Momentum

MAYDAY 2007

Wednesday, April 18, 2007

Just Sit on One Chair

Bantahan Terhadap Juru Bicara Sang Presiden

Ign Mahendra K*


In principle the war effort is always plan to keep society on the brink of starvation. The war is wage by a ruling group against its own subject and its object is not a victory over either Eurasia or East Asia but to keep the very structure of society intact(George Orwell)

Pada hari sabtu kemarin (24 Maret) Dewan Kemanan PBB akhirnya menyepakati penjatuhan sanksi bagi Iran. Sanksi tersebut dijatuhkan setelah Iran menolak menghentikan progam nuklirnya. Dewan Keamanan PBB sendiri terdiri dari 15 Negara yaitu; AS, Inggris, Perancis, Rusia, Cina, Indonesia, Afrika Selatan, Qatar, Italia, Belgia, Slovakia, Panama, Peru, Ghana dan Kongo. Sanksi PBB (Resolusi No 1747) tersebut meliputi: penghentian semua aktivitas pengayaan dan pengolahan ulang uranium; pembekuan aset 28 kelompok usaha, perusahaan dan individu yang mendukung aktivitas nuklir atau pembuatan rudal balistik Iran; embargo ekspor dan impor senjata konvensional Iran; embargo bantuan keuangan internasional kecuali bantuan kemanusiaan; larangan berpergian terhadap seluruh pejabat nuklir Iran dan mengizinkan tindakan sepihak dari Negara anggota PBB kecuali aksi militer terhadap Iran. Sanksi ini merupakan sanksi lanjutan atas sanksi pertama yang dijatuhkan pada Desember lalu.

Menurut pernyataan Wakil Tetap RI untuk PBB, Rezlan Ishar Jenie, Indonesia setuju dengan resolusi tersebut karena sanksi yang diterapkan dalam resolusi tersebut bersifat bertahap. Perubahan ataupun penghentian penerapan sanksi tersebut dapat terjadi jika Iran melakukan langkah-langkah yang diminta oleh resolusi. Langkah-langkah yang diminta oleh resolusi tersebut adalah agar Iran menghentikan pengayaan uranium. Dukungan Indonesia tersebut kemudian diperkuat oleh Juru Bicara Sang Presiden, Dino Patti Djalal di Kompas tanggal 28 Maret 2007. Dari argumentasi yang diajukan oleh Juru Bicara Sang Presiden ada enam poin analisa dasar yang diajukan. Pertama, kepercayaan masyarakat internasional terhadap Iran sangat lemah; kedua, Iran harus berusaha agar masyarakat internasional mempercayainya; ketiga, Ini bukan masalah membela Negara-negara Islam; keempat, bagaimanapun juga resolusi tersebut pasti akan disetujui, baik melalui keputusan konsensus ataupun pemungutan suara; kelima, Oleh karena itu lebih baik mendukung resolusi tersebut agar dapat memasukan program strategis, salah satunya Daerah Bebas Nuklir di Timur Tengah; dan terakhir, International Atomic Energy Agency (IAEA), lembaga yang legitimate berkenaan dengan program nuklir, belum dapat memberikan jaminan bahwa program nuklir Iran bertujuan damai.

Program Nuklir Iran

Tidak ada bukti yang menunjukan bahwa Iran mengembangkan – ataupun memiliki kemampuan untuk mengembangkan – senjata nuklir. Hal tersebut didukung oleh pernyataan berbagai pihak. Mohammed El Baradei, kepala International Atomic Energy Agency (IAEA) PBB, yang telah menginspeksi Iran selama beberapa tahun, menunjukan bahwa IAEA tidak menemukan bukti bahwa Iran mencoba membangun senjata nuklir. (Financial Times, Dec. 10/11, 2005)

Oxford Researche Group menyatakan bahwa setidaknya dibutuhkan waktu 5 tahun jika Iran ingin mengembangkan senjata nuklir. Data-data intelijen menyatakan dibutuhkan waktu 3 hingga 10 tahun bagi Iran hanya untuk mendekati kemampuan membuat senjata nuklir. Bahkan Kepala Staf Angkatan Bersenjata Israel, Daniel Halutz memperkirakan baru antara tahun 2008 hingga 2015 Iran dapat mengembangkan senjata nuklir.

Los Angels Times tanggal 4 Februari 2007 melaporkan bahwa Iran mengundang diplomat – termasuk dari Amerika Serikat dan Uni Eropa – dan jurnalis untuk berkunjung ke pembangkit listrik tenaga nuklirnya. Diplomat yang ikut dalam kunjungan tersebut berasal dari Gerakan Non Blok, G-77 dan Liga Arab. Rencana pembangunan beberapa pembangkit listrik tenaga nuklir Iran sendiri justru ditopang oleh kerjasama internasional. Bahkan Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Iran, Hamid Reza Asefi, dalam sebuah konfrensi pers menyatakan Amerika Serikat dapat terlibat dalam program internasional untuk membangun pembangkit listrik tenaga nuklir Iran. Usaha Iran tersebut ditolak mentah-mentah oleh White House, dengan menyatakan bahwa hal tersebut adalah tipuan belaka. Melibatkan Negara lain, apalagi penyerang utamanya, merupakan langkah yang bertentangan – bunuh diri – bagi sebuah Negara yang ingin membangun senjata nuklir.

Dalam Traktat Non-Proliferasi dinyatakan bahwa semua Negara yang tergabung didalamnya berhak untuk melaksanakan program nuklir dengan tujuan damai. Presiden Iran, Ahmadinejad, pada bulan April 2006 mengumumkan bahwa Iran telah berhasil memperkaya uranium. Pengayaan uranium sendiri tidak berarti mengembangkan senjata nuklir. Proses pembangkit listrik tenaga nuklir juga membutuhkan pengayaan uranium. Resolusi PBB yang menuntut Iran menghentikan aktivitas pengayaan uraniumnya jelas tidak mungkin diterima oleh Iran. Sebagai Negara berdaulat dan anggota Traktat Non-Proliferasi, Iran hanya menjalankan apa yang menjadi haknya. Hak tersebut juga telah dijalankan oleh puluhan Negara yang membangun pembangkit listrik tenaga nuklir dan tergabung dalam Trakta Non-Proliferasi. Resolusi tersebut menerapkan double standard karena hanya berlaku atas Iran.

Fabrication of Proof (Belajar Dari Sejarah)

Mari kita ingat kembali Invasi AS dan Coalition of the Willing ke Irak pada tanggal 19 Maret 2003. Alasan penyerbuan tersebut adalah Irak memiliki Weapon of Mass Destruction. Namun pada bulan Februari 2001 ketika Bush Junior baru naik ke tahta (dengan kontroversi hasil pemilihan di Negara Bagian Florida), Collin Powel – saat itu menjabat sebagai Menteri Luar Negeri, berpidato bahwa Irak tidak mengembangkan Weapon of Mass Destruction. Pernyataan tersebut diperkuat oleh Condoleeza Rice pada bulan Juli 2001 bahwa Irak tidak membangun kembali kekuatan militernya.

Namun keadaan berbalik paska tragedi 11 September. Kampanye yang dilakukan oleh Rejim George W Bush dan Tony Blair menyatakan bahwa Irak memiliki Weapon of Mass Destruction. Mereka bahkan menunjukan dokumen yang menyatakan Saddam Husein membeli uranium dari Nigeria. Namun Mohammed El Baradei, kepala International Atomic Energy Agency (IAEA) PBB pada bulan Maret 2003 menyatakan bahwa dokumen tersebut palsu.
Invasi tersebut tetap dilakukan dan ironinya hingga hari ini kepemilikan Irak atas Weapon of Mass Destruction tidak pernah terbukti. Kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh Rejim George W Bush, Tony Blair serta Rejim-rejim dalam Coalition of the Willing menimbulkan korban lebih dari 250.000 rakyat Irak terbunuh dan 20.000 korban dari pihak AS, kurang lebih 30.000 veteran perang AS mengalami gangguan mental. Kejahatan tersebut sampai saat ini tidak pernah diajukan ke Mahkamah Internasional.

Dalam ketegangan dengan Iran, bukti-bukti yang diajukan Amerika Serikat sangat meragukan. Bahkan Washington Post pada tanggal 2 Agustus 2005 menuliskan bahwa laporan intelijen AS bertolak belakang dengan apa yang dikampanyekan oleh Rejim George W Bush. Laporan intelijen tersebut menyatakan bahwa setidaknya dibutuhkan satu dekade bagi Iran untuk bisa mendapatkan bagian kunci dalam pembuatan senjata nuklir. PBB juga meragukan bukti yang diajukan Amerika Serikat. Tidak satupun bukti yang diajukan oleh Intelijen AS dan Negara-negara Barat sejak tahun 2002 kepada IAEA menunjukan bahwa Iran mengembangkan senjata nuklir. (Los Angels Times, 25 Februari 2007)

Metode mengajukan penipuan publik – bukti-bukti palsu –, black propaganda melalui media untuk menjadi landasan sanksi “legal” dari PBB dan kemudian digunakan sebagai legitimasi penggunaan kekuatan militer menjadi metode Imperialis dalam Invasi Irak. Kita sekarang melihat proses pengulangannya dalam kasus Iran. Tentu saja serangan militer ke Iran akan menimbulkan konsekwensi militer, ekonomi dan politik yang jauh lebih besar dibanding Invasi Irak. Kekuatan militer Iran jauh diatas Irak, terdiri dari 350.000 tentara (data tahun 2003). Didalamnya terdapat Revolutionary Guard (125.000), angkatan udara (52.000) dan angkatan laut (18.000). Dengan tambahan 300.000 orang yang terdaftar dalam tentara cadangan, Basij.

Penyerangan militer terhadap Iran akan meningkatkan konstelasi politik di Timur Tengah. Negara-negara Timur Tengah pro AS akan menghadapi serangan masif dari kelompok anti AS – yang bisa berujung pada penggulingan rejim-rejim di Negara tersebut. Kelompok Suni di Irak kemungkinan besar akan berbalik mendukung Iran dan menyerang AS. Yang akibatnya akan semakin melemahkan – bahkan menghancurkan – posisi AS dan Coalition of the Willing di Irak. Protes akan muncul dari gerakan Islam dan gerakan anti perang di Negara-negara dunia ketiga dan Negara-negara Imperialis utama.

Bapak Juru Bicara Sang Presiden, anda benar untuk satu hal bahwa ini bukan masalah membela Negara Islam. Memahamai kontradiksi global tidak semudah mengetahui apa agama yang dianut. Benar bahwa Iran Negara Islam, namun karakteristik tersebut sama sekali tidak berarti bahwa “Clash of Civilization” terjadi. Ataupun logika salah kaprah bahwa jika Negara Islam mendukung resolusi maka Indonesia harus ikut mendukung. Seperti saat Invasi Israel ke Lebanon pada tahun 2006 lalu. Sikap Negara-negara Timur Tengah yang mayoritas Islam juga terpecah. Memang tidak ada satupun yang menyatakan mendukung Israel, namun jelas hanya Iran, Syriah, Yaman dan Aljazair yang mendukung dengan tegas hak rakyat Lebanon dan Hizbulloh untuk membela diri.

Kontradiksi global saat ini bukan berdasarkan agama ataupun ras namun klas dan negara. Persoalan klas dan Negara tersebut termanifestkan dalam bentuk kebijakan-kebijakan yang diambil didalam negeri, hubungan antar Negara dan berbagai gerakan perlawanan. Dalam peta politik Timur Tengah, jalan menuju penguasaan penuh – terutama minyak bumi - Timur Tengah oleh Amerika Serikat dan Israel dihalangi oleh dua faktor yaitu; Negara-negara Independen serta gerakan rakyat. Negara-negara Independen tersebut adalah; Iran dan Syria sedangkan gerakan rakyat yang kuat adalah Hizbullah serta gerakan rakyat Palestina – terutama Hamas.

Iran sebagai penghalang sudah dinyatakan sejak tahun 2002 oleh PM Israel Ariel Sharon. Pada tanggal 8 November 2002, dalam wawancaranya dengan The New York Times, Sharon menyatakan bahwa setelah perang Irak, Israel akan mendorong AS untuk menekan Iran. George W Bush pun mengambil metode yang sama seperti sebelum menginvasi Irak. Dia berkampanye bahwa Iran memiliki senjata nuklir dan dunia harus bersatu – dibawah kepemimpinan dia tentunya – untuk – dalam tahap awal – mengisolasi Iran.

Politik Luar Negeri Mendua

Pada tanggal 20 November 2006 lalu, George W Bush, datang ke Istana Bogor. Rejim SBY-Kalla menyambutnya dengan “karpet miliaran rupiah”, sambil menyatakan bahwa “karpet” tersebut menunjukan Indonesia tuan rumah yang baik. Dukungan Indonesia terhadap resolusi PBB diatas semakin menjelaskan posisi Indonesia dipercaturan politik internasional. Apakah kita seorang tuan rumah ataukah sekedar hamba?
Sikap Indonesia jelas sekali ambigu, disatu sisi mendukung hak semua Negara Traktat Non-Proliferasi untuk membangun, melakukan penelitian, memproduksi, serta menggunakan energi nuklirnya untuk tujuan damai. Namun disisi yang lainnya mendukung sanksi PBB terhadap Iran karena menjalankan hak tersebut. Pemberian dukungan dengan alasan untuk memasukan hal-hal strategis seperti Daerah Bebas Nuklir di Timur Tengah akan berakhir buntu. Resolusi semacam itu akan ditentang oleh Israel, sebagai satu-satunya Negara yang memiliki senjata nuklir di kawasan Timur Tengah. Pada akhirnya, sejarah sudah menunjukan bahwa semua resolusi yang merugikan Israel akan diveto oleh AS.

Secara internal tidak ada keuntungan yang akan didapatkan oleh Indonesia jika mendukung resolusi tersebut. Perdamaian di Timur Tengah juga tidak dapat terwujud jika kepentingan Negara Imperialis AS dan Israel terus dibela. Tidak ada faktor yang begitu kuat dalam menentukan sikap ambigu semacam itu selain ketergantungan dan ketakutan terhadap Imperialis AS dan Israel.

Just Sit on One Chair adalah kalimat yang diajarkan oleh seorang Guru bahasa Inggris kepada keponakan saya yang masih SD. Kalimat tersebut bermakna jika kau duduk dengan dua kursi maka kau akan jatuh terjepit diantaranya. Kebijakan luar negeri yang bermuka dua hanya akan mengakibatkan Indonesia jatuh terjembab dan terseret oleh kemauan Negara-negara Imperialis.

Penolakan Iran terhadap resolusi tersebut menunjukan bahwa Iran adalah Negara Independen. Kedepannya, jika serangan militer terhadap Iran terjadi – kemungkinan besar akan terjadi karena Iran menolak mematuhi resolusi PBB – maka Rejim SBY-Kalla pun bertanggung jawab. Karena Indonesia telah mendukung resolusi yang digunakan sebagai legitimasi Invasi ke Irak. Indonesia harus bersikap tegas terhadap segala upaya Imperialis dalam memperbesar penindasannya.

*Ketua KMSY dan anggota PRP Komite Kota Yogyakarta

No comments: