahkan solidaritas antar sesama buruh.

Ketiga, karena semakin banyak pabrik yang mengubah status buruhnya dari tetap menjadi kontrak, keanggotaan efektif dalam serikat-serikat buruh juga semakin berkurang. Apalagi dengan modus yang belakangan banyak dipakai oleh kapitalis nasional: dengan menyatakan bahwa perusahaan mengalami kebangkrutan, menutup pabrik dan mem-PHK buruh (seringkali tanpa pesangon memadai dengan alasan perusahaan tidak memiliki uang), lalu membuka perusahaan baru dengan nama lain. Yang mendongkolkan, seringkali perusahaan baru ini dibuka di tempat yang persis sama, hanya susunan direksi dan akta notarisnya saja yang berbeda. Lainnya persis sama. Setelah perusahaan baru ini dibuka, mantan-mantan buruh di perusahaan lama dipanggil lagi untuk ditawari kerja dengan sistem kontrak di perusahaan baru. Dengan cara ini, praktis serikat buruh pasti mengalami kehancuran. Serikat buruh (PUK) pasti bubar karena perusahaannya ditutup, lalu di perusahaan baru PUK tidak dapat dibentuk karena sistem kerjanya kontrak, bukan tetap.

Keempat, dengan menggunakan sistem outsourcing, pengusaha dapat melakukan perundingan pengupahan dengan yayasan.Dengan sistem buruh tetap, pengusaha akan diharuskan melakukan perundingan pengupahan dengan Serikat Buruh. Perundingan ini akan berlangsung antara dua pihak yang memiliki kepentingan berbeda. Dan di sini, buruh memiliki peluang untuk mempertahankan kepentingannya berhadapan dengan kepentingan pengusaha. Namun, dengan sistem outsourcing, yang melakukan perundingan adalah sesama pengusaha. Kepentingan mereka sama: untuk menekan upah buruh serendah-rendahnya. Buruh yang bekerja di Yayasan tidak memiliki posisi tawar berhadapan dengan pemilik Yayasan karena mereka hanya akan mendapat prosentase dari nilai kontrak antara Yayasan dengan pemilik modal. Apalagi jika Yayasan mempekerjakan buruhnya dengan sistem kontrak. Seperti yang terjadi di perusahaan jasa keamanan atau perparkiran atau cleaning service. Praktis peran Serikat Buruh dalam melakukan perundingan upah dan mempertahankan kepentingan buruh dihancurkan sama sekali.

Kelima, Serikat-serikat Buruh yang masih bertahan di tengah badai sistem kerja kontrak ini gagap. Terbiasanya serikat-serikat buruh untuk terkungkung di balik tembok pabrik, atau sektarianisme sektoral, menyebabkan perlawanan terhadap sistem kontrak ini tidak efektif. Ketakutan buruh yang masih beruntung memiliki status tetap menjadi beban untuk PUK-PUK. Beban ini tidak akan lepas selama kepicikan perjuangan serikat buruh masih terus merajalela. Pada gilirannya, ini akan menurunkan kepercayaan anggota pada serikat. Dengan turunnya kepercayaan ini, serikat buruh semakin lemah dan gagap. Begitu seterusnya seperti lingkaran setan. Kalaupun tidak dihantam langsung, proses ini pelan-pelan akan mematikan serikat buruh juga.

Dapatlah kita lihat bahwa, dengan sekali pukul, pemilik modal dapat menghancurkan posisi tawar buruh, mematahkan solidaritas antar buruh dan menghancurkan serikat buruh. Benar-benar sistem kerja kontrak dan PHK adalah sebuah penyelesaian yang mantap demi kelangsungan hidup kapitalisme.

6. JAWABAN KITA
Setelah melihat hakikat di balik krisis yang sedang kita hadapi, mari kita ambil beberapa kesimpulan dan jawaban atas persoalan yang kini menghantui kita.
Kita harus belajar dari tindakan yang diambil kelas pemilik modal
Ketika jelas bagi kita bahwa persoalan yang menjadi akar menjamurnya PHK adalah sebuah permasalahan yang skalanya internasional, tentunya muncul pertanyaan: bagaimana kita akan mengatasi masalah ini dari tingkat nasional?

Kelihatannya, sepintas lalu, pertanyaan ini konyol. Jawaban yang paling masuk akal tentunya adalah: tidak bisa. Namun, kita toh tetap akan dipaksa mengambil pilihan-pilihan karena realitas PHK itu tidak akan hilang semata karena kita berkata "tidak bisa."

Sebenarnya, kita bisa belajar dari kelas pemilik modal. Mereka juga berhadapan dengan masalah. Modal mereka diincar oleh pemodal asing. Mereka terlilit hutang. Kondisi pasar buruk karena tingkat daya beli riil masyarakat turun. Tapi mereka masih berusaha. Apa saja yang mereka lakukan?

1. Jawaban pemilik modal adalah jawaban politik
Pertama-tama, pemilik modal menggolkan perundang-undangan yang akan melindungi mereka ketika melakukan PHK, merumahkan pekerja atau menerapkan sistem kontrak.

Mereka juga memaksa pemerintah untuk membayar hutang swasta. Seperti kita tahu, hutang swasta malah lebih besar jumlahnya dari hutang pemerintah sendiri. Namun para pengusaha dapat memaksa pemerintah untuk membayari hutang yang mereka buat sendiri. Pemerintah dipaksa untuk menjual aset negara demi memperoleh uang untuk membayar hutang yang dibuat pengusaha. Sekalipun bentuknya adalah sebuah pertolongan ekonomi, keputusan untuk membayar hutang swasta ini diambil secara politik, oleh para pengambil keputusan politik – yakni DPR dan Presiden.

Upaya mereka jadi lebih mudah karena partai-partai politik yang kini bergelut di panggung kekuasaan semua berpihak pada mereka. Tidak satupun di antara partai-partai itu yang anti-pasar bebas, tidak satupun dari mereka yang memiliki program menghentikan PHK atau mencabut sistem buruh kontrak. Kalau kita lihat susunan kepemimpinan partai-partai ini, juga mayoritas aktivisnya, kita akan mendapati bahwa partai-partai politik yang sekarang ada dikuasai oleh kelas pemilik modal nasional. Para fungsionaris partai, hampir dapat dipastikan, memiliki satu atau dua perusahaan. Makin besar partainya, makin besar juga perusahaan yang dimiliki para pengurusnya.

Intinya, dengan memiliki partai-partai mereka sendiri, partai-partai yang didominasi oleh orang-orang mereka dan yang berpihak pada kepentingan mereka, kelas pemilik modal berhasil mempertahankan kepentingan mendesaknya saat ini: bagaimana bisa melakukan PHK, merumahkan karyawan, dan menerapkan sistem kerja fleksibel secara aman dan nyaman.

2. Pemilik modal bersatu dalam organisasi-organisasi nasional
Kalau kita perhatikan, hanya ada dua organisasi pemilik modal di tingkat nasional: APINDO dan KADIN. Banyak organisasi yang dibentuk oleh pengusaha, banyak juga yang sifatnya sektoral. Tapi, untuk urusan nasional, mereka mempercayakan pada dua organisasi itu. Dengan hanya dua organisasi pengusaha tingkat nasional, mereka dapat memperbesar kekuatan dalam lobi-lobi dan tekanan politik mereka pada pemerintah. Mereka memang bersaing di antara mereka sendiri, tapi kalau urusannya berkaitan dengan kepentingan mereka dalam menindas buruh, mereka bersatu-padu.
Kondisi Serikat Buruh di Indonesia

Sebelum kita beranjak pada langkah-langkah yang harus dilakukan, mari kita evaluasi dulu alat kita untuk memperjuangkan kepentingan buruh berhadapan dengan strategi-taktik kelas pemilik modal, yakni serikat buruh. Satu hal yang menyedihkan karena kondisi serikat-serikat buruh justru berkebalikan dengan kondisi organisasi-organisasi pemilik modal.

1. Serikat pekerja yang terkotak-kotak
Jika kita lihat keadaan serikat-serikat pekerja Indonesia, hal yang paling menyolok adalah ketidakmampuan serikat-serikat pekerja itu untuk bertindak secara nasional.
Kelas pemilik modal memiliki organisasi-organisasi nasional yang kuat. Melalui organisasi-organisasi ini mereka memegang kemampuan untuk mempengaruhi (baik secara langsung maupun tidak langsung) pembuatan perundang-undangan agar menguntungkan mereka. Kalau kita lihat jajaran kepemimpinan partai-partai politik, kita akan melihat para pengusaha juga di sana. Hampir tidak ada pimpinan partai politik yang tidak memiliki satu atau dua jaringan usaha besar. Sekalipun kadang kala berselisih paham jika menyangkut siapa yang akan mendapat keuntungan terbesar, mereka selalu seiya-sekata jika berhadapan dengan kelas pekerja. Di samping itu, merekapun memiliki jaringan internasional yang kokoh, termasuk organisasi-organisasi antar pemerintah (seperti IMF) yang bekerja demi kepentingan mereka. Pendeknya, mereka ini tergorganisir secara kelas.

Ini sama sekali tidak nampak terjadi di tengah gerakan kelas pekerja. Bukan saja jarang terdapat serikat pekerja yang memiliki jaringan nasional yang kuat, antar serikat pekerja itu sendiri tidak terlihat adanya solidaritas satu sama lain. Hampir tidak pernah kita dengar ada pemogokan bersama antar beberapa sektor – satu hal yang kini justru telah menjadi lazim di Eropa yang katanya buruhnya sudah berdamai dengan pengusaha itu. Ada beberapa kali tercatat beberapa serikat buruh bergabung untuk melakukan aktivitas bersama, seperti Peringatan 1 Mei atau penolakan terhadap RUU PPHI/PPK. Tapi di tingkat pabrik dan wilayah ini sama sekali tidak terjadi.
Sebenarnya banyak hal yang dapat dijadikan tuntutan bersama oleh serikat-serikat pekerja. Misalnya tentang penetapan UMP. Kami sendiri menolak konsep UMP ini, tapi sebagai sebuah kenyataan persoalan ini haruslah dihadapi. Tapi ini tidaklah terjadi. Perundingan mengenai penetapan UMP dilakukan di ruang-ruang tertutup tanpa partisipasi yang luas dari kelas pekerja. Tidak terpikir, mungkin, oleh serikat-serikat pekerja untuk bersama-sama melancarkan tekanan melalui pemogokan-pemogokan nasional atau regional pada kelas pemilik modal dan pemerintah agar menerima tingkat UMP yang dibutuhkan oleh kelas pekerja.

Perayaan 1 Mei atau penolakan terhadap RUU PPHI/PPK memang bernuansa lebih politis tapi ini sangat bersifat monumental atau sementara – dan tidak banyak pekerja yang merasakan langsung manfaat dari aksi-aksi ini. Karena dirasa tidak ada manfaatnya inilah aksi-aksi ini tidak berhasil menggerakkan kelas pekerja dalam jumlah puluhan ribu seperti yang seharusnya terjadi. Akan berbeda kiranya jika Perayaan 1 Mei dijadikan satu titik klimaks dari rangkaian pemogokan menuntut UMP.
Ketidakmampuan serikat-serikat pekerja untuk mengolah isu-isu kelas ini adalah kelemahan yang serius. Dan aksi penolakan RUU PPHI/PPK yang lalu justru menjadi bukti dari kelemahan ini.

Pola pengorganisiran buruh yang diterapkan selama dasawarsa 90-an, yang cenderung membuat para aktivis buruh membuat serikatnya sendiri, telah membuahkan pengkotak-kotakan ini sekarang. Dan akan butuh upaya keras dalam jangka waktu panjang untuk bisa membuat serikat-serikat pekerja sadar bahwa solidaritas antar kelas pekerja adalah kewajiban bagi setiap serikat pekerja.

2. Tidak populernya serikat pekerja di kalangan pekerja sendiri
Hal kedua yang cukup menyolok adalah tingkat keanggotaan kelas pekerja itu sendiri dalam serikat-serikat pekerja. Data yang kami peroleh dari Asian Food Worker menunjukkan bahwa hanya 3% dari seluruh kelas pekerja Indonesia yang menjadi anggota serikat buruh.

Ada dua hal, setidaknya, yang cukup mengkuatirkan jika melihat data ini.
Yang pertama adalah betapa rendahnya posisi tawar kelas pekerja berhadapan dengan kelas pemilik modal, ketika hampir 30% dari angkatan kerja (data Depnakertrans) tidak memperoleh pekerjaan alias menganggur. Sekalipun seluruh anggota serikat buruh bergerak untuk mengadakan perlawanan, apa susahnya bagi pemilik modal untuk menyingkirkan 3% pekerja yang "bandel" ini dan menggantikannya dengan orang lain. Masih ada 38 juta orang yang putus asa mencari kerja. Jika ini terjadi, maka para pekerja baru ini akan lebih "jinak" karena mereka pasti takut kehilangan pekerjaan yang telah dengan susah-payah mereka dapatkan.

Yang kedua adalah kesulitan untuk menumbuhkan solidaritas antar kelas pekerja. Mungkin kondisi ini telah pula memberi sumbangan untuk kelemahan serikat pekerja Indonesia yang telah kita bahas terdahulu.

Sangat minimnya tingkat partisipasi kelas pekerja dalam serikat-serikat pekerja, menurut pengamatan kami, disebabkan oleh dua hal yang saling berkaitan.

Yang pertama adalah serikat pekerja itu sendiri yang kurang memberi perhatian pada anggota-anggotanya. Menurut pengamatan kami, hampir tidak ada serikat pekerja yang memberikan pendidikan politik dan keorganisasian pada anggota-anggotanya. Ini jelas membuat serikat buruh kurang daya saingnya dibandingkan organisasi-organisasi lain – organisasi keagamaanpun memberikan pendidikan yang teratur pada anggota-anggotanya. Pendidikan politik ini penting karena seorang pekerja harus dapat melihat berbagai hal yang berada di luar tembok pabrik atau kantornya. Seorang pekerja harus dapat membuat analisa mengenai situasi ekonomi dan politik umum yang akan mempengaruhi tingkat upahnya. Seorang pekerja harus memahami bagaimana perundang-undangan dibuat dan bagaimana mempengaruhi para pembuat keputusan agar melahirkan UU yang sesuai dengan kepentingan pekerja. Bahkan, seorang pekerja harus sanggup untuk duduk bersama para birokrat untuk secara langsung menyuarakan kepentingan kelasnya di hadapan mereka.

Yang kedua, seringkali apa yang dilakukan oleh serikat pekerja justru merugikan anggota-anggotanya. Berkali-kali kami menjumpai kasus di mana tingkat kesejahteraan umum pekerja justru berkurang setelah mereka melakukan pemogokan. Para pemimpin serikat buruh nampaknya jauh lebih cepat menyerah pada tekanan pengusaha ketika mengadakan perundingan di ruang tertutup. Berbagai hal ini tentunya menimbulkan kekecewaan di kalangan kelas pekerja. Sudah beberapa kali kami menemui sikap antipati umum pada serikat pekerja di beberapa perusahaan. Ini sangatlah berbahaya karena, jika kelas pekerja sudah tidak percaya lagi pada serikat pekerja, dengan apa ia akan berjuang?

3. Serikat pekerja tidak memiliki perspektif jangka panjang
Tidak banyak serikat pekerja yang memahami dengan jelas untuk apa mereka berserikat, kecuali untuk memperjuangkan kepentingan jangka pendek anggota-anggota mereka, yakni upah atau tunjangan. Hampir tidak ada serikat pekerja yang memiliki keinginan untuk, misalnya, tumbuh menjadi seperti serikat-serikat pekerja di benua Amerika atau Eropa, bahkan juga Afrika Selatan, yang sanggup memaksa pemerintah memperhatikan terus kepentingan pekerja.

Oleh karena ini pulalah kelemahan yang kedua, yang telah kita bahas di atas, muncul. Tidak mungkin sebuah serikat pekerja akan tahu bahan apa yang diberikannya dalam pendidikan penyadaran anggota-anggotanya jika ia tidak memiliki wawasan jangka panjang. Paling-paling, yang dijadikan bahan pendidikan hanyalah soal ketentuan-ketentuan perundang-undangan perburuhan atau ketentuan-ketentuan ILO. Tapi, tidak ada pembahasan sampai di tingkat basis massa kelas pekerja di pabrik-pabrik atau kantor-kantor mengenai strategi untuk membuat ketentuan perundang-undangan itu sesuai dengan kepentingan kelas pekerja – atau supaya secara nasional ketentuan ILO diberlakukan.

Padahal, ini adalah langkah yang terhitung moderat untuk sebuah serikat pekerja. Serikat-serikat pekerja di Eropa dan Amerika Latin kini telah bicara tentang bagaimana kelas pekerja harus berpolitik, harus turut serta dalam proses pengambilan keputusan di tingkat nasional. Bagi kami, ke sinilah serikat-serikat pekerja Indonesia harus melangkah. Namun, secara realistis, ini adalah tujuan jangka panjang. Penyadaran kelas pekerja mengenai hak-hak mereka dan penajaman kemampuan kelas pekerja untuk merumuskan sebuah strategi nasional untuk merebut dan mempertahankan hak-hak itu – inilah yang pertama-tama harus dilakukan.

4. Serikat pekerja tidak mandiri dalam soal pendanaan
Ini juga sebuah masalah yang serius. Kebanyakan serikat pekerja mendapatkan dananya dari LSM, atau dari jaringan pendanaan internasional seperti yang digalang oleh AFL-CIO/ACL. Bahkan banyak pula organiser serikat buruh yang menggantungkan penghidupannya pada bantuan dana luar ini.

Masalah ini menjadi serius karena ketergantungan dana biasanya kemudian juga merupakan sumber ketergantungan politik. Untuk menjaga agar aliran dana tetap lancar, biasanya sebuah organisasi bersedia menyesuaikan program dan tindakan-tindakan politiknya dengan kemauan penyandang dana. Ini berarti serikat pekerja kemudian terikat dan tidak bebas untuk mengembangkan aspirasinya sendiri. Disadari atau tidak, disengaja atau tidak, diniatkan atau tidak, serikat pekerja kemudian akan menjadi perpanjangan tangan dari kebijakan penyandang dana.

Padahal iuran untuk serikat pekerja dipotong langsung dari upah. Ke mana dana ini pergi, bagaimana dana ini didayagunakan untuk kepentingan organisasi? Dengan adanya dana ini, sesungguhnya kemungkinan serikat pekerja untuk jadi mandiri dalam pendanaan sangatlah besar.

Kami menyadari bahwa persoalan penghidupan menjadi persoalan besar bagi banyak organiser serikat pekerja. Banyak pekerja yang tadinya menjadi aktivis serikat pekerja di pabrik atau kantor kemudian di-PHK. Jika sudah demikian, si pengusaha pasti memberi tahu rekan-rekannya sesama pengusaha untuk tidak menerima si A atau si B karena dianggap "pengacau". Telah diketahui pasti bahwa di kalangan pengusaha beredar berbagai "daftar hitam" yang berisi nama-nama dari mereka yang pernah di-PHK karena mengorganisir perlawanan di perusahaan mereka. Karenanya banyak organiser kemudian tidak dapat memperoleh jaminan penghidupan apapun dan harus tergantung pada bantuan orang lain kalau masih ingin aktif mengorganisir.

Oleh karenanya, pembangunan solidaritas di tengah kelas pekerja kemudian menjadi sebuah persoalan yang sangat penting. Karena hanya dengan iuran anggotalah sebuah serikat pekerja akan mampu membiayai penghidupan para organisernya. Biasanya, seorang organiser dapat mengorganisir dua-tiga perusahaan. Maka, jika pekerja di dua-tiga perusahaan itu bersedia menyisihkan penghasilan mereka untuk menyokong usaha bersama ini, organiser itu akan tetap dapat menjalankan pengorganisirannya secara mandiri.

Bagaimana kita mencontoh gerakan pemilik modal
Sesudah melihat kondisi lawan dan kondisi sendiri, apa yang harus kita lakukan?

1. Perlawanan serikat buruh harus berlangsung secara nasional
Dari uraian di atas, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa persoalan sistem kerja kontrak dan PHK tidak akan dapat dihadapi secara separo-separo. Perlawanan di tingkat pabrik pasti akan menemui kegagalan karena justru sistem kerja kontrak ini dirancang untuk menghancurkan kekuatan buruh di basis utamanya. Sistem ini diciptakan di tingkat internasional, dan diambil oper oleh pemerintah nasional. Para pemilik modal nasional tidak berkeberatan dengan sistem yang sesungguhnya diciptakan oleh imperialisme ini karena sistem ini juga menguntungkan mereka. Satu hal lagi yang membuktikan bahwa sekalipun pemilik modal nasional menentang imperialisme, penentangan ini hanya dalam kerangka perebutan pasar. Dalam soal menindas buruh, baik modal nasional maupun multinasional memiliki kepentingan yang sama dan serupa.
Karena sistem ini diberlakukan secara nasional oleh sebuah pemerintahan yang tidak berpihak pada kepentingan buruh, maka perlawanan yang harus dilakukan adalah juga sebuah perlawanan nasional. Pemogokan-pemogokan sporadis dan sendiri-sendiri yang pernah dilakukan oleh beberapa serikat buruh telah membuktikan hal ini dengan kegagalan yang dialaminya. Tidak bisa kita mengatasi problem berskala nasional seperti ini tanpa pemogokan umum di pusat-pusat industri utama di seluruh negeri dan mengarahkan tuntutan kita langsung pada pemerintah. Hanya jika kita mampu melancarkan pukulan langsung ke jantung negara kapitalis problem ini akan dapat dipecahkan.

Ada beberapa langkah yang harus diambil untuk menangani sistem kerja kontrak dan PHK:

a. Pemerintah harus dipaksa untuk menyediakan Dana Sosial bagi korban PHK
Ini adalah sebuah langkah darurat. Sama seperti pengusaha yang memaksa pemerintah agar membayari hutang yang mereka buat sendiri, kita juga harus memaksa pemerintah untuk menanggung biaya sosial yang timbul akibat ulah pengusaha. Jika pemerintah tidak mau membayar biaya sosial ini, maka jelas bahwa pemerintah berniat mengorbankan buruh agar pengusaha bisa selamat. Namun, seperti halnya yang dilakukan pengusaha, kita juga hanya akan dapat memperoleh dana sosial ini jika kita berhasil mengadakan tekanan politik yang keras pada pemerintah.

b. Membangun kembali solidaritas
Kita sudah lihat bahwa sistem pasar tenaga kerja fleksibel ini diciptakan untuk mematahkan solidaritas antar buruh. Maka, langkah pertama yang harus diambil adalah membangun kembali solidaritas itu. Apalagi kalau kita melihat bahwa sistem ini telah menciptakan ketakutan di tengah buruh kontrak sehingga mereka enggan terlibat dalam aktivitas serikat buruh. Mau tidak mau, serikat-serikat buruh yang beranggotakan buruh tetap itulah yang harus mengulurkan tangan terlebih dahulu. Serikat-serikat buruh yang masih ada harus bersedia bertarung atas nama kawan-kawan mereka yang sudah terjerembab ke dalam sistem kerja kontrak. Diharapkan, tentu saja, kawan-kawan buruh kontrak akan melihat kesediaan serikat buruh berjibaku demi mereka dan, dengan demikian, akan tergugah untuk ikut berlawan.

Demikian pula dengan persoalan PHK. Justru tekanan terkuat hanya bisa dilancarkan oleh serikat buruh yang belum terkena PHK atau baru terancam PHK.

Puncak dari solidaritas ini adalah sebuah perlawanan bersama. Perlawanan sendiri-sendiri mudah dipatahkan. Pengusaha tinggal lari, atau menyatakan bangkrut atau alasan-alasan lainnya. Karena itu, serikat-serikat buruh harus membangun sebuah perlawanan bersama – unit yang paling kecil adalah di tingkat wilayah.

c. Serikat Buruh berdiri sejajar dengan pengusaha dalam hal penetapan kontrak
Serikat-serikat buruh harus berjuang agar syarat-syarat kontrak disetarakan dengan syarat dalam KKB, dengan kata lain, KKB harus juga mencantumkan syarat-syarat kerja untuk buruh kontrak. Dengan cara ini, buruh kontrak akan mendapatkan sarana perundingan kolektif yang telah dirampas darinya melalui sistem kerja kontrak.
Serikat buruh juga harus memaksa pemerintah menetapkan peraturan baru, di mana serikat buruh dilibatkan dalam pengangkatan buruh kontrak. Wakil serikat buruh harus turut serta dalam proses interview. Dengan demikian, minimal serikat buruh akan dapat melindungi calon buruh kontrak dari proses percaloan tenaga kerja yang kini merajalela di mana-mana.

Di samping itu, serikat buruh juga harus memaksa pemerintah untuk mengesahkan peraturan di mana perusahaan diharuskan untuk transparan dalam penetapan lowongan untuk buruh kontrak. Serikat buruh harus mendapatkan kesempatan melihat pembukuan perusahaan, skedul order, dll alasan yang biasa dipakai perusahaan untuk memaksakan sistem kerja kontrak. Jika serikat buruh melihat kejanggalan dalam alasan itu, harus ada proses perdata di mana pengusaha dapat dipaksa untuk membatalkan sistem kerja kontrak itu.

Demikian pula dengan persoalan PHK. Jika pengusaha ingin menyatakan bangkrut, maka pembukuan perusahaan harus diperiksa terlebih dahulu oleh serikat buruh. Termasuk di dalamnya skedul order dan perjanjian dengan buyer. Bukan sembarang pembukuan, melainkan pembukuan yang digunakan untuk pajak. Pembukuan ini juga harus diserahkan pada serikat buruh dalam bentuk lengkap, yakni bukan per unit atau per perusahaan melainkan untuk seluruh perusahaan dalam satu grup. Ini karena pengusaha sering berusaha membangkrutkan sendiri satu unit atau satu pabrik dengan cara memindahkan aset satu perusahaan ke perusahaan lain dalam satu grup usaha. Sistem ini disebut holding.

Untuk mengatasi pengusaha yang lari, harus ada peraturan pemerintah yang melarang pengusaha untuk melakukan "penarikan pribadi" setidaknya setahun sebelum pernyataan pailit diajukan ke pengadilan. Jika masih ada "penarikan pribadi", harta pribadi pengusaha harus disita untuk melunasi kewajibannya pada buruh. Sistem ini diberlakukan dalam perbankan, di mana harta pribadi pengusaha dapat disita untuk membayar hutang pada bank. Kita harus dapat memaksa pemerintah untuk memberlakukan sistem serupa dalam hal perburuhan.

Pemerintah selalu menekankan bahwa "buruh dan pengusaha adalah mitra". Tapi, coba kita kritisi: mana ada mitra di mana yang satu berhak memecat yang lain? Mana ada mitra yang menyembunyikan proses produksi dan keuntungannya dari yang lain? Apa yang kita tuntut ini bukanlah sesuatu yang aneh atau radikal. Seperti inilah seharusnya kalau buruh dan pengusaha adalah mitra. Yang satu harus selalu mempertanggungjawabkan apa yang dilakukannya pada mitranya. Kedua belah pihak harus juga mendapatkan akses yang setara dalam tiap pengambilan keputusan produksi maupun ketenagakerjaan.

2. Kelas pekerja harus punya partainya sendiri
Kelas pemilik modal tanpa bersusah-payah dapat menggolkan UU yang berpihak pada kepentingan mereka. Itu karena partai-partai politik yang ada sekarang berpihak pada kelas pemilik modal. Bahkan, para pimpinan partai itu sendiri adalah pemilik modal juga.

Kalau mau memenangkan pertarungan di tingkat pembuatan UU seperti ini, kelas pekerja harus memiliki sebuah partai yang didominasi oleh kelas pekerja itu sendiri. Partai ini juga harus bekerja semata demi kepentingan kelas pekerja, bukan sibuk berkompromi ke sana ke mari. Karena kepentingan kelas pekerja pastilah bertentangan secara langsung dengan kepentingan pemilik modal. Yang satu mau mem-PHK, yang lain mau mempertahankan pekerjaan. Yang satu mau sistem kerja yang fleksibel, yang lain mau sistem kerja yang memberi jaminan kepastian untuk masa mendatang. Tidak ada yang bisa dikompromikan di antara kedua kepentingan ini.

Pertanyaannya: adakah partai semacam itu sekarang? Jawabannya adalah: "Tidak ada".
Kalau jawabannya "tidak ada," maka langkah selanjutnya pasti adalah "kita harus mulai membangun partai semacam itu." Kelas pekerja harus mulai menyatukan langkah merumuskan seperti apa partai kelas pekerja yang akan dibuatnya melalui kritik atas percobaan-percobaan membuat partai serupa di masa lalu, menggariskan strategi dan langkah untuk mewujudkannya, dan mulai bekerja untuk membuat partai itu menjadi kenyataan.

Dengan partai ini sebagai alat, kelas pekerja dapat mulai bertarung berhadapan, sederajat dengan kelas pemilik modal. Bertarung langsung di arena yang paling menentukan: siapa yang memegang kekuasaan atas negara. Artinya: siapa yang berhak menentukan pembuatan UU dan siapa yang berhak menggunakan aparat negara untuk memaksa agar UU itu dipatuhi.

Kalau kita memegang kekuasaan atas negara, kita akan dapat menahan sejauh mungkin dampak buruk akibat dijerumuskannya Indonesia ke dalam krisis oleh Soeharto. Boleh jadi tindakan yang kita ambil sebagai penguasa negara tidak akan sepenuhnya membawa Indonesia keluar dari krisis, justru karena krisis ini internasional sifatnya. Namun, seperti yang dilakukan kelas pemilik modal, kita akan dapat membuat agar jangan sampai rakyat pekerja yang menanggung sendirian akibat krisis ini.

Partai ini tidak boleh jadi partai yang "mengatasnamakan" buruh atau rakyat pekerja lainnya. Justru partai ini harus beranggotakan buruh dan para pimpinannnya juga harus ditumbuhkan dari kalangan buruh. Sudah bukan masanya buruh menyerahkan kepemimpinan pada mahasiswa, atau orang berdasi, atau profesor atau orang LSM. Sudah waktunya buruh belajar dan berlatih untuk kelak dapat menduduki jabatan-jabatan partai politik. Sudah waktunya buruh belajar ekonomi dan politik agar kelak dapat berdebat langsung dengan ahli-ahli bayaran pemilik modal. Sudah waktunya buruh belajar manajemen agar kelak dapat menjalankan sendiri organisasi tanpa bantuan orang lain – bahkan juga untuk menjalankan sendiri roda perusahaan.

Buruh harus sudah mulai bertekad untuk kelak membanjiri parlemen dengan buruh. Atau mendudukkan seorang dari kawan buruh menjadi presiden. Itu bukan hal yang mustahil, jika buruh mau belajar, berlatih dan berjuang bersama.

3. Kelas buruh harus bekerja sebagai sebuah mata rantai kekuatan rakyat pekerja sedunia

Tidak bisa tidak. Krisis ini adalah krisis internasional. Hanya bisa diatasi dari level internasional pula. Karena itulah partai ini, sejak sebelum memegang kekuasaan, harus sudah menjalin kerjasama rapat dengan partai-partai kelas pekerja lain di seluruh dunia.

Kerjasama ini dapat berupa kampanye bersama, penyusunan program bersama, sampai tindakan-tindakan yang lebih strategis seperti membangun unifikasi di tingkat internasional dengan partai-partai sekelas. Ini tergantung kapasitas dan kemampuan partai kita sendiri. Tapi, pada prinsipnya hal ini harus dilakukan dengan sekuat tenaga.

Banyak serikat buruh sudah terbiasa dengan menjadi anggota dari konfederasi nasional serikat buruh. Tapi, belum banyak yang bersedia melakukan perlawanan bersama dalam konfederasi semacam itu. Sejak awal pembangunannya, kekuatan perlawanan serikat buruh harus sudah membangun kerja sama yang lebih erat dengan kekuatan buruh secara internasional. Tanpa perlawanan secara internasional, tidak mungkin krisis yang dihadapi buruh secara internasional ini akan dapat terselesaikan.



Jakarta, 19 Juli 2004

*Ketua Divisi Pendidikan
Komite Pusat Perhimpunan Rakyat Pekerja (KP PRP)

No comments: