Momentum

MAYDAY 2007

Tuesday, May 8, 2007

Bukan Reforma Agraria tapi Industrialisasi di Pedesaan

Ken Budha Kusumandaru*

Tanggapan terhadap Opini Usep di Kompas, 7 Mei 2007

Dalam artikel yang berjudul "Nasib Buruh dan Reforma Agraria" yang ditulis oleh Usep Setiawan di halaman Opini Kompas hari ini (7-5-07), termaktub satu pandangan bahwa perbaikan atas nasib buruh juga tergantung pada terlaksananya Reforma Agraria di pedesaan. Argumen dasar yang diajukan Sekjen KPA ini adalah bahwa industri yang kuat harus didukung oleh pertanian yang kuat, sedangkan asumsi yang ada di balik argumen ini adalah bahwa Reforma Agraria adalah syarat bagi terciptanya tatanan pertanian yang adil.

Aku berpendapat bahwa argumen dasar yang diajukan sudah tepat. Tidak mungkin menciptakan industri yang kuat tanpa pertanian yang kuat. Pembagian "desa" dan "kota" itu sendiri berakar pada pembagian peran (spesialisasi) di tengah masyarakat, antara mereka yang bekerja sebagai "non-food specialists" (pekerja yang khusus menghasilkan kebutuhan non-pangan) dengan "food producers" (penghasil pangan). Para penghasil pangan ini dituntut untuk terus meningkatkan produktivitas pertanian demi memberi makan orang-orang yang menghasilkan kebutuhan non-pangan. Proses "urbanisasi" sejatinya adalah sebuah proses berkembangnya jumlah dan pengaruh para "non-food specialists" ini. Inilah cikal-bakal munculnya "kota".

Walau demikian, seiring dengan berkembangnya teknologi, lama-kelamaan justru kota yang lebih berkembang daripada desa. Perlahan tapi pasti, pusat perkembangan teknologi pun bergeser dari desa menuju kota. Orang-orang kota, yang memiliki lebih banyak waktu luang dan bekerja dalam skala yang lebih masif daripada orang-orang desa, sanggup menciptakan perkembangan teknologi yang lebih maju. Sampai di satu titik, justru kota yang membawa teknologi yang diciptakannya kepada desa. Proses peralihan ini pertama kali dijumpai di Inggris, antara abad ke-16 sampai 18, dalam apa yang dikenal sebagai UU Domba. UU ini mengatur agar lahan-lahan pertanian diubah menjadi lahan penggembalaan domba, sebagai respon atas semakin meningkatnya industri wol di kota-kota. Kiranya, inilah salah satu titik awal di mana desa mulai diatur sedemikian rupa agar sesuai dengan kebutuhan kota.

Revolusi Industri (yang kebetulan juga dimulai di Inggris, akhir abad ke-18), merupakan satu "ratchet", yang mengunci arah perkembangan masyarakat ke satu arah saja: dominasi kota atas desa. Dimulailah era "industrialisasi pertanian", di mana pertanian tidak lagi dikelola dengan cara "desa", melainkan secara industrial, yakni secara "kota".

Desa tidak dapat mengejar perkembangan teknologi yang terjadi di kota karena pengelolaan pertanian dilakukan dalam unit-unit yang kecil (keluarga). Hasil yang diperoleh dari pengelolaan skala kecil ini tidak cukup memberi keleluasaan untuk terciptanya terobosan teknologi baru yang signifikan. Industrialisasi datang untuk menempa desa agar skala produksinya dilipatgandakan.

Penyelidikan sejarah inilah yang membuat kita harus mempertanyakan asumsi dasar yang dipakai Usep dalam memaparkan argumennya.

Pertanyaan yang terpenting adalah seperti apa "reformasi agraria" yang dibayangkannya? Apakah yang ia maksudkan adalah memecah-mecah tanah yang selama ini dikonsolidasi ke tangan kekuasaan kapital, dan membagikannya pada para petani kecil?

Kalau itu yang dimaksudnya dengan "reformasi agraria", aku pikir asumsi yang dipakainya keliru. Dengan memecah pengelolaan tanah menjadi unit-unit kecil, produktivitas akan sulit ditingkatkan. Bagaimana mungkin membangun sebuah pertanian yang kuat, yang sanggup menyokong industri yang kuat, seperti yang dicita-citakan dalam tulisan itu?

Lain halnya jika yang dimaksudkannya dengan "reformasi agraria" adalah mengambil alih kepemilikan lahan yang selama ini dikangkangi kapitalis, dan mengopernya ke tangan serikat-serikat tani. Lahan yang diambil alih kepemilikannya ini kemudian dikelola secara kolektif oleh serikat-serikat tani, bergandeng tangan bersama serikat-serikat buruh. Dengan cara demikian, diharapkan tercapai skala produksi ekonomis ("economic of scale") di pertanian. Sementara resistensi (perlawanan) terhadap kekuasaan kapitalis (yang pasti berusaha merebut kembali tanah mereka yang di-land reform) dengan bekerja bersama serikat buruh di kota-kota. Di samping itu, kelebihan pasokan pangan yang dihasilkan di desa-desa dapat langsung dimanfaatkan untuk menyokong perjuangan buruh di kota-kota.

Kita musti membuka diskusi yang lebih intensif dengan kawan-kawan yang mengusung "reformasi agraria" sebagai program mereka. Persepakatan tentang makna "reformasi agraria" ini akan menjadi point yang cukup menentukan apakah "aliansi buruh-tani" akan menjadi kenyataan atau tetap menjadi slogan yang indah tapi hanya mimpi di siang bolong.

*Ketua Divisi Pendidikan KP PRP