Momentum

MAYDAY 2007

Wednesday, May 16, 2007

Tragedi Mei: pelanggaran pidana biasa atau pelanggaran HAM berat

Ari Yurino*

Berita KOMPAS tanggal 14 Mei 2007 mengangkat berita “Jaksa Agung Minta Pengusutan Tragedi Mei Lewat Pidana Biasa.” Dalam berita ini disebutkan bahwa Jaksa Agung yang baru, Hendarman Supandji menyatakan sangat sulit untuk mengusut kasus tragedi Mei 1998 dan penculikan aktiis bila masih dalam koridor pelanggaran HAM berat. Ia menyatakan persyaratan yang harus ditempuh oleh Kejaksaan Agung dalam mengusut kasus pelanggaran HAM berat masih banyak kendalanya. Selain masalah pembuktian hukumnya, ia juga menyatakan harus meminta persetujuan DPR untuk mengusut kasus ini. Maka dari itu, ia menyatakan akan lebih baik dengan dakwaan pelanggaran pidana biasa.

Namun masalahnya apakah tragedi Mei itu sendiri merupakan pelanggaran pidana biasa atau pelanggaran HAM yang berat. Karena jelas hal ini memiliki komposisi pelanggaran yang berbeda. Bila Jaksa Agung menyatakan hal tersebut hanya dikarenakan merasa terbebani untuk melakukan pengusutan pelanggaran HAM yang berat dengan meminta persetujuan DPR, maka ini menjadi tidak masuk akal. Jaksa Agung seharusnya tidak terpatok dengan sikap politik DPR yang menyatakan kasus tersebut bukan merupakan kasus pelanggaran HAM. Karena DPR bukanlah merupakan lembaga yang berwenang menyatakan suatu kasus pelanggaran merupakan pelanggaran HAM yang berat atau tidak. Dengan pernyataan Jaksa Agung, Hendarman Supandji artinya juga mengakui adanya upaya menutupi atau menghambat proses pengusutan pelanggaran HAM berat di kalangan DPR. Karena jelas dari pernyataannya Jaksa Agung merasa bahwa ia merasa terbebani dan tidak mampu mengusut kasus ini hingga tuntas.

Dalam proses penyelidikan Komnas HAM, tragedi Trisakti, Semanggi I dan II serta kerusuhan Mei dan penhilangan paksa pada tahun 1997/1998 telah dinyatakan oleh Komnas HAM sebagai pelanggaran HAM yang berat. Namun Jaksa Agung menyatakan sangat sulit untuk membuktikan kasus ini sebagai pelanggaran HAM yang berat. Karena menurut Hendarman, sesuai dengan 7 dan pasal 8 UU No 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, kejahatan yang bisa digolongkan pelanggaran HAM yang berat adalah kejahatan terhadap kemanusiaan dan genosida.

Namun sebenarnya tragedi Mei masuk dalam ketegori kejahatan terhadap kemanusiaan. Karena dalam pasal 9 UU 26/2000 disebutkan bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan adalah perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas dan sistematik terhadap penduduk sipil yang berupa pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pengusiran secara paksa, perampasan kemerdekaan, penyiksaan, perkosaan dan perbudakan seksual, penganiayaan suatu kelompok karena keyakinannya, penghilangan orang secara paksa dan kejahatan apartheid. Sedangkan menurut catatan Tim Relawan untuk Kemanusiaan, kerusuhan tersebut menyebabkan tewasnya 1.217 orang, 91 orang luka dan 31 orang hilang.Kerugian materiil lebih dari Rp 2,5 trilliun. Hal ini jelas merupakan tragedi kemanusiaan !!! Ini jelas merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan otomatis ini merupakan pelanggaran HAM yang berat, bukan pelanggaran pidana biasa.

Temuan-temuan Komnas HAM dan Tim Relawan untuk Kemanusiaan menunjukkan tragedi Mei memenuhi unsur pelanggaran HAM yang berat. Adanya upaya serangan sistematis dan meluas terhadap penduduk sipil terbukti dengan adanya fakta bahwa kasus ini bukan hanya terjadi di Jakarta, tetapi juga meluas ke beberapa daerah di Indonesia. Dan juga kerusuhan ini ternyata didalangi oleh aktor-aktor intelektual yang sampai saat ini belum dapat diadili oleh pengadilan. Adanya sikap pembiaran terjadinya kerusuhan yang terjadi di beberapa daerah oleh aparat pemerintah juga terbukti dari temuan-temuan Komnas HAM dan Tim Relawan untuk Kemanusiaan.

Dengan argumentasi Jaksa Agung yang menyatakan bahwa adanya kesulitan Kejaksaan Agung untuk membuktikan kasus ini sebagai pelanggaran HAM yang berat merupakan tindakan yang mudah menyerah. Atau bahkan memang ini merupakan gelagat Hendarman Supandji sebagai Jaksa Agung yang baru juga tidak ingin berusaha mengungkap kasus ini secara tuntas. Bila alasan Jaksa Agung lebih mudah untuk mengungkap kasus ini dengan Pengadilan Pidana biasa, maka jelas hal tersebut tidak terbukti. Dengan Pengadilan Tim Mawar, seperti yang dicontohkan oleh Jaksa Agung, kenyataanya anggota Tim Mawar yang dibawa ke pengadilan pidana biasa tidak dapat mengadili aktor di balik penculikan aktivis pada tahun 1997/1998. Bahkan beberapa perwira yang dinyatakan bersalah dan dipecat dari keanggotaan TNI, saat ini malah telah berpangkat Letnan Kolonel dan menjabat Komandan Kodim di beberapa daerah.

Artinya peluang untuk mengusut kasus ini melalui Pengadilan Pidana biasa pun belum dapat membawa keadilan bagi korban dan keluarga korban pelanggaran HAM. Yang jelas Jaksa Agung merasa tidak sanggup untuk berjuang menuntaskan kasus ini dan beradu argumentasi dengan kalangan DPR, atau memang niat untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM di Indonesia tidak ada sama sekali. Padahal tanggung jawab Kejaksaan Agung lah untuk menyidik dan membawa kasus pelanggaran HAM yang berat ke Pengadilan HAM.

Hal ini juga menunjukkan sikap pemerintah yang tidak ingin mengungkap kasus-kasus pelanggaran HAM di Indonesia. Janji Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk mengungkap kasus penembakan mahasiswa Trisakti kepada keluarga korban Trisakti pada acara pemberian tanda jasa pada tahun 2005 ternyata hanya menjadi angin lalu. Seharusnya janji tersebut menjadi modal awal pemerintah untuk mengusut seluruh kasus pelanggaran HAM di Indonesia. Setelah 9 tahun kasus ini terkatung-katung maka jelas bahwa memang komitmen pemerintah untuk mengusut dan menuntaskan kasus pelanggaran HAM di Indonesia tidak ada sama sekali.

*Ketua Divisi Propaganda KP PRP

No comments: