Willy Aditya*
Awalan
Ekonomi kapitalis akan senantiasa bergerak dalam fluktuasi tanpa henti. Kenyataan ini menjadi kebenaran umum yang tak perlu diperdebatkan lagi. Betapa setiap kemerosotan yang paling hebat sekalipun akan selalu diikuti oleh kenaikan di saat tertentu. Tidaklah mencengangkan bahwa setelah krisis ekonomi dan merembet ke krisis politik pada tahun 1997, pemulihan ekonomi beberapa negara Asia menunjukkan tanda-tanda pemulihan yang bersifat sementara dan parsial. Sepanjang ekonomi Amerika tetap tumbuh dan menyerap ekspor luar negeri, ekonomi Asia berpeluang untuk mengekspor surplus komoditi tak terjual mereka, proses yang sangat ditolong oleh devaluasi mata uang inilah yang membuat ekspor mereka lebih murah daripada sebelumnya.
Elemen lain dalam persamaan ini adalah apa yang dinyatakan dalam perspektif Marxis sebagai hukum perkembangan gabungan dan tak seimbang. Jauh-jauh hari lalu Marx dan Engels sudah menjelaskan bahwa kapitalisme berkembang sebagai kekuatan pasar yang mendunia. Ramalan cemerlang ini sekarang ditunjukkan oleh fenomena globalisasi. Namun ini tidak berarti bahwa ketimpangan kapitalisme dihapuskan, atau kenaikan atau kemerosotan terjadi secara simultan di seluruh ekonomi dunia. Kapitalisme tidak berkembang dalam waktu bersamaan dan dengan cara yang sama di semua bagian dunia. Siklus ekonomi juga tidak terjadi dengan mulus dan lancar di semua bagian ekonomi dunia. Malah sebaliknya. Ciri kapitalisme yang paling menonjol adalah anarkhi kekuatan produktif. Ini tetap benar walaupun ada dominasi monopoli-monopoli besar, intervensi IMF dan Bank Sentral dan fenomena globalisasi yang banyak disebut.
Adapun apa yang terjadi di Indonesia menjadi fenomena khusus karena belum mampu keluar dari kekusutan krisis ekonomi—yang telah dan akan menjadi bom waktu krisis politik bagi pemerintah-pemerintah kaki tangan imperialisme kini atau mendatang. Derajat krisis di Indonesia menempati posisi paling rendah dan menimbulkan banyak kecemasan; betapa anarkhi kekuatan produktif suatu ketika berubah menjadi anarkhi sosial yang menghancurkan Indonesia sebagai negara modern.
Api Kontradiksi di Penjuru Negeri Indonesia
Indonesia kontemporer adalah cermin bangsa yang ringkih mirip barang pecah–belah. Berada di tepian tebing yang setiap saat siap menghancurkan eksistensinya. Dalam keanekaragamannya ternyata justru mengandung potensi konflik yang mengancam kelangsungannya sebagai bangsa manusia yang beradab. Barbarisme senantiasa datang mengendap–endap membawa teror di balik jubah perbedaan agama, etnis, provinsi, bahkan golongan politik. Elit–elit politik siap sedia untuk saling cakar demi rebutan roti kekuasaan yang semakin membuat rakyat terpuruk dalam amarah dan semakin menghimpun daya kekuatannya.
Benar, Indonesia berada dalam fase transisi; yakni fase reformasi sebagai koreksi tambal sulam terhadap praktek perekonomian Orde baru yang kroni–kapitalistik dan otoritarian dalam praktek politik. Benar pula bila koreksi atas Indonesia sekarang belum lepas dari kerangka ideologi kapitalisme yang menjadi akar dari segala akar kerusakan Indonesia. Bila pasca tahun 1965 merupakan fase penetrasi kapitalisme yang paling massif, maka 1998 hingga kini merupakan restorasi berikutnya--dan akan menyusul kerusakan–kerusakan permanen sebagaimana watak kapitalisme yang senantiasa berdiri di atas api kontradiksi.
Indonesia memang sosok tanah–air yang maha besar, maha luas dengan tingkat kepadatan penduduk yang tinggi. Bisa dibayangkan, suatu ruang seluas kurang lebih dua juta km persegi, dengan hamparan 13. 699 pulau dengan total penduduk 203, 46 juta jiwa. Di dalamnya hidup sekitar 495 rumpun bahasa dalam kelompok etnis dan 5 agama resmi plus puluhan aneka kepercayaan. Realitas ini mengandung dua potensi besar yang bisa diprediksikan: relasi konflik akan terus mengoyak kehidupan masyarakat dengan segala perbedaannya atau ketentraman dan kedamaian bakal tercipta dengan adanya syarat fundamental; terciptanya keadilan sosial, kesejahteraan ekonomi dan demokrasi kerakyatan sebagai sistemnya. Dalam pengertian yang lebih pendek, Indonesia saat ini menghadapi dua pilihan krusial: barbarisme atau sosialisme!
Apa yang terjadi di atas pelataran Indonesia masa kini adalah cermin retak sebuah reformasi. Kegagalan proyek reformasi dan kebuntuan semua upaya di jalur reformisme. Demokrasi dirancang menuju liberalisme dan ekonomi direstrukturisasi agar sepenuhnya kapitalistik lewat agenda neoliberalisme yang sedang dirancang–bangun sedemikian rupa. Dalam rancangan besar, semua sistem yang saat ini dikerahkan untuk menjawab semua tantangan Indonesia kontemporer merupakan agenda revisi atas tatanan dan praktek ekonomi (kroni–kapitalistik) dan politik (otalitarian) Orde Baru yang penuh dosa. Namun upaya apapun akan tetap tampak kerapuhannya ketika blue print dan perkakas yang dipakai tetap menggunakan piranti kapitalisme. Suatu sumber dari segala sumber lahirnya ratusan konflik dan malapetaka yang siap mengoyak soliditas integrasi nasional Indonesia.
Apa yang menimpa Indonesia hari ini adalah probem nasional dengan apa yang dideskripsikan Karl Marx sebagai all that is solid melts into air (semua yang kokoh, kini telah menguap ke udara). Apa yang dahulu tampak ‘dimapankan’ secara politik oleh rezim Orde Baru dalam bingkai integrasi nasional Indonesia, kini telah tercerai–berai oleh konflik agama, konflik antaretnis, antarkampung, antargolongan politik, elit kontra elit, pusat versus daerah, dan konflik dalam skala besar kita bisa membaca tuntutan Aceh merdeka, Papua merdeka, Riau merdeka, dst. Gerakan separatis tampak nyata tengah mengancam integritas Negara Kesatuan Republik Indonesia. Lantas, apakah akar dari segala akar konflik fundamental ini?
Untuk memahami realitas ini yang pertama mari kita sama– sama mengelupas kekaburan– kekaburan yang acapkali memanipulasi pemahaman kita tentang suatu identitas konflik. Sebagai kata kunci pembahasan ini adalah kontradiksi, suatu istilah yang mengandung pengertian adanya sumber pertentangan yang material dan utama antara suatu kekuatan yang lemah melawan yang kuat, lebih tepatnya antara mayoritas yang dilemahkan dan dihisap melawan minoritas yang kuat lagi menghisap.
Kontradiksi ini mempunyai determinasi pada kepentingan kesejahteraan ekonomi masyarakat sebagai sumber kehidupan yang sejati. Apabila keadilan sejati ini terluka, maka koyak–moyaklah semua ikatan yang mengharmoniskan tatanan sosial; tanpa pandang bulu suku, agama, etnis, ras, kelas maupun komunitas. Dengan demikian, akar dari segala akar kontradiksi sejatinya adalah keadilan ekonomi, bukan perbedaan agama maupun etnis. Konflik agama, suku, ras, etnis atau golongan menjadi faktor sekunder.
Di luar kondisi itu semua, daya perubahan tentu akan sangat tergantung pada sejauh mana kekuatan–kekuatan revolusioner di Indonesia melakukan konsolidasi untuk kemudian dikristalkan menjadi kekuatan politik yang mampu melakukan antitesis terhadap kondisi total chaotic ini. Dan di sinilah kerapuhan segera tampak.
Geo-Politik Indonesia dalam Tata Perdagangan Global
Dalam jalur perdagangan internasional, Indonesia berada di wilayah paling strategis dalam teritori Asia Tenggara. Sekitar 15% perdagangan global melewati perairan Asia Tenggara, dan sebagian besar dari jalur perdagangan itu melewati 3 selat kunci dalam wilayah Indonesia: yakni, Selat Malaka, Selat Sunda dan Selat Lombok. Sebagai tambahan, perdagangan dari/ ke Australia juga melewati Selat Makasar dan Selat Torres, yang belakangan memisahkan Australia dari Papua Nugini dan bagian timur Indonesia. Dalam posisi yang strategis inilah segala upaya keamanan jalur perdagangan ini menemukan arti pentingnya.
Sebagai bukti signifikansi, dua kekuatan macan ekonomi Asia; Cina dan Jepang, sangat berkepentingan dengan stabilitas wilayah di Indonesia karena menyangkut jalur kapal perdagangan mereka. Hampir 39% jalur perdagangan Jepang melewati Asia Tenggara. Sebagian besar dari jalur perdagangan Jepang, 75 sampai 80 persen pasokan minyak Jepang, harus melewati Indonesia. (Stratfor, 16 Oktober 2002).
Dalam situasi kontemporer di mana tengah terjadi pemanasan politik dunia; dunia imperialis melakukan penetrasi kepentingan mereka atas nama terorisme. Amerika Serikat dan sekutunya menyiapkan perang melawan Irak, api perlawanan rakyat Palestina yang tak pernah padam melawan Israel, dan percik-percik api kontradiksi seperti menunggu even dari bahan bakar yang sudah tersedia untuk berkobar secara revolusioner menuju krisis global. Realitas ini semakin mematangkan kontradiksi karena terjadi di tengah iklim perekonomian dunia yang melemah.
Departemen Ekonomi dan Sosial PBB melansir kemungkinan besar pertumbuhan dunia hanya akan mencapai 1,7% pada tahun 2002 dan 2,9 % pada tahun 2003. Adapun tahun lalu, 2001, angka pertumbuhan ekonomi global menunjukkan titik paling rendah dalam satu dekade terakhir, hanya tumbuh pada angka 1,3%. Kesemua gejala ini dipicu dari pertumbuhan investasi baru yang sangat lambat, anjloknya harga-harga saham yang menyebabkan antusiasme konsumen untuk berbelanja berkurang.
Dan Indonesia adalah titik paling rawan dalam mata rantai kapitalisme. Kerawanan ini pasti menimbulkan kecemasan di kalangan propagandis pasar sehubungan dengan posisi Indonesia dalam tata hubungan perdagangan global, khususnya keamanan wilayah di Asia. Dalam konteks mencari jalan keluar dari krisis ini, lagi-lagi kita dihadapkan pada pilihan-pilihan konservatif yang dilancarkan oleh pemerintah Mega-Hamzah; yakni tetap dalam kerangka IMF dan akumulasi hutang pemerintah yang semakin membesar pada pundi-pundi World Bank maupun CGI. Pilihan solutif ini tentu suatu upaya menanam bom waktu bagi rakyat Indonesia untuk lahirnya ledakan pergolakan rakyat dari krisis-krisis multi-dimensi yang pasti tak teratasi oleh semua rezim agen imperialisme.
Di luar kerangka sistem konservatif yang tengah berlangsung, segenap elemen progresif dalam masyarakat haruslah membangun kekuatan rakyat tertindas sebagai potensi konkret yang harus mencari jalan sendiri secara mendasar.
Jawaban!
Dengan demikian, bagi mereka segenap kaum pergerakan yang menggunakan Marxisme sebagai kerangka berpikir dan membaca kondisi objektif tentu akan senantiasa mempertautkan diri dengan massa rakyat dalam kelas–kelas tertindas. Bersama mereka segenap perspektif akan dipertaruhkan benar dan salahnya, taktik dan strategi akan dirancang ampuh dan tidaknya, dan yang terpenting adalah bagaimana sebuah kekuatan kelas bisa memiliki daya tawar dalam konstelasi politik nasional yang kacau ini bersama program–program perjuangan yang akan memperjuangkan kepentingan kelas tertindas dan sekaligus memandu mereka menuju perubahan yang sejati.
Di tengah kondisi Indonesia dengan tebaran api di semua penjuru wilayah ini, kaum Marxis tentu harus mengambil sikap tegas sesuai kaidah pergerakan yang akan membawa pada sikap independensi yang bertumpu pada kelas–kelas tertindas. Di tengah proses reformasi yang berjalan tanpa panduan ideologis yang jelas, nyata– nyata hanya akan menyeret negeri ini pada catastrophe - badai krisis babak kedua yang jauh lebih mengerikan.
Persoalan krusial Indonesia saat ini berikut alat pemecah persoalan adalah dua persimpangan besar: barbarisme dalam solusi model kapitalisme dan liberalisme atau sosialisme sebagai jawaban mendasar.
Dalam pemecahan problem model kapitalisme, ia tetap mengandung resiko catastrophe yang mengerikan bagi umat manusia. Kenapa demikian, sebab skenario kapitalisme jelas akan semakin membangun kontradiksi yang permanen dalam struktur kelas yang saling berebut kepentingan. Bisa diperkirakan suatu kondisi yang lebih busuk dari Orde Baru yang telah hancur porak–poranda.
Kelas penindas baru akan segera mengkonsolidasikan segenap kekuatan yang bisa dihimpun untuk menjadi borjuasi nasional baru dan melangsungkan penghisapan terhadap kelas bawah tertindas yang bisa diayomi oleh hukum– hukum legal borjuis. Keadilan dalam konteks ini adalah hak milik dan kenikmatan hidup sepenuh–penuhnya kelas pengusaha, elite politik dan kaum reaksioner yang diuntungkan oleh sistem. Tidak! sekali lagi tidak milik kelas buruh, buruh–tani, kaum miskin kota atau kaum melarat lainnya.
Inilah realisme sosial masyarakat kapitalis. Kalaupun di dalamnya mengandung kepastian hukum, ia menjadi hukum besi penindasan bagi rakyat bawah yang tidak kebagian rezeki—yang senantiasa lapar dan terlibat dalam upaya paksa untuk merebut rezeki yang ditimbun oleh kaum borjuis. Suku Amungme di Irian Jaya akan terus bergerak merebut tanah dan hak miliknya kembali yang telah direbut oleh komprador imperialisme. Juga buruh PT. Freeport Indonesia, PT. Caltex Pasific Indonesia, PT. Newmont Minahasa Raya, PT Badak NGL di Bontang, Kalimantan Timur dan di semua pabrik dan pos– pos besar penghisapan kelas lainnya.
Hukum borjuis merupakan hukum kekerasan sosial yang permanen!
Adapun solusi sosialisme adalah solusi fundamental untuk menjawab kontradiksi kelas yang ada. Solusi model sosialisme jelas harus keluar dari kerangka perjuangan yang bersifat tambal sulam sebagaimana agenda milik kaum reformis yang bangkrut saat ini. Perubahan untuk sosialisme juga bukan perubahan segampang membalik telapak tangan sebagaimana menjadi mimpi–mimpi kosong kaum elite yang paling pandai menipu massa rakyat.
Perubahan model sosialisme adalah perubahan yang terletak di tangan kelas tertindas, bukan di tangan elemen asing, parlementariat atau elit politik. Ia mensyaratkan kesiapan kelas pekerja (working class) Indonesia sendiri sebagai motor utama perubahan revolusioner untuk membongkar sistem penghisapan dan penindasan yang selama ini telah memperbudak tenaga dan pikiran mereka; mengambil alih kekuatan basis–struktur ekonomi dan merebut kekuasaan politik negara.
Penataan masyarakat dalam negara sosialisme adalah melakukan nasionalisasi aset–aset produksi yang utama dan diselenggarakan oleh seluruh organisasi kelas pekerja yang terdidik dalam kancah revolusioner itu. Selanjutnya akan terjadi distribusi hasil produksi yang akan dinikmati bersama oleh semua rakyat Indonesia.
Jawaban Sosialisme dalam konteks keindonesiaan yang terdiri atas ratusan perbedaan dari suku, etnis, agama, bahasa, dan kulit jelas menjadi sangat relevan bila diletakkan sebagai syarat fundamental sistem kehidupan sosial Indonesia. Stabilitas nasional akan sangat ditentukan oleh kualitas share and distribution sumber ekonomi yang merata bagi semua lapisan masyarakat. Tanpa syarat fundamental ini, posisi struktural bangsa Indonesia tentu akan sangat rapuh seperti barang pecah–belah yang gampang hancur. Tersenggol konflik agama, puluhan bom bertaburan di tempat–tempat ibadah. Aceh, Irian Jaya, Riau akan bergolak menuntut keadilan distribusi ekonomi; realitas yang mengancam integrasi nasional dan menguras habis energi sebuah bangsa. Belum lagi jaring–jaring sosial yang rentan dan gampang terkoyak oleh isu–isu jahat yang mengundang kerusuhan sosial.
Akhiran
Dengan sosialisme sebagai alas hidup bersama kehidupan sosial berbangsa Indonesia, ia menjadi faktor pokok bagi kelangsungan satu harmoni dalam keanekaragaman manusiawi. Satu sistem pengikat dalam rumpun kebhinekaan. Inilah paras humanisme bagi rumah masa depan Indonesia kita di bawah payung sosialisme; atau bilamana tidak maka benarlah kata Karl Marx, apa yang semua solid dalam wadah Indonesia, akan menguap ke udara. Dan Indonesia akan menjadi batu nisan nasionalisme kita. Namun masa depan pasti ‘kan datang bersama sosialisme!
*Anggota PRP Komite Kota Jakarta Raya, Koord Litbang VHR
Wednesday, April 11, 2007
Sosialisme: Sebuah Jawaban Historis Masa Depan Indonesia
Subscribe to:
Post Comments (Atom)





















No comments:
Post a Comment