Momentum

MAYDAY 2007

Friday, May 4, 2007

Otonomi Daerah: Solusi atau Konsesi?

Anshar*

Sampai saat ini otonomi daerah masih tetap merupakan pembicaraan yang menarik. Selain karena membawa dampak yang kompleks, efektivitas pelaksanaan otonomi daerah untuk menjawab peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui desentralisasi kewenangan pemerintah pusat kepada daerah belum dapat diukur.

Sebetulnya masalah uji coba pelaksanaan otonomi sudah dicanangkan oleh Presiden Soeharto pada bulan April 1995 pada 26 daerah tingkat II di seluruh Indonesia. Namun, evaluasi hasil uji coba hilang bersama lengsernya Soeharto dari kursi kepresidenan. Sekalipun pada tahun 1995-1997 diadakan pilot proyek percontohan otonomi tersebut, hasilnya jauh dari menggembirakan karena Intervensi pusat masih tetap kuat. Meski demikian, ujicoba tersebut juga tidak dapat dijadikan sebagai dasar untuk berasumsi bahwa pemerintah pusat tidak sepenuh hati dalam menjalankan kebijakan otonomi, karena konsep otonomi daerah yang dijalankan tidak secara komprehensif.

Sejak tahun 1945, perubahan-perubahan konsepsi otonomi banyak ditentukan oleh para elit politik yang berkuasa pada saat itu. Hal itu terlihat jelas dalam aturan-aturan mengenai pemerintahan daerah sebagaimana berikut ini : UU No. 1 tahun 1945, kebijakan Otonomi daerah lebih menitikberatkan pada dekonsentrasi, kepala daerah hanyalah kepanjangan tangan pemerintahan pusat. UU No. 22 tahun 1948, mulai tahun ini Kebijakan otonomi daerah lebih menitikberatkan pada desentralisasi, tetapi masih ada dualisme peran di kepala daerah, di satu sisi ia punya peran besar untuk daerah, tapi juga masih menjadi alat pemerintah pusat. UU No. 1 tahun 1957, kebijakan otonomi daerah masih bersifat dualisme, di mana kepala daerah bertanggung jawab penuh pada DPRD, tetapi juga masih alat pemerintah pusat. Penetapan Presiden No.6 tahun 1959, kebijakan otonomi daerah lebih menekankan dekonsentrasi. Melalui penpres ini kepala daerah diangkat oleh pemerintah pusat terutama dari kalangan pamong praja. UU No. 18 tahun 1965, kebijakan otonomi daerah menitikberatkan pada desentralisasi dengan memberikan otonomi yang seluas-luasnya bagi daerah, sedangkan dekonsentrasi diterapkan hanya sebagai pelengkap saja. UU No. 5 tahun 1974, setelah terjadinya G.30.S PKI pada dasarnya telah terjadi kevakuman dalam pengaturan penyelenggaraan pemerintahan di daerah sampai dengan dikeluarkanya UU NO. 5 tahun 1974 yaitu desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas perbantuan.

Sejalan dengan kebijakan ekonomi pada awal Ode Baru, maka pada masa berlakunya UU No. 5 tahun 1974 pembangunan menjadi isu sentral dibanding dengan politik. Pada penerapanya, terasa seolah-olah telah terjadi proses depolitisasi peran pemerintah daerah dan menggantikannya dengan peran pembangunan yang menjadi isu nasional. UU No. 22 tahun 1999 membuat perubahan yang menjadikan pemerintah daerah sebagai titik sentral dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan dengan mengedapankan otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab.

Banyak opini yang berkembang seputar otonomi daerah. Pelaksanaan otonomi daerah masih dihantui oleh persoalan-persoalan yang sangat kompleks, seperti sumber daya manusia dan pengelolaan sumber daya alam. Pada dasarnya, gagasan yang melandasi otonomi daerah adalah adanya ketimpangan antara pusat dan daerah, dimana terjadi konsentrasi kekayaan di pulau jawa pada umumnya dan jakarta pada khususnya. Dari data-data yang ada, disebutkan bahwa pendapatan daerah yang terbesar adalah propinsi-propinsi yang ada di pulau Jawa (DKI Jakarta, 16,22 %; Jawa Barat, 16,73%; Jawa Tengah, 10,26%; dan Jawa Timur, (15,14%). Sementara propinsi yang berada di luar pulau Jawa, pendapatan daerahnya hanya berkisar antara 0,17% (Timor Timur) dan 5,81% (Sumatera Utara). Lebih lanjut, kesenjangan itu akan tampak semakin tajam jika kita melihat ketimpangan antara Jakarta dengan luar Jakarta, yang dengan luas 0,03% dan dengan jumlah penduduk sekitar 5% dari total populasi, menikmati sekitar 16% dari PDB Nasional. Kita bisa melihat, senjangnya jumlah penerimaan dan jumlah pengeluaran antara pusat dan daerah, kontrol modal yang lebih besar berada dipulau jawa.

Kesenjangan antar daerah juga bisa dilihat dari indeks kesejahteraan atau human development index (HDI), yang menyangkut tingkat harapan hidup, tingkat pendidikan dan kemampaun daya beli (purchasing power parity). Daerah yang paling tinggi tingkat kesejahteraannya adalah Jakarta (77,5) dan yang paling rendah adalah Papua Barat (61,2). Menarik untuk dicermati, bahwa daerah yang kaya akan sumber daya alam memiliki tingkat HDI yang lebih rendah bila dibandingkan dengan PDRB per kapita mereka. Ini berarti bahwa tingginya PDRB tidak berarti bahwa kesejahteraan rakyat di daerah tersebut ikut meningkat.

Jika kemudian propinsi Aceh dan Papua menjadi propinsi yang paling keras dalam menuntut "kemerdekaannya", hal itu disebabkan karena pengelolaan potensi kekayaan alam di kedua propinsi tersebut selama ini, lebih banyak menguap meninggalkan daerahnya. Data BPS tahun 1993 menyebutkan, bahwa dari seluruh propinsi di Pulau Sumatera, Aceh merupakan propinsi yang memiliki desa miskin terbanyak, yaitu 2.275 desa (40,23 persen) dari jumlah seluruh desa (5.643). Sementara, semua desa Papua Barat termasuk kategori desa miskin, dimana dari 2000 desa, 80 persen di antaranya masuk dalam program Inpres Desa Tertinggal (IDT). Selama PJP I, dari total dua juta rakyat Irian, 90 persennya ternyata tetap miskin.

Ketimpangan tersebut merupakan imbas adanya sentralisasi kekuasaan di pusat serta manajemen ekonomi yang carut-marut. Dengan adanya sentralisasi kekuasaan tersebut, maka pusat berhak untuk mengatur lalu lintas serta perimbangan keuangan pusat dan daerah tanpa harus meminta persetujuan dari daerah. Daerah dalam posisi ini hanya berfungsi sebagai pelayan terhadap penguasa di pusat. Dengan kata lain, akar dari seluruh pergolakan politik di daerah adalah persoalan politik yang berwatak sentralis. Meski demikian, kesimpulan ini tidak mampu menunjukkan posisi rakyat sebagai korban sentralisasi kekuasaan tersebut.

Dengan demikian, kita bisa melihat bahwa kebijakan otonomi daerah merupakan reaksi terhadap kontrol terpusat yang korup dan represif selama beberapa dekade. Pemerintah harus memenuhi tuntutan demokrasi dan reformasi jika mereka ingin menghindari gejolak sosial yang lebih parah, ciri bulan-bulan terakhir kekuasaan soeharto. Tekanan untuk melakukan reformasi politik datang dari wilayah-wilayah yang kaya akan sumber daya alam. Pada saat yang sama, krisis keuangan indonesia yang berlarut-larut menjadi insentif ekonomi yang kuat untuk melakukan desentralisasi. Tuntutan yang semakin kuat untuk merdeka di Aceh dan Papua Barat kemudian diikuti pula dengan tuntutan sistem federal dari Riau, Maluku, Sulawesi Utara dan Kalimantan Timur.

Untuk itu, pelaksanaan otonomi daerah harus mampu menjawab persoalan keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia. Dalam hal ini, ada 3 hal yang perlu diperhatikan, antara lain, pertama: besarnya jumlah penduduk dengan angka pertumbuhan yang relatif tinggi dan penyebarannya yang tidak merata, sifat yang heterogen dan pluralistik, baik suku, agama budaya, maupun tingkat intelektualitas dan sosial ekonomi. Kedua : keanekaragaman yang ada di tanah air sebagian memiliki sumber daya yang potensial dan sebagian lainnya kurang potensial. Ketiga : Indonesia memiliki lautan yang luas dengan kandungan sumber daya yang masih cukup potensial serta mampu memberikan nilai manfaat yang memadai bagi kepentingan dan kemakmuran masyarakat.

Keadilan sosial bukan hanya milik segelintir orang atau sekelompok orang atau daerah tertentu, tetapi merupakan milik seluruh rakyat indonesia. keadilan sosial merupakan akumulasi dari kepentingan seluruh rakyat Indonesia selaku pemegang kedaulatan tertinggi negara sebagai refleksi dari kehidupan demokrasi. Dengan kata lain, keadilan sosial adalah inti dari demokrasi. Namun, perlu ditegaskan bahwa keadilan sosial yang dimaksud bukan berdasarkan paham atau prinsip "sama rata, sama rasa", tetapi secara proporsional, dengan menempatkannya dalam konteks keadilan dalam memperoleh hak-haknya sebagai warga negara.

Bagi kebanyakan daerah lainnya, kebijakan otonomi daerah memiliki arti yang sangat penting. Desentralisasi pengawasan, jika hal ini bisa berjalan dalam pengertian yang nyata, akan memiliki pengaruh mendalam terhadap kehidupan masyarakat adat dan masyarakat desa. Selain itu, ia juga berpengaruh terhadap cara pengolahan sumber daya alam di Indonesia. Bagi masyarakat lokal, hutan, tanah, air bersih dan sumber daya laut di mana mereka bergantung, otonomi daerah akan berhasil atau gagal tergantung pada apakah ia akan membantu menghentikan gelombang eksploitasi dan penghisapan yang melanda sebagian besar wilayah Indonesia atau tidak.

Ujian yang sesungguhnya juga akan terletak pada kekuatan demokrasi pada tingkat lokal - seberapa cepat dan seberapa jauh masyarakat lokal dapat menjamin bahwa mereka dapat mengambil bagian penuh dalam pembuatan keputusan terhadap pengelolaan dan perlindungan sumber daya alam.

Secara ideal, keberhasilan otonomi daerah akan memberikan pengawasan demokratis terhadap proses pembentukan kebijakan, penegakan hukum yang efektif serta pemerintahan daerah yang bersih dan transparan. Proses ini juga akan memberikan peluang penggunaan sumber daya alam berkelanjutan untuk kepentingan seluruh masyarakat sekarang dan di masa yang akan datang.

Di sisi lain, dari segi yang terburuk, kegagalan akan menyebabkan pengalihan kekuasaan kepada pusat-pusat pemerintahan daerah dengan para pemimpinnya yang bertingkah seperti tiran kecil dan hanya mencontoh ulang praktek-praktek perampokan sumber daya alam pada era Suharto untuk keuntungan pribadi secara maksimal di tingkat daerah. Atau - jika pemerintahan pusat tetap bersikeras untuk mempertahakan kontrol mereka-hasilnya mungkin adalah ketidakadilan sosial yang sama dan pelanggaran lingkungan yang seringkali dikaitkan dengan pemusatan kekuasaan di Jakarta sampai sekarang. Hal ini akan mengakibatkan ledakan gejolak sosial dan ketidakstabilan politik yang lebih besar.

*Sekretaris Kota PRP Komite Kota Makasar

No comments: