Momentum

MAYDAY 2007

Friday, April 13, 2007

Semangat Membara Tanpa Arah: Refleksi Gerakan Sosial Indonesia Pasca Soeharto

Anwar ”Sastro” Ma’ruf*

Pengantar

Tergulingnya Soeharto merupakan satu peristiwa yang telah lama ditunggu oleh mayoritas rakyat Indonesia. Bukan hanya ditunggu, melainkan diperjuangkan dengan air mata dan darah oleh begitu banyak orang. Bertahun-tahun, begitu banyak orang berjuang untuk menggusur tirani yang dibangun Soeharto. Berbagai macam cara telah diupayakan untuk menumbangkan kekuasaan Orde Baru. Kegagalan demi kegagalan ditemui dalam perjalanan panjang menuju penumbangan kekuasaan militer Soeharto. Dengan demikian, pernyataan Soeharto tanggal 21 Mei 1998, yang mengumumkan pengunduran dirinya, merupakan hujan yang sontak menyapu panas yang bertahun-tahun terik menyengat bangsa ini.

Kenyataan yang kasat mata bahwa pukulan mematikan atas rejim Soeharto datang dari sebuah mobilisasi massa yang berlangsung nyaris tiap hari, hampir di semua kota utama di negeri ini, membuahkan inspirasi tentang kekuatan sebuah gerakan massa. Tentu saja kita tidak boleh menutup mata, atau memakai kacamata kuda, bahwa semata gerakan massa itulah yang berhasil menumbangkan Soeharto. Namun, tidak pelak lagi, pertempuran-pertempuran jalanan, yang terjadi bahkan sampai di kota-kota kecil yang sebelumnya tidak terdengar memiliki tradisi gerakan massa, itulah yang telah mendorong krisis politik sampai ke tahap di mana mundurnya Soeharto merupakan satu hal yang tidak dapat lagi dihindarkan.

Inspirasi yang datang dari gerakan massa yang membahana menjelang tumbangnya Soeharto ini kemudian mendorong terjadinya adopsi terhadap metode ini oleh rakyat di hampir seluruh pelosok negeri pasca Orde Baru. Saat ini, tiap hari, tidak pernah absen berita tentang gerakan massa menghiasi televisi, surat kabar, atau radio. Di Jakarta dan sekitarnya, hampir tidak ada hari tanpa demo. Sampai-sampai kepolisian sudah membuat rambu: “Lalu-lintas dialihkan, ada demo” dengan bahan yang bagus dan kuat – satu pertanda bahwa kepolisian sendiri mengantisipasi gerakan massa sebagai salah satu fitur utama dari wajah sosial masyarakat Indonesia saat ini.

Watak Aneh Perkembangan Gerakan Massa Pasca Soeharto

Memang aneh. Pasca tumbangnya Soeharto, demonstrasi dan gerakan perlawanan massa berlangsung spontan di mana-mana. Demonstrasi, bahkan sampai tingkat yang sangat keras, telah diterima sampai lapisan masyarakat terbawah. Tanpa pengetahuan dan ketrampilan yang memadai untuk melancarkan perlawanan terorganisir, massa rakyat tetap mempercayai (barangkali sampai tingkat beriman) bahwa gerakan massa adalah cara terampuh agar hak-hak mereka dapat dipertahankan. Justru di tengah membaranya gerakan massa spontan di tengah berbagai lapisan massa rakyat, gerakan massa terorganisir justru mengalami pembusukan. Hampir semua organisasi massa besar, yang menjelang tumbangnya Soeharto mengambil peran yang penting, kini malah hancur berantakan. Satu persatu para pimpinan gerakan massa itu saling berselisih. Mulailah terjadi pemecatan-pemecatan, atau split di tengah berbagai organisasi.

Perpecahan di tengah gerakan massa terorganisir ini membuat momentum yang dihasilkan oleh perlawanan spontan massa rakyat menjadi terbuang percuma. Tenaga yang dihasilkan oleh perlawanan massa rakyat tidak dapat dikonversi menjadi sebentuk kemenangan demokrasi sejati bagi rakyat.

Di balik segala macam alasan yang diajukan orang mengenai mengapa mereka harus bercerai, kita sesungguhnya menemui satu titik persamaan: ketidaksepakatan mengenai tujuan perjuangan. Hampir semua organisasi bicara tentang demokrasi. Tapi tidak ada yang bicara kongkrit tentang demokrasi apa yang mereka inginkan. Begitu banyak organisasi gagal merumuskan secara rinci, demokrasi seperti apa yang mereka idamkan, jalan mana yang menurut mereka paling mungkin untuk mencapai kesejahteraan, dan (tentu saja) batasan kongkrit tentang kesejahteraan yang mereka kejar. Tujuan-tujuan dibuat sumir sehingga bebas diinterpretasikan siapa saja. Begitu terjadi ketidaksepakatan, tujuan ini tidak dapat menjadi alat pemersatu – justru menjadi alat pemecah-belah. Justru karena tujuan dirumuskan dengan sangat mengambang, idealis, bias dan mengawang-awang.

Sebelum Soeharto jatuh, barangkali tidak penting bagi banyak orang untuk bicara mengenai masa depan. Barangkali juga mereka terlalu takut untuk bermimpi. Bagi mereka, mungkin, “masa sekarang saja sudah terlalu berat, masih mau mimpi tentang masa depan.” Barangkali juga mereka lupa salah satu pesan terpenting Martin Luther King, martir pembebasan kaum kulit hitam Amerika itu, bahwa sandaran perjuangannya adalah mimpinya tentang kebebasan. “I had a dream,” demikian kalimat pertama ketika ia berpidato di hadapan 1,5 juta warga kulit hitam Amerika di Memphis. “Saya punya mimpi,” seru Martin Luther King, dan jutaan orang berbaris mengikutinya menggapai mimpi. Demi mimpi itu, jutaan orang berjuang sampai titik darah terakhir, dan kini mimpi itu telah terwujud walau belum sepenuhnya.

Karena tidak memiliki mimpi yang detil, tidak memiliki tujuan yang rinci, gerakan massa terorganisir di negeri ini terjebak dalam kerja-kerja jangka pendek. Kebanyakan organisasi hanya bertindak sebagai proyektor – dikerjakan hanya kalau bisa dijadikan proyek dan dibikinkan proposal. Orang dan organisasi tidak akan mengerjakan apa yang perlu untuk tercapainya tujuan mereka, melainkan apa yang bisa “diuangkan.”

Maka wajarlah bila sekarang ini, dimana organisasi-organisasi rakyat (buruh, tani, nelayan, perempuan, adat dan miskin kota) tumbuh dan berkembang, masih terkotak-kotak, kecil dan masih cenderung sektarian, juga mayoritas terpotong pada perjuangan normatif atau sosial ekonomi. Hal ini tidak dapat ditampik dari hegemoni ORBA yang melekat pada mayoritas pola mikir massa rakyat.

Selain pengorganisiran kerja-kerja organisasi dominasinya terkonsentrasi pada advokasi-advokasi baik ke anggota maupun advokasi kebijakan publik dan turunanya bukan pada bagaimana dapat terjadi perubahan struktural. Sebagai contoh; 1). Dalam advokasi keanggota; mempertahankan pekerjaan bila terjadi PHK (serikat buruh), bagaimana mendapatkan tanah garapan (serikat tani). 2). Dalam advokasi kebijakan; perlawanan atau penolakan terhadap UU perburuhan (revisi UUK), kebijakan UMK, PERPRES 36 dll. Dalam perlawanannya anggota memang selalu dilibatkan dalam aksi-aksi perlawanan. Celakanya dalam aksi-aksi massa terkadang yang jadi ukuran adalah berapa media massa yang meliput. Karena belum pada perubahan struktural.

Juga terjadi pembusukan dari para pemimpin yang mengaku pemimpin gerakan, yang cepat puas, mementingkan dirinya sendiri atau menganggap bahwa organisasi rakyat yang didirikan adalah kerajaan dirinya. Kalau ada kader yang berpikir maju ditendang atau tidak mendorong adanya kaderisasi yang melahirkan pemimpin dari massa, menjadikan organisasi rakyat hanya papan nama tidak butuh besar dalam hitungan massa (tidak mau mengorganisir secara serius), tidak dikenal dibasis massa dan lingkungan sekitarnya. Organisasi macam ini bukan organisasi gerakan, karena hanya dibuat cukup untuk legitimasi dalam mengakses proyek atau dana dari funding. Dan hanya mensejahterakan sekelompok kecil dari dana yang didapat dari luar. Maka organisasi macam ini jangan berharap jauh-jauh untuk merebut kekuasaan atau mensejahterakan massa rakyat. Tapi justru akan merusak atau membusukan sendiri pergerakan.

Maka pentingnya mimpi-mimpi atau masa depan sejati dalam memperjuangkan massa rakyat menuju kesejahteraan sejati sebagai landasan pijak agar kita tidak terjebak pada penyakit-penyakit gerakan yang semakin menjauhkan rakyat pekerja pada kekuasaan dan kesejahteraan sejati.

Di Tengah Kebangkitan kembali Gerakan Massa

Walau begitu carut-marutnya wajah gerakan massa terorganisir di negeri ini, hukum dialektika tidak dapat ditolak atau dihentikan. Di mana ada perpecahan, di situ juga akan lahir persatuan. Satu persatu, berbagai elemen rakyat kini menemukan satu elan baru, nafas baru, semangat baru untuk bersatu. Berbagai aliansi dibangun dengan menjadikan konsolidasi jangka panjang sebagai salah satu tiang pokoknya. Berbagai upaya unifikasi dikerjakan – sekalipun hasilnya beraneka ragam dan belum ada yang dapat dikatakan mencatat keberhasilan yang telak.

Elan baru inilah yang sayang sekali kalau sampai gagal lagi menghasilkan perubahan nasib bagi massa rakyat tertindas di negeri ini. Maka semangat ini harus dijaga. Bukan dengan mengobar-ngobarkannya terus-menerus, malah bisa cepat kehabisan bahan bakar. Namun dengan memberinya arah berjalan yang tepat. Sebuah kobar api yang terus bergerak dan bertambah besar karena ia bergerak sesuai sebuah koridor, sebuah lorong, yang telah dipancangkan sebelumnya.

Pelajaran yang telah kita dapat dari gerakan massa yang dahulu sanggup menumbangkan Soeharto, namun kemudian membusuk dengan sendirinya pasca Sang Jenderal Tersenyum, adalah: kita harus memiliki tujuan yang jelas, kongkrit, membumi, terpikir dengan rinci dan mencakup segala segi kemasyarakatan. Gerakan massa harus memiliki bayangan yang kongkrit, seperti apa masyarakat yang diinginkannya. Seperti cetak biru bagi sebuah gedung megah. Tentu saja di tengah pembangunan gedung itu, cetak biru itu akan mengalami perubahan di sana-sini. Tapi, tanpa cetak biru itu, musahil gedung itu akan berdiri.

Yang mau saya katakan adalah: gerakan massa harus memilih ideologinya. Sebuah gambaran jelas mengenai masa datang, sebuah mimpi yang akan diupayakan dan diperjuangkan melalui darah dan air mata. Darah dan air mata, toh tiap hari kita tumpahkan karena kita ditindas – mengapa tidak kita tumpahkan dalam perjuangan. Tanpa idelogi yang jelas, tanpa tata-berpikir dan tata gerak yang runtut dan rapi terjalin, gerakan massa akan terus terjebak dalam pertikaian-pertikaian remeh yang aneh itu.

Tapi, bukan sembarang ideologi yang dapat kita pilih, melainkan ideologi yang jelas berpihak pada massa rakyat pekerja – ideologi yang akan menempatkan buruh, tani, nelayan dan sektor-sekor miskin perkotaan menjadi para pengambil keputusan tertinggi di negeri ini. Bukan pengusaha, bukan tentara, bukan birokrat, bukan pula ulama, yang seharusnya memegang kekuasaan atas negeri ini. Tapi, demos kratein, kekuasaan massa rakyat, harus berarti rakyat jelatalah yang memegang kekuasaan tertinggi atas segala aspek ekonomi, sosial-politik dan budaya di negerinya sendiri.

Kemudian, perlunya memperkuat organisasi sektoral baik dari tingkat lokal sampai ke nasional. Kekuatan organisasi nasional (serikat buruh, serikat tani, serikat nelayan, yang didukung didalamnya dengan keseimbangan perempuan) sangatlah penting. Karena selain persatuan, agar gerak dan langgam kerja terstruktur dari tingkat kekuasaan terendah sampai kepusat. Artinya harus ada kepemimpinan secara politik yang dapat berhadap-hadapan dengan kekuasaan di tingkat level manapun. Termasuk mempersiapkan dirinya (baca kader) untuk siap duduk dalam kekuasaan. Organisasi rakyat harus dijadikan ruang untuk belajar politik yaitu dimulai dalam merumuskan cita-cita yang akan di capai, belajar demokrasi dan belajar tentang penguasaan ekonomi, sosial dan budaya. Disinilah penataan organisasi gerakan diuji, apakah akan mampu menata organisasinya atau tidak karena kalau tidak mampu tentunya akan terjadi kesemrawutan yang menghambat pada tahapan berikutnya.

Tentang kepemimpinan yang tidak boleh dilupakan oleh organisasi rakyat yang berbasiskan kelas pekerja (buruh, tani, nelayan) adalah dominasi kepemimpinan haruslah dari kelas tertindas itu sendiri. Yang terlatih dan teruji dalam disiplin, kolektifitas kerja dan yang meraskan ketertindasan langsung, tentunya sangat berbeda dengan borjuis kecil yang penuh dengan subyektifitas yang selama ini banyak terjangkit penyakit-penyakit gerakan. Hingga menghancurkan gerakan rakyat atau tidak mampu untuk mewujudkan cita-cita perjuangan sejati. Maka selain harus memberikan ruang dan mempersiapkan pemimpin-pemimpin yang lahir dari massa, penempatan dan pembagian peran yaitu kolaborasi antara pemimpin yang berasal atau berbasis kelas tertindas dengan intelektual harus diatur sedemikian rupa agar tidak terjebak pada dominasi yang tidak berpihak pada kelas tertindas.

Ketajaman analisa baik atas suatu kondisi (lokal – nasional – internasional) akan banyak menentukan, mempengaruhi kinerja dan kebijakan organisasi. Hal ini dibutuhkan dalam membaca momentum yang akan terus diciptakan oleh lawan (kelas pe,ilik modal dengan sistem dan kekuasaan) yang dapat kita pakai untuk mulai merajut menuju koalisi atau persatuan antar sektor.

Yang harus diingat, ketika terbentuk organisasi nasional sektoral yang kuat jangan sampai terjebak sektarian. Karena untuk mewujudkan cita-cita perjuangan tidaklah cukup dengan satu sektor saja, tetapi harus di pertemukan atau disatukanya organisasi rakyat pekerja (buruh, tani, nelayan dan rakyat tertindas lainya) dalam satu koalisi menuju front. Dan menyatukan bukan berarti mengambil pemimpinnya atau memotong saja tetapi harus mau bekerja keras atau mempunyai modal organisasi yang berbasis massa besar dan kuat pula. Padu-nya antar sektor juga harus digarap mulai dari bawah keatas dan atau sebaliknya atau bukan sekedar perkawinan elit, agar benar-benar kokoh dan kuat. Jika ini terwujud berarti pembentukan alat politik (partai) dalam merebut kekuasaan dapat dengan mudah dilampaui.

Jika ini telah terwujud, gerakan massa tidak akan sia-sia. Enerjinya akan tercurah, dan pengorbanan yang dipersembahkannya kelak akan membuahkan kesejahteraan sejati bagi diri mereka sendiri yang selama ini ditindas, dihisap dan dikorbankan demi kemewahan kaum elit.

Cimone, Akhir Mei 2006

Catatan: Makalah dipresentasikan dalam Diskusi Gerakan Sosial yang diselenggarakan Rumah Kiri dan Pergerakan di Sekretariat Pergerakan, Bandung, tanggal 1 Juni 2006.


*Koordinator Badan Pengurus Nasional Aliansi Buruh Menggugat (ABM), Ketua Umum Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI)dan anggota PRP Komite Kota Jakarta Raya

No comments: