Momentum

MAYDAY 2007

Tuesday, May 15, 2007

Isolasi Media

Riky Akira*

Banyak orang mengatakan bahwa informasi merupakan sebuah kebutuhan mendesak pada jaman supercanggih saat ini. Dimana sebagian besar perkembangan teknologi merupakan hasil dialektikanya dengan usaha mendapatkan informasi secara lebih luas dan intensif. Bagi siapa saja yang tidak melakukan up date terhadap perkembangan dunia diluar sana akan mendapatkan julukan kurang pergaulan, norak, tidak peka, bukan mahluk sosial dan lain-lain.

Jadi di zaman ini informasi menjadi segalanya bahkan nilainya menjadi lebih mahal daripada uang itu sendiri. Sering kita melihat atau mendengar bahwa akses terhadap informasi telah menjadikan seseorang memiliki nilai lebih dibandingkan orang lain. Contohnya saja seorang mahasiswa yang rajin membaca Koran setiap hari serta buku2 akan mempengaruhi nilainya dikampus, si mahasiswa dalam setiap perkuliahan mampu menjadi panutan bagi teman-temannya , dia mampu menyampaikan permasalahan terkini di dalam kelas hingga kemampuan ini mengasahnya memiliki kemampuan analisa yang baik. Contoh lainnya ;seorang dokter harus terus mengupdate informasi kedokteran dan kesehatan. Si dokter harus mengatahui perkembangan bidangnya tesebut karena hal ini menyangkut kesehatan dan keselamatan nyawa dari pasien-pasien si dokter tersebut.

Namun media seringkali pilih kasih dalam memberitakan sesuatu. Sebagai contoh dalam memberitakan mengenai masyarakat Amerika Serikat yang ternyata di dalamnya terdapat 20% anak-anak yang hidup dalam kemiskinan, 3,5juta orang tuna wisma, 1/3 dari keluarga yang berpendapatan rendah hidup kelaparan, 37juta orang hidup tanpa asuransi kesehatan, 23ribu orang terbunuh dan 50ribu wanita diperkosa. Apakah kita pernah mengetahui atau bahkan mendengar mengenai hal ini? Saya yakin tidak!

Apakah media mengkaji keterkaitan antara berbagai aspek dalam tindak kekerasan yang setiap hari terjadi dan pola perkembangan serta berjalannya sistem ekonomi kapitalis?

Media gagal membongkar sisi lain di balik kemakmuran, wajah gelap kapitalisme, inilah dakwaan moral terhadap kelemahan yang amat mencolok dari pertumbuhan ekonomi. Masyarakat kapitalis demokratis dalam melakukan analisis terhadap tindak kekerasan pada umumnya hanya melalui pengamatan pendek dan selektif. Tampak nyata dalam sikap dan pernyataan mereka tentang realitas lain yang tidak menjadi objek pengamatannya.

Kita dapat menunjukkan bahwa terdapat 5 karakteristik persepsi dan perhatian media massa yang bias, tidak benar, saling berkaitan dan saling melengkapi. Dengan kata lain, dalam menganalisa kejahatan, kekerasan, issue dan masalah secara umum menggunakan pendekatan yang bersifat dangkal (superficial), tidak proporsional(out of proportion), kacangan (trivialised), individualistik dan satu sisi (one-sided).

Dangkal
Pertama-tama kita bicarakan pemberitaan media massa yang dangkal , dan ini paling sering terjadi. Media massa hanya memberitakan aspek-aspek kekerasan yang paling mudah dilihat , sedangkan bentuk-bentuk pelanggaran Hak Asasi manusi seperti penggusuran rumah-rumah kumuh dan pedagang kaki lima atau hak-hak mendapatkan pendidikan bagi seluruh rakyat yang terabaikan dianggap tidak laik berita dan tidak dimuat, paling untung kasus-kasus semacam ini diberitakan sebagai penertiban demi kepentingan bersama dan merupakan realitas hidup yang sangat kompetitif.

Padahal ini salah satu bentuk kekerasan yang bersifat sistemik dan meluas. Sebagai contoh kembali adalah ketika suatu pemerintah yang berkuasa beserta media yang dimilikinya menghembuskan isu bahwa kenaikan harga BBM akan meningkatkan kesejahteraan karena akan berdampak pada pengalokasian anggaran bagi pengadaan sekolah dan kesehatan gratis, yang merupakan pengulangan omongan basi pemerintah (baca:kaum penguasa) kita dari jaman-kejaman dan dari pemerintahan satu keperiode pemerintahan selanjutnya. Ini jelas membuat perhatian publik hanya terfokus pada kekerasan yng instan dan sensasional yang digembar-gemborkan media massa.

Tidak Proporsional
Pemberitaan yang dilakukan oleh media bersifat tidak proporsional seperti bahwa tidak setiap orang memiliki nilai berita yang sama. Berita mengenai orang yang mati karena terorisme akan menjadi berita utama media massa , sedangkan orang-orang sengsara karena tidak ada jaminan terhadap kebutuhan hidup (living standard) yang bersifat mendasar, seperti hak untuk mendapatkan makanan, hak untuk mendapatkan perawatan kesehatan dan hak untuk mendapatkan perumahan , atau hak untuk mendapatkan upah yang layak dan keselamatan kerja sekedar menjadi pengisi kolom-kolom tambahan di halaman tengah dengan artikel kecil dan minim analisa pula.

Jika yang menjadi patokan adalah jumlah korban, maka orang yang melakukan analisa terhadap terorisme sebagai fenomena sosial akan lebih memeperhatikan kecelakaan lalu lintas yang menelan korban ratusan ribu orang daripada kejahatab sosial yang hanya memakan ratusan jiwa. Selain pertimbangan jumlah, juga ada pertimbangan yang lain, yakni bahwa tidak setiap orang yang mati memiliki nilai berita yang sama. Orang yang mati karena terorisme akan menjadi berita utama media massa, sedangkan orang yang meninggal karena kecelakaan lalu lintas hanya akan mendapatkan perhatian dari keluarganya saja.

Kacangan
Dalam hal melihat fenomena kekerasan media cenderung melihatnya sebagai sekedar gangguan yang kebetulan saja, sebuah bagian dari kehidupan sehari-hari. Disamping peristiwa tertentu yang memang sensasional, sebagian besar kekerasan hanya dipublikasikan secara singkat. Sangat jarang sekali ada penjelasan sebab-sebab terjadinya kekerasan itu dan polanya. Seolah-olah kita selalu disuguhi kekerasan yang tragis , kesalahan-kesalahan yang tidak diharapkan atau dampak buruk yang tidak diperhitungkan sebelumnya tanpa disertai analisis terhadap penyebab dan pola kekerasan tersebut.

Tindak kekerasan jarang sekali dikaji dalam konteks historis, sosial dan ekonomi. Kekerasan seharusnya lebih ditempatkan dalam suatu rangkaian peristiwa sebab-akibat , dan juga dikaitkan dengan motivasi mempertahankan status quo , namun kenyataannya justru diselidiki untuk di cari makna dan pengaruhnya secara kacangan. Sehingga terdapat kecenderungan untuk meminggirkan fenomena yang betul-betul penting keluar dari pemberitaan media massa harian.

Individualistik
Pendekatan ini hanya memperhitungkan faktor-faktor individual yang pada kenyataannya dianggap sebagai pendekatan yang objektif. Dengan begitu , hubungan kausal antara kekerasan yang diamati dan struktur sosial yang melingkupinya dilenyapkan secara sistemetis. Konsekuensinya analisis tersebut gagal menelusuri hubungan-hubungan logis antara seorang individual dan kelompok atau kelas sosial dari mana dia berasal.

Teori-teori sosial-biologis yang dilontarkan New Rights memberikan nafas segar pada visi biologis tentang masyarakat, yang berusaha untuk mengembalikan penjelasan tentang fenomena sosial kepada ciri-ciri biologis binatang yang bernama manusia.hal ini berarti bahwa tindak kekrasan dapat ditafsirkan sebagai prilaku patologis individual, sebagai reaksi binatang individual dan sebagai tindakan irasional individual. Padahal penjelasan yang hanya difokuskan pada aspek-aspek biologis atau psikologis individual tidaklah cukup , dan karenanya kondisi-kondisi sosial dimana kekerasan muncul seharusnya diperhatikan; alamlah yang melengkapi kita dengan potensi kekerasan dan lingkungan sosiallah yang menentukan bagaimana kita mengendalikan potensi itu.

Kekurangan yang paling mengejutkan di dalam analisa yang bersifat individualistik semacam ini adalah mengesampingkan sepenuhnya bentuk-bentuk kekerasan institusional, khususnya kekerasan yang dilakukan oleh negara itu sendiri. Hanya karena benar-benar buta sehingga tidak bisa melihat kekerasan yang dilakukan negara secara terorganisir, maka buru-buru menimpakan berbagai kesalahan kepada individu.

*Ketua Divisi Jaringan dan HI KP PRP

No comments: