Momentum

MAYDAY 2007

Wednesday, May 2, 2007

Mayday dan Berkuasanya Kelas Pekerja

Beno Widodo*

May Day dan LMF (Labour Market Flexibility)

May Day sebagai tongggak kemenangan kaum buruh dalam merebut 8 jam kerja sangat terasa semangatnya dalam 2 tahun terakhir. Ini dikarenakan semangat perlawanan terhadap kebijakan negara yang pro pemodal dilakukan oleh banyak elemen Buruh, bukan saja yang terbiasa dengan aksi massa tetapi juga organisasi yang sebelumnya tidak terbiasa dengan aksi massa pun turun ke jalan. Pada hakikatnya momentum May Day sebagai hari buruh internasional tidak saja hanya sebagai “peringatan” tetapi juga dijadikan ajang konsolidasi kekuatan buruh dan sarana perjuangan kaum buruh di indonesia.

Aksi-aksi di seputar bulan Mei di beberapa negara oleh serikat buruh atau aliansinya adalah alat untuk menyuarakan dan memperjuangkan kondisi kerja, kepastian kerja dan kesejahteraan kaum buruh. Kebijakan yang dilawan oleh kaum buruh di dunia saat ini adalah sama yakni melawan kebijakan kapitalisme internasional yang menerapkan sistem kerja yang fleksibel dengan menerapkan sistem kerja kontrak dan outsourcing. Dengan cara itu, kapitalis dengan semena-mena membayar upah murah dan dengan mudah melakukan pemutusahan hubungan kerja kepada buruh. Pengusaha mendapatkan keuntungan yang berlipat-lipat karena hanya mengeluarkan biaya yang rendah.

Fred dan Henry Magdoff dari Monthly Review, sebuah jurnal sosial terkemuka di Amerika Serikat, menulis di bulan April 2004 bahwa konsep LMF (Labour Market Flexibility/Pasar Tenaga Kerja yang Fleksibel) merupakan jawaban kapitalisme atas kondisi yang menimpanya mulai akhir 1970-an yang ditandai oleh: (1) Lambatnya pertumbuhan ekonomi; (2) Menumpuknya uang di bank-bank (terutama bank kredit); (3) Timbunan hutang dan kredit macet. Selain itu kapitalisme sudah pada titik jenuh, yang ditandai dengan tidak adanya teknologi yang benar-benar baru.

Untuk penerapan LMF di I ndonesia, pemerintah melalui Bappenas, mengeluarkan argumen bahwa LMF yang diterapkan melalui sistem kerja kontrak dan oursourcing memungkinkan terciptanya lapangan kerja yang lebih besar. Namun argumen ini tidak melihat akibatnya yang buruk yaitu jumlah penghancuran lapangan kerja yang juga sama besarnya. Pemerintah tidak pernah membicarakan penghancuran lapangan kerja ini.

Hubungan Industrial Yang Menindas

Praktek dalam keseharian menunjukkan bahwa sistem kerja kontrak dan outsourcing terjadi pada semua jenis industri dengan waktu yang tidak tentu juga. Bahkan di wilayah padat industri (seperti Surabaya dan Tangerang) hampir 60% buruh dipekerjakan dengan sistem kontrak dan outsourcing (hasil penelitian sistem kerja oleh FPBN tahun 2004, di wilayah Tangerang dan Surabaya).

Artinya, aturan sudah tidak baik karena memberikan ruang untuk melakukan sistem kerja kontrak dan outsourscing namun pada pelaksanaannya lebih buruk lagi dari undang-undang yang ada. Selain outsourcing pada buruh melalui yayasan atau penyalur tenaga kerja, di lapangan juga ditemukan banyak sekali outsourcing/sub-kontrak produksi dari perusahaan-perusahaan ke rumah-rumah (Jurnal Akatiga, 2005, informalisasi hubungan industrial).

Cara-cara memaksakan sistem kontrak dan outsourcing di Indonesia sangat beragam, namun ada kesamaan alasan yang umum dimunculkan oleh pengusaha dan pemerintah yakni agar tercipta lapangan pekerjaan bagi pengangguran. Modus operandi yang dipakai, bisa dilihat dari beberapa kasus yang merupakan hasil survey dan dimuat dalam Jurnal Perburuhan FPBN Mei-Oktober 2004: (1) Perusahaan menutup perusahaan dengan alasan bangkrut, namun membuka perusahaan baru dengan sistem kerja kontrak dan outsourcing; (2) Perusahaan memberikan iming-iming agar buruh mengundurkan diri dengan pesangon tidak sesuai, selanjutnya sistem kerja dirubah menjadi kontrak; (3) Membuat program pensiun dini; (4) Melakukan “pemutihan”/pembaruan masa kerja.

Namun di luar hal di atas, mayoritas perusahaan baru menerapkan sistem kerja kontrak dan outsourcing.

Kemudian dampaknya bagi buruh akibat sistem kontrak dan outsourcing adalah: Pertama, Tidak adanya kepastian jaminan kerja bagi kaum buruh. Dengan sistem taktik sistim kerja kontrak dan outsourcing untuk mendapatkan upah buruh yang murah pengusaha melakukan penutupan perusahaan dengan berbagai dalih;
Kedua, Tingkat kesejahteraan yang menurun dan tidak mampu menjawab kebutuhan sehari-hari. Ini dibuktikan oleh Survey Sosial Ekonomi Nasional, Maret 2006 oleh BPS dimana pendapatan per kapita di daerah perkotaan adalah Rp. 150.799,-/bulan. Artinya di daerah industri mengalami penurunan tingkat pendapatan dan ini berimbas pada pemenuhan kebutuhan hidup; Ketiga, Melemahnya kekuatan serikat buruh. Ini dikarenakan mengurangnya anggota yang ter-PHK dan buruh yang dikontrak tidak berani berserikat disebabkan ancaman PHK; Keempat, Daya tawar buruh/pekerja menjadi lemah. Hal ini disebabkan perjanjian kerja yang individual dan lebih banyak hanya dalam bentuk lisan.

Gagalnya LMF

Pengadopsian kebijakan LMF oleh pemerintah telah menunjukkan kegagalannya dalam mengatasi pengangguran. Terbukti dari data yang dikeluarkan oleh pemerintah melalui Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) tahun 2004-2009 dalam BAB 23 tentang Ketenagakerjaan, Bagian IV.16 – 4, sebagai berikut:

“Kondisi ketenagakerjaan pada tahun 2003 menunjukkan belum adanya perbaikan, bahkan berdasarkan perkembangan angka pengangguran terbuka selama 5 tahun terakhir menunjukkan jumlah yang terus meningkat. Pengangguran terbuka yang berjumlah se kitar 5,0 juta orang atau 4,7 persen dari jumlah angkatan kerja pada tahun 1997 meningkat menjadi sekitar 6 juta orang atau 6,4 persen di tahun 1999, dan sekitar 9,5 juta orang atau 9,5 persen pada tahun 2003. Tingkat pengangguran terbuka pada tahun 2003 berdasarkan jenis kelamin, sebanyak 13 persen perempuan dan laki-laki 7,6 persen. Berdasarkan tingkat pendidikan dan kelompok usia, pengangguran terbuka sebagian besar untuk kelompok Sekolah Menengah Umum yaitu 16,9 persen, dan perguruan tinggi 9,1 persen, sedangkan untuk kelompok usia didominasi oleh usia muda (15-19 tahun) yaitu sebesar 36,7 persen.”

Selain itu, penelitian Cesar Alonso-Borrego (Universitas Carlos III de madrid), Jesus Fernandez-Villaverde (Universitas of Pennsylvania) dan Jose E. Galdon-Sanchez (Universidad Publica de Navarra) di tahun 2004 juga menunjukkan bahwa LMF justru menciptakan tingkat pengangguran yang lebih besar. Maka sistem yang merugikan buruh dan gagal diterapkan untuk mengurangi pengangguran serta meningkatkan taraf hidup harus diganti dengan sistem yang lebih maju, lebih baik dan berkeadilan.

Politik Kelas Pekerja

Kondisi obyektif di Indonesia sekarang ini, adalah kurangnya kondisi subyektif dalam usaha sendiri dari kelas buruh untuk menahan gempuran kapitalisme, misalnya ketiadaan pemimpin potensial kaum buruh dengan program ideologi buruh yang jelas. Akibatnya gerakan buruh mengalami kemunduran yang sangat membahayakan dalam kondisi sekarang ini. Meskipun UU PPHI sempat ditunda selama satu tahun atau penundaan revisi UUK 13/2003, para pemimpin kaum buruh (serikat pekerja konservatif) nampaknya menyetujui upaya itu tanpa berusaha untuk membatalkan dan membuat format baru yang lebih adil untuk kepentingan kaum buruh, mereka lebih percaya dengan forum tripartit (pemerintah, pengusaha dan wakil serikat yang pro pemerintah/pengusaha).

Cara ini hanyalah metode lain dari para kapitalis dalam mengimplementasikan program mereka, ap alagi dengan adanya persetujuan dari para pemimpin kaum buruh. Yang pada akhirnya mereka akan mencoba meyakinkan serikatnya masing–masing untuk menerima keputusan yang ada, dan yang lebih celaka adalah para pemimpin buruh tersebut sungguh–sungguh setuju dengan argumentasi dari kaum kapitalis/pemilik modal.

Untuk melawan pengaruh program kapitalis terhadap para pemimpin kaum buruh, serikat buruh dan pemimpin serikat buruh haruslah berupaya mengemukakan program alternatif. Alasan penolakan belaka tidak akan pernah meningkatkan kesadaran kelas buruh. Apa yang diperlukan adalah program yang berawal dari realitas nyata untuk merumuskan alternatif yang diinginkan dan yang dapat meletakkan kelas buruh di jalan yang menuju masyarakat yang adil.

Setiap hasil yang didapat dalam pembuatan undang–undang perburuhan merupakan keuntungan yang diperoleh bagi kelas buruh. Namun, kita tidak melakukan pendekatan melalui undang–undang perburuhan sebagai tujuan dari pendekatan itu sendiri. Upaya perjuangan bagi hukum perburuhan yang baik merupakan pelengkap dalam pembangunan oganisasi kelas buruh dengan tujuan seperti masyarakat lainnya yakni demokrasi yang adil. Dan pada jaman Indonesia sekarang ini, hukum merupakan sudut pandang awal yang baik dalam memulai, jika kita tetap berpijak pada pendekatan perundangan dari sudut pandang yang luas dari perubahan sosial. Kenyataan yang nyata sekarang ini adalah kaum buruh, walaupun mereka dapat tumbuh secara radikal, mereka masih banyak terindokrinisasi oleh ideologi gerakan anti–komunis dari rezim Orde Baru. Akibatnya, mayoritas atau sebagian besar tidak mempunyai arahan ketika berbicara mengenai teori–teori besar ideologi buruh. Namun dengan melihat hukum perburuhan di masa Orde Lama, jembatan yang akan menghubungkan dengan ide–ide ideologi buruh akan terbentuk. Pertanyaan yang ada seharusnya melihat dari jawaban mengapa di masa yang lalu undang–undang perburuhan jauh lebih baik.

Yang bera rti pembentukan kesadaran kaum buruh tentang sejarah kelas mereka. Setiap pergerakan membutuhkan akar sejarah, untuk membentuk identitas dan juga untuk belajar dari kesalahan masa lalu. Sekarang bila terfokus pada undang–undang perburuhan dari Orde Baru, maka tidak akan dapat menyelesaikan permasalahan. Dan bukanlah alasan dengan mengatakan bahwa gerakan buruh di masa yang lalu lebih kuat daripada gerakan di masa sekarang. Hal yang utama serta mendasar adalah gerakan buruh kuat dikarenakan adanya ideologi buruh yang sebenar-benarnya!

Perjuangan kaum buruh tidak membatasi mereka hanya untuk mencapai perundang–undangan yang baik saja. Karena kenyataan menunjukan bahwa di bawah kekuasaan kaum pengusaha/pemilik modal perundang–undangan tersebut tidak pernah akan terlaksana. Dalam perjuangan mereka untuk menegakan hak– hak bagi kaum buruh, kaum buruh akan berhadapan dengan kepentingan majikan, sudah tentu majikan akan menentang kepentingan kaum buruh. Kaum buruh seharusnya memulai mencari bentuk alternatif yang lain. Dan didorong agar diarahkan pada persoalan tentang pentingnya ideologi kelas pekerja. Pada masa sekaranglah semua individu yang mengakui ideologi kelas pekerja dengan serikat–serikat buruh seharusnya dapat memanfaatkan setiap kesempatan dalam upaya mempercepat proses penyadaran ideologi agar lebih progresif. Kesabaran untuk menjelaskan potensi tersebut bisa dipastikan akan menjadi kenyataan.

Menyatukan ideologi kelas buruh tentunya tidak cukup dalam serikat buruh tetapi kaum buruh juga harus sadar dan mulai membangun kekuatan partai politik kelas pekerjanya sendiri. Ini sebagai jawaban bahwa kelas pemilik modal/borjuis juga memakai partai borjuis untuk memaksakan kepentingan ekonominya, selain alat-alat lainnya yang dipakai.

Untuk itulah jawaban kaum buruh dalam melawan kapitalisme harus dengan cara-cara politik, dari berserikat buruh sampai berpartai politik. Tentunya juga dengan cara-cara lain yang bisa mengurangi d an merongrong kekuatan kapitalisme. Hingga pada satu titik, kapitalisme bisa dihancurkan secara bersama-sama dan merubahnya menuju berkuasanya kelas pekerja yang mengatur kehidupan tanpa penghisapan manusia terhadap manusia lainnya.

*Sekretaris Jenderal Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) dan anggota PRP Komite Kota Jakarta Raya

No comments: