1 Mei 2007 Harus Jadi Hari Yang Berkesan karena MayDay Hari Gembira buat Rakyat Pekerja
(Diskusi Pengantar Persiapan PRP Menyambut Mayday 2007)

Ide bergembira dengan merayakan sebuah libur kaum proletar sebagai sebuah cara untuk mendapatkan hak bekerja 8 jam sehari pertama kali lahir di Australia. Para pekerja di sana memutuskan pada tahun 1856 untuk mengorganisasikan sebuah hari yang sepenuhnya berhenti kerja bersamaan dengan rapat-rapat akbar dan hiburan sebagai sebuah unjuk rasa hak kerja 8 jam demi kerja 8 jam sehari. Awalnya, perayaan para pekerja Australia ini ditujukan hanya untuk dilaksanakan pada tahun 1856 saja. Tapi perayaan pertama ini memiliki sebuah efek yang sedemikian kuat pada mass proletariat di Australia, menghidupkan semangat merekadan mengarah pada agitasi baru, sehingga diputuskan untuk mengulangi perayaan ini setiap tahun.
(Rosa Luxemburg, What Are the Origins of May Day?/ Apa Asal Mulanya May Day?, 1894)
Tahun 2006 punya arti khusus buat sejarah kontemporer perayaan May Day di Indonesia karena besarnya kekuatan massa yang ikut serta, khususnya di kota-kota besar di Pulau Jawan, dalam perayaan hari buruh Internasional. Bagaikan air bah yang melanda pusat-pusat kekuasaan kota Jakarta, ratusan ribu massa aksi menjadi arus orang berbaris memenuhi, hingga praktis menghentikan arus kendaraan yang biasa melintas, di dua lokus utama:jalur bundaran HI-Istana Merdeka dan depan gerbang DPR.
Sungguhnya hanya massa Aliansi Buruh Menggugat (ABM) di jalur HI-Istana Merdeka yang dengan resmi dan terbuka mengumumkan bahwa mereka melakukan unjuk rasa di jalan dalam ,merayaakn Hari Buruh Internasional, dimana tema tahun tersebut mengajukan tuntutan penolakan terhadap rencana revisi Undang-Undang Ketenagakerjaan (UUK). Dua serikat buruh lain yang juga menurunkan massa dalam jumlah besar di lokus lain secara politik sebetulnya tidak berkeinginan merayakan Mayday karena konservatisme politik mereka yang anti warna politik kiri/sosialis.
Situasi yang terbentuk beberapa bulan menjelang perayaan Mayday sudah kadung disesaki oleh gelombang aksi penolakan Revisi UUK. Gelombang aksi yang mengambil bentuk-bentuk tindakan cenderung ofensif/menyerang, seperti: sweeping di pabrik-pabrik dan kawasan industri, demonstrasi yang melakukan pamer kekuatan massa seperti beberapa kali aksi besar di depan istana yang diikuti perusakan busway. Akibatnya meningkat lah suhu politik dan menebalnya opini publik tentang kemungkinan konfrontasi keras yang tak terhindarkan lagi antara sikap keras aksi buruh dan kengototan negara memaksa perubahan UUK. Memasuki tanggal 1 May , yang adalah hari Buruh Internasional, publik terkondisikan melihatnya sebagai gelanggang pertarungan yang menentukan.Semua kelompok buruh diuntungkan oleh suasana yang terbentuk, dan terjadi lah perayaan Mayday yang paling besar aksi massanya dalam sejarah Indonesia sejak Orde Baru. Amat banyak orang ingin turun ke jalan, mengharapkan melihat suatu kehebohan walau pun tidak satu pun tahu apa pastinya itu.
Ternyata sesuatu yang heboh itu tidak terjadi dalam bentuk kerusuhan atau kekerasan fisik seperti yang dipropagandakan rezim sebagai ancaman. Bentrokan akibat unjuk rasa menolak UUK baru terjadi dua hari berselang, ketika serikat buruh yang menghindari merayakan Mayday ternyata tidak bisa menghindar dari memanasnya energi massa anggotanya yang teradikalisasi oleh suasana politisasi yang intensif seputar momentum penolakan revisi UUK. Setelah itu revisi UUK diputuskan untuk ditunda oleh pemerintah dengan berbagai alasan, dan secara sepintas bisa diduga ada kenangan yang melihat Mayday sebagai faktor penting yang berpengaruh terhadap pilihan politik menunda revisi UUK. Hanya saja kesadaran rakyat pekerja belum tentu peka dengan implikasi dari taktik ini bahwa penundaan justru memungkinkan rejim borjuasi yang berkuasa mengelabui pandangan mata dan mempersiapkan cara mengubah UUK (yang juga sudah ditolak oleh banyak serikat buruh progresif karena bukan lah juga sebuah UU yang berpihak pada buruh) dengan cara yang lebih menghindari konfrontasi terbuka. Sebuah taktik politik yang bertumpu pada keyakinan bahwa rakyat mudah lupa, dan pimpinan-pimpinan rakyat pasti bisa dikooptasi.
Mayday sebagai bentuk Kesadaran yang Menyejarah
Perayaan May Day paska jatuhnya rezim Orde Baru-Suharto, yang kebijakan politiknya sangat anti kekuatan buruh progresif terorganisir, mulai dirayakan lagi oleh kaum buruh Indonesia sejak tahun 2000. Rezim memang berganti tapi tetap saja hegemoni politik kelas borjuasi bekerja lewat segala cara untuk mempertahankan tabu perayaan hari berbahagianya rakyat pekerja ini.Rejim borjuasi yang berganti-ganti di masa "reformasi (neoliberalisme)", semuanya menjadi sama dalam posisi yang tidak pernah mendukung usaha bangkitnya rakyat pekerja sebagai kekuatan politik.
Semua rezim borjuasi paska rezim otoriter pro pasar Suharto ternyata tetap mendasarkan kekuasaan politiknya demi melindungi kegiatan pembangunan ekonomi yang berorientasi pada usaha bersaing menjual produk pada pasar internasional. Keberhasilan pembangunan ekonomi diyakini sangat bergantung pada kemampuan memaksimalkan keunggulan komparatif produksi barang dan jasa yang bisa menghasilkan pendapatan nasional. Maksimalisasi keunggulan yang paling diandalkan adalah eksploitasi hubungan kerja (dan dimensi sosialnya) dalam konteks produksi, yang seminimal mungkin memenuhi kebutuhan-kebutuhan layak manusiawi bagi rakyat pekerja. Bentuknya bermacam-macam penindasan: upah buruh murah dibawah kelayakan, keselamatan kerja dilalaikan (dan terkait pada keselamatan produknya juga: lihat fenomena kecelakaan transportasi yang merajalela dewasa ini), waktu bekerja yang panjang dan mengabaikan aspek kesehatan, dan "jurus" memaksimalkan keuntungan yang termutahir adalah : dihancurkannya kepastian kerja dengan memaksimalkan pasar tenaga kerja yang lentur/fleksibel mengikuti kepentingan modal (Labour Market Flexibility).
Trotsky mencatat May Day mengandung tuntutan-tuntutan fundamental kaum proletar, yaitu: kerja 8 jam sehari (hak sipil politik sekaligus tuntutan ekonomi yang berpijak pada kebutuhan mempertahankan kemanusiaan kaum pekerja), solidaritas internasional (pemahaman bahwa yang dihadapi adalah sistem global), dan perjuangan melawan militerisme (yang dipergunakan untuk menindas aksi-aksi buruh) Tapi apakah setiap aksi May Day mampu memperjelas esensi dari 3 tuntutan fundamental itu? Jawabnya sangat tergantung pada strategi yang dipergunakan gerakan sosial, khususnya gerakan buruh, untuk mematrikan kesadaran itu di tingkatan massa, lewat berbagai jalur namun muaranya satu: terciptanya kesadaran kelas.
Justru strategi pembentukan kesadaran itu lah yang pertama kali dipilih oleh gerakan rakyat pekerja di Australia pada tahun 1856 seperti yang dicatat Luxemburg. Merayakan dengan kegembiraan dilakukan dalam bentuk rapat-rapat akbar dan berbagai hiburan telah menyatukan kerumunan massa dalam sentimen politik kelas yang berkesan mendalam. Kegembiraan yang menyebarkan energi keberanian dan pengenalan diri sendiri dalam identitas kesatuan sebagai kelas sosial yang berjuang melawan "nasib" ketertindasan. Akibatnya dia efektif bergulir terus dan tidak berhenti dipraktekan hanya di Australia, tapi jadi perayaan kaum buruh secara Internasional.
Semakin banyak orang yang berkumpul semakin meriah kegembiraan yang tercipta dari perayaan May Day. "The More The Merrier" begitu kata ungkapan bahasa Inggris, dan kegembiraan memudahkan berkembangnya aneka ragam ekspresi perlawanan kelas yang tidak melulu berbentuk agitasi politik secara vulgar. Membatasi terbangunnya budaya ekspresif dari aksi massa populer seperti May Day maka kekuatan konservatif dan reaksioner mencoba menghentikannya dengan 2 cara: pelarangan dan depolitisasi perayaan May Day. Pelarangan diharapkan menciptakan rasa takut yang menular dan akhirnya ditinggalkan oleh massa rakyat pekerja, sementara depolitisasi mengambil berbagai bentuk yang berusaha menjadikan May Day sekedar ritual/upacara tapi bukan lagi medium ekspresi politik kelas. Sejarah menunjukkan salah satu taktik yang umum diterapkan adalah meliburkan buruh pada saat May Day, libur yang diharapkan justru dipergunakan untuk kegiatan apa pun yang tidak politis.
Tampaknya belum ada yang telah menganalisa energi politik sekaligus kegembiraan yang bisa ditangkap dari momentum perayaan May Day -- terutama 2006 yang besar sekali dalam ukuran massa.Menunjukkan tidak ada yang sudah siap memahami kesadaran massa sebagai sebuah dimensi yang menyejarah. Akibatnya ketika secara empiris hingga hari ini tidak ada gejolak aksi buruh yang mengelegak seperti yang terjadi tahun lalu maka sedikit orang ingat arti penting energi kegembiraan dalam momentum perayaan May Day. Banyak pimpinan buruh sudah pesimis dengan kemungkinan membesarnya aksi May Day, walau menyadari bahwa semua agenda musuh yang berkeinginan melegalkan penataan penindasan buruh supaya lebih sesuai dengan reformasi 'neoliberal' ternyata terus berjalan. Bahkan ada statement "May Day 2006 terjadi karena serikat buruh konservatif lah yang memulai mengagitasi massa, dan kini mereka tidak melakukannya lagi sehingga peluang terulang kembali menjadi kecil"
Pertanyaan yang tidak (mau) dijawab adalah: "Apakah massa buruh memiliki memori/ingatan yang tersambung dengan kenangannya akan May Day yang fenomenal tahun lalu?" Tidak dijawab karena tidak ada yang tahu jawabannya dan bagaimana menemukan jawabannya. Waktu dibiarkan terus mengerogoti ke batas waktu hari-H tanggal 1 May. Bukti pasti memang tidak bisa didapatkan kecuali dengan melakukan pengukuran, tapi yang pasti orang/massa bisa lupa ketika tidak ada usaha mengingat apa yang pernah menjadi suatu kesadaran. Tugas dari Organisasi Politik Kelas Pekerja seperti PRP adalah bekerja dengan kesadaran massa yang menyejarah itu.
Bagaimana Membangun Ingatan Politik Kelas
Kita percaya bahwa Rakyat Pekerja seperti juga pengertian Proletar sesungguhnya memiliki pengertian yang tidak terbatas pada buruh saja. Unsur yang harus paling maju adalah elemen buruh karena secara potensial berkonfrontasi paling intensif dengan kapitalisme di proses produksi. Hanya saja mensimplifikasi posisi hirarkis (paling maju, paling baru, paling rentan, dll) diantara elemen rakyat pekerja memiliki implikasi yang fatalis juga. Kita tetap harus memperhatikan relasi konkret antara kapasitas politik dari masing-masing organisasi sektor (pembagian elemen rakyat pekerja berdasarkan tipe keterkaitannya dengan produksi) dengan dinamika perubahan konteks sosial politik yang terjadi.
Umumnya dulu praktek yang umum adalah memposisikan elemen sektor-sektor non buruh (dan tani) sebagai kelompok yang harus mendampingi/mengadvokasi/mensupport mobilisasi aksi buruh (dan tani) Ketika konteks sosial politik berubah, jarang ada revisi dari strategi lama gerakan "pendampingan". Implikasinya bisa akut dalam kesadaran yang menganggap formasi kelas sosial -- dalam hal ini kelas pekerja -- bukan lah proses yang menyejarah dan beririsan dengan berbagai dimensi lain yang umumnya melibatkan pengalaman bersama/kolektif menghadapi situasi politik yang konkret. Akibatnya terbina lah kesadaran bahwa Mahasiswa, Intelektual, Pemuda -- dan macam-macam kategori yang bermunculan dalam sejarah -- bukan lah bagian dari formasi kelas pekerja. Kelas pekerja secara reduksionis disempitkan dalam pemahaman non Marxis yaitu sebagai posisi sosial dalam proses produksi (buruh atau pengusaha) dan bukan berangkat dari pengertian mengenai relasi sosial produksi dan formasi kelas yang menyejarah karena pengalamana bersama.
Jadi bisa kita periksa kegagapan gerakan buruh ketika berhadapan dengan reaksi propaganda balik dari rejim tahun 2006 yang menyatakan "tuntutan menolak pasar tenaga kerja yang fleksibel adalah sikap egois kaum buruh karena membatasi jumlah penyerapan tenaga kerja baru" Dalam asumsi paradigmatik rejim borjuis, krisis ekonomi bisa diatasi bila aturan ketenagakerjaan lebih kompromistis dengan keinginan modal yang menghendaki dikuranginya perlindungan kepastian hubungan kerja ( diperkenankan secara luas sistem outsourcing dan sistem kontrak) Seolah peran pengorbanan di lapangan politik ketenagakerjaan itu akan menjadi solusi yang adil bagi semua dan pada gilirannya akan menghasilkan kesejahteraan buat semua. Kita semua tahu itu tidak mungkin terjadi kalau kaum buruh bukan lah kekuatan politik yang memiliki posisi tawar yang sebanding dengan kaum borjuasi dan negara yang dikuasainya. Tapi tetap saja gerakan buruh tidak bisa mempropagankan secara luas seperti apa solusi tandingan yang bisa memberikan keadilan bagi kelas-kelas sosial lain -- termasuk bagi kelas buruh sendiri yang banyak anggotanya kehilangan pegangan karena diterjang fenomena PHK massal yang terus menerus. Ada persoalan dalam "Soal apa yang dipropagandakan" dan "Taktik-taktik propaganda"
Bila kita mau merubah cara pandang dan tindakan, maka jelas solusinya ada pada peningkatan peran elemen-elemen kelas buruh di ruang-ruang yang lebih luas dengan taktik yang lebih variatif pula. Bukan lagi pakai taktik mahasiswa sebagai tenaga mobilisasi untuk aksi, yang sekarang telah dikuasai dengan baik fungsinya oleh serikat buruh, tapi melibatkan mahasiswa untuk mengalami politisasi dan ideologisasi politik kelas pekerja. Begitu juga dengan elemen lain; seperti Pemuda, dan lain-lainnya yang umumnya berlokasi sosial di komunitas pemukiman.
Cara yang bergembira dan bersemangat, umumnya difasilitasi cara-cara kebudayaan/kesenian, akan menjadi alat propaganda politik kelas yang menunjukkan perlunya memberi ruang kepemimpinan politik pada kelas sosial selain borjuis. Masyarakat bisa diajak melihat kontras antara politik borjuis dan alternatif yang diusung politik kelas pekerja. Sangat relevan bila bisa mengagitasi perihal situasi sosial dan politik yang dihasilkan komposisi rejim yang dipenuhi para borjuis konglemerat: mulai dari Jusuf Kalla, Aburizal Bakrie, hingga ketua DPR Agung Laksono. Rejim politik kendaraan pengusaha ini menunjukkan ketidak pedulian pada nasib buruh, keterpurukan industri dan produksi nasional, bencana alam mau pun bencana akibat bobroknya industri jasa kita yang serakah tapi mengabaikan keselamatan konsumen mau pun lingkungan.
Kader-kader PRP harus mendorong agitasi yang massif dengan mempergunakan contoh kegagalan politik borjuasi. Taktiknya tidak harus monoton melalui aksi massa saja, tapi bisa juga dengan menggerakan perayaan-perayaan kecil di tingkat komunitas dalam memperingati May Day. Kalau hari raya keagamaan boleh dirayakan di komunitas oleh para penganutnya, maka pekerja dan pencari kerja juga berhak merayakan hari raya kelas pekerja. Bukan kah di komunitas pemukiman banyak kaum pekerja? Bukan kah keresahan kaum pekerja tidak hanya dirasakan di tempat kerjanya, tapi dibawa rasa itu juga ketika berada di angkutan umum, di lingkungan tempat tinggalnya, dan di berbagai ruang publik lainnya.
Metode pun harus didorong untuk membuka ruang buat eksperimen-eksperimen yang kreatif. Terbuka kesempatan mempraktekkan beragam perangkat kesenian: mulai dari seni pertunjukkan (bisa diusung para pemuda dan mahasiswa dengan mengamen dan mentas di ruang-ruang publik), seni rupa (lukisan dan aksi2x graviti yang mengekspresikan sentimen kekecewaan terhadap politik borjuis yang sekarang mendominasi). Puncak jangka dekatnya semua elemen rakyat pekerja yang terorganisir: mulai dari buruh pabrik, pemuda miskin kota di komunitas pemukiman, mahasiswa progresif, hingga intelektual kerakyatan yang banyak mengadu nasib di LSM2x; harus mensukseskan Mayday sebagai hari yang diwarnai dengan perayaan yang menghasilkan energi bergembira dan semangat. Tidak perlu terpaku pada jumlah peserta aksi -- yang belum bisa kita pastikan sekarang -- tapi dengan menunjukkan kepada khalayak umum bahwa tahun 2007 pun May Day masih dirayakan dengan bersemangat, dengan penampilan2x baru yang kreatif, maka dia bisa direspon simpatik sebagai Pawai Rakyat yang meluas dan membangkitakan harapan tentang berjayanya politik kelas pekerja yang lebih menjanjikan kesetaraan dan keadilan sosial.
Semoga, dan ayo kita bersiap
Friday, March 30, 2007
Menyambut Mayday 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)





















No comments:
Post a Comment