Momentum

MAYDAY 2007

Tuesday, April 24, 2007

Merayakan Hari Bumi

Ken Budha Kusumandaru*

Ada sebuah anekdot: Satu kali seorang guru bertanya, “Anak-anak, tahukah kalian berapa umur Bumi?” Para murid menjawab, “Tidak tahu, pak.” Si guru menyahut, “Empat milyar tahun, anak-anak.” Seorang anak kemudian mengacungkan tangan, “Memangnya kapan Bumi ulang tahun, pak?”

Perayaan Hari Bumi memang ditujukan agar umat manusia ingat bahwa (setidaknya sampai hari ini) kita hanya punya satu planet yang bisa didiami manusia – Bumi. Berhasil atau tidaknya manusia meneruskan keturunannya akan sangat ditentukan oleh keberhasilan manusia dalam memelihara tempat tinggalnya. Jika Bumi hancur, tamat pulalah riwayat Manusia di bumi ini, barangkali beserta segala jenis kehidupan yang ada bersamanya.

Oleh karena itu, sangat tepat apabila pada Hari Bumi kita merenungkan kembali perjalanan Bumi ini, sejak terbentuknya dari kumpulan gas-gas dan plasma panas, sampai saat munculnya kehidupan di atas muka bumi, sampai saat manusia pertama kali menorehkan sejarahnya, membangun peradaban dan maju setapak demi setapak ke tingkatan sekarang, di mana nasib Bumi tergantung pada kemauan dan kehendak bebas manusia itu sendiri.

Kita perlu memiliki pemahaman yang lengkap tentang sejarah Bumi ini supaya tidak terjebak pada isu-isu yang kedengarannya gagah, tapi sesungguhnya mengandung mudharat yang sama banyak dengan manfaatnya – misalnya saja seruan untuk “Jeda Tebang” yang banyak dikemukakan kelompok-kelompok pecinta lingkungan. Jeda Tebang memang, sepintas lalu, sangat menguntungkan bagi kelestarian lingkungan karena memberi kesempatan agar pepohonan bisa tumbuh kembali secara alami. Tapi, bagaimana nasib para buruh yang hidup dari industri penebangan kayu? Kayu merupakan salah satu produk non-migas terbesar di negeri ini, praktis begitu banyak buruh yang bekerja dalam salah satu industri perkayuan. Harus ke mana mereka jika Jeda Tebang diberlakukan?

Benar, manusia telah banyak melakukan perusakan di atas muka bumi ini semenjak ia memutuskan untuk tidak lagi tunduk pada kehendak alam, melainkan berjuang untuk mengubah alam sesuai dengan keperluannya sendiri. Semenjak kemunculan masyarakat bertani, rekayasa terhadap alam dimulai. Masyarakat bertani pula yang memunculkan ideologi pertama yang membenarkan upaya manusia mengubah alam – agama. Dari mulai agama-agama primitif yang dianut peradaban-peradaban kuno, sampai agama-agama modern, semua menempatkan manusia sebagai penguasa semesta. Dan, sebagai penguasa, ia berhak memperlakukan alam sekehendaknya sendiri. Pemahaman bahwa manusia adalah Khalifah merupakan salah satu sumber utama perusakan di atas muka Bumi ini – karena ia hanya diperintahkan untuk memanfaatkan, bukan merawat dan melestarikan.

Pertanian dan agama muncul dalam pertaliannya dengan masyarakat berkelas. Umat manusia melakukan penindasan dan penghisapan atas alam. Tapi, di tengah masyarakat manusia itu sendiri terjadi penindasan dan penghisapan satu manusia atas manusia lain. Ketika manusia membenarkan penindasan dan penghisapan – atas nama apapun – ia akan menerapkan kedua hal ini pada segala macam hal. Termasuk pada alam, pada Bumi.

Upaya untuk mengembalikan daya dukung Bumi terhadap kehidupan yang bernaung padanya tidak dapat dilepaskan dari upaya untuk menghapuskan ideologi yang membenarkan terjadinya penindasan dan penghisapan. Panji-panji perang kita seharusnya adalah “Hapuskan penindasan atas Bumi, hapuskan penindasan atas Manusia!”

Di sinilah relevansinya sosialisme. Sosialisme bukan sebuah ideologi mileniumisme – yang menyuruh orang untuk duduk tenang menunggu datangnya Juru Selamat dan pembebasan. Sosialisme adalah ideologi yang harus menggerakkan orang untuk mencari cara-cara untuk mulai menghapuskan penindasan dan penghisapan. Sosialisme memahami bahwa penindasan dan penghisapan muncul dari sebuah kondisi sejarah tertentu. Untuk menghapuskan kedua hal itu,dibutuhkan perubahan dalam kondisi sejarah. Perubahan inilah yang harus diupayakan ketika rakyat pekerja duduk di tampuk kekuasaan. Ketika jabatan-jabatan dalam pemerintahan dipegang oleh para buruh, tani, nelayan dan kaum miskin perkotaan yang selama ini terpinggirkan.

Rakyat pekerjalah yang sekarang ini dipaksa oleh kapitalis untuk merusak alam – demi keuntungan dan pengerukan kekayaan oleh kapitalis, bukan untuk kemakmuran rakyat pekerja itu. Dan ketika alam mengalami kerusakan, lagi-lagi rakyat pekerja itulah yang menanggung akibat perusakan yang dilakukannya. Misalnya ketika berhadapan dengan pencemaran, orang-orang kaya bisa membeli AC anti debu dan kuman, atau berekreasi ke tempat-tempat yang belum tercemar – sementara rakyat pekerja dipaksa menghirup pencemaran seumur hidupnya. Bahkan, ketika upaya-upaya pelestarian lingkungan hidup diusung oleh kelompok-kelompok “pecinta lingkungan” (yang notabene mayoritas berasal dari kelas menengah), nasib rakyat pekerja ini juga dikorbankan demi tercapainya “kelestarian”.

Bukankah jauh lebih baik jika kelompok-kelompok lingkungan bekerja sama dengan para buruh di industri perkayuan dan kehutanan (termasuk produk-produk turunannya seperti pulp dan kertas), memberi pencerahan mengenai peran yang dapat mereka lakukan untuk bersama-sama melestarikan alam. Memangnya kenapa kalau buruh perkayuan mogok untuk menentang pembalakan liar? Bukankah keren jika buruh-buruh perkayuan berjuang demi peremajaan kayu hutan? Karena semua ini berarti tercapainya keberlangsungan industri dalam jangka panjang.

Maniesto Ekonomi PRP telah menyatakan bahwa kapitalisme Indonesia tidak berkepentingan untuk menjaga keberlangsungan industri karena mereka bermental kolonial –mengeduk keuntungan dalam waktu cepat lalu pergi ketika sumberdaya sudah hampir habis,membiarkan kerusakan lingkungan di-“nikmati” oleh warga setempat. Hanya buruh yang memiliki kepentingan untuk menjaga agar industri tetap dapat dijalankan dalam jangka waktu panjang, karena itu berarti jaminan keamanan dan kepastian kerja.

Tanpa membasiskan perjuangannya pada gerakan pembebasan rakyat pekerja secara umum, gerakan lingkungan menanggung resiko untuk keliru jalan, mengambil pilihan yang menguntungkan lingkungan, tapi merugikan prikehidupan rakyat pekerja – sedangkan tadinya pasti kemakmuran rakyat semesta inilah yang menjadi tujuan gerakan-gerakan lingkungan. Jadi, mereka yang seharusnya diuntungkan oleh adanya gerakan lingkungan, justru jatuh rudin karena kesalahan dalam memilih arah perjuangan.

Mendudukkan rakyat pekerja (buruh, tani, nelayan, kaum miskin perkotaan) di tampuk kekuasaan adalah syarat perlu untuk dimulainya upaya yang sungguh-sungguh untuk meraih kemakmuran rakyat dan kelestarian Bumi. Di sinilah peran gerakan-gerakan lingkungan untuk mendidik serikat-serikat buruh dalam isu-isu lingkungan, dan mendukung perjuangan buruh yang berkaitan langsung dengan isu lingkungan menjadi amat penting. Tanpa kesatuan antara gerakan lingkungan dan gerakan buruh, benturan yang terjadi – sangat mungkin – akan merugikan kedua belah pihak dan membuat kaum kapitalis bertepuk tangan. Kita jelas tidak menginginkan itu terjadi.

Selamat Hari Bumi, selamat merayakannya bersama seluruh rakyat pekerja.

Jakarta, 23 April 2007

*Ketua Divisi Pendidikan Komite Pusat PRP

No comments: