Momentum

MAYDAY 2007

Friday, May 4, 2007

UNHAS: Membangun citra dengan membangun gedung

Haedir*

Pengantar

“Ini dulu baru itu” ( kata salah satu iklan susu yang sering kita lihat ditelevisi), maksudnya, kita harus mampu melihat mana yang lebih prioritas sebelum melangkah ke sesuatu yang lain, mengunyah dulu baru menelan, ketimpangan akan terjadi bila hal itu kita balik, melihat UNHAS belakagan ini sepertinya talah menyalahi prinsip itu, hal yang seharusnya didahulukan malah di abaikan, dan yang tidak begitu urghen pada sebuiah institusi pendidikan malah yang didahulukan. Bagaimana tidak, pembangunan fisik terjadi dimana-mana sementara tidak ada sama sekali penambahan buku yang ada diperpustakaan, yang ada adalah buku-buku usang yang sudah ketinggalan jaman dan sudah tidak relefan, perpustakaan unhas tidak lebih dari sebuah musium buku ( wajar, ketika sebagian besar pemikiran sebagian masyarakat UHAS adalah pemikiran yang kolot).

Hal ini sangat terkait dengan keinginan UNHAS untuk berdiri sebagai Badan Hukum Pendidikan, yang mana BHP sendiri tidak dapat kita lepaskan dari sebuah perkembangan sistem pendidikan nasional yang menginginkan adanya otonomi kampus, artinya semua pengelolaan khususnya keuangan akan diatur sendiri oleh Unversitas.

Melihat unhas, tentunya tidak bisa kita pisahkan dari sebuah realitas pendidikan nasional, karena itu ada baiknya kita mulai tulisan ini dengan melihat secara singkat tentang sistem pendidikan nasional.

Neo-liberal dan sistem pendidikan nasional

Kebijakan modal ( capital ), sangatlah mendominasi dalam perumusan sistem pendidikan kita, mulai dari kurikulum sampai pada persoalan alokasi dana untuk penyelenggaran pendidikan.

Mari kita lihat pada maslah kurikulum misalnya, institusi pendidikan diformat sedemikian rupa agar peserta didik setelah menyelesaikan studi, dapat mengisi pos-pos kerja yang telah disiapkan oleh para pemilik modal (pengusaha). Artinya sistem pendidikan tidak lagi untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, seperti yang telah digariskan dalam UUD hasil amandemen 1945, tapi untuk bagaimana menghasilkan tenaga kerja murah bagi perusahaan-perusahaan yang ada.

Sebuah sistem pendidikan semacam ini sudah pasti menafikan hal yang paling penting dari sebuah sistem pendidikan yaitu ILMIAH, karena yang diajarkan adalah apa yang menjadi kebutuhan didunia kerja. Sehingga mengkungkung daya kreatifitas berfikir peserta didik. Apa yang tidak sesuai atau tidak dibutuhkan dengan dunia kerja tidak perlu dipelajari, walaupun hal tersebut sangat penting untuk itu.

Apa yang terjadi?, lonjakan tenaga kerja terdidik setiap tahunnya, yang tidak sesuai dengan lapangan kerja yang tersedia, sehigga tidak salah ketika upah pekerja semakin hari semakim ditekan. Prinsip yang dipakai adalah prinsippermintaan dan penawaran, “semakin banyak barang yang beredar dipasaran akan semakin murah harganya”.

Disisi lain, alokasi dana pendidikan dalam APBN sangatlah kurang, seolah-olah pemerintah ingin melepaskan tangan dari pembiayaan sistem pedidikan, hal ini sangat terkait dengan sebuah proyek besar yang sedang dijalankan pemerintah proyek itu disebut proyek Neo-liberal yang merupakan hasil kesepakatan pemerintah dengan Intenational Monetri Fund ( IMF- lembaga moneter internasionel ) yang dikenal di indonesia denga nama letter of intern ( loI), sebuah keharusan bagi pemerintah untuk dapat berutang kembali pasca krisis 1997.

Proyek ini mensyaratkan agar pemerintah tidak memiliki campur tangan pada wilayah pasar, apa kaitannya dengan subsidi pendidikan kita? Hal ini sangat terkait dengan bagaiman kekuatan bisnis internasional yang melibatkan perusahaan internasional didalamnya, dan institusi pendidikan merupakan salah satu industri untuk dapat mengeruk keuntukngan sebesar-besarnya tanpa memperdulikan dampak dari itu yaitu sekitar 110 juta jiwa ( laporan bang dunia 2005 ) penduduk miskin tidak dapat menikmati pendidikan.

Karena institusi pendidikan adalah sebuah peluang bisnis, maka pemerintah harus mengurangi atau bahkan menghilangkan subsidi pendidikan ( inilah yang disebut dengan swastanisasi, dengan berkedok otonomi kampus ataupun “ BHP” ).

UUD hasil amandeman 1945, telah mengamantkan pengalokasian 20% bagi anggaran pendidikan dari APBN dan APBD. Nyatanya konstitusi dasar ini belum direalisasikan .APBN untuk pendidikan tahun 2004 hanya sebesar 3,8% sedangkan untuk APBN 2005 hanya sebesar 4,2% . itupun tidak semuanya untuk pembiayaan pelayanan public karena masih bercampur dengan dana sekolah dinas dan belanja pegawai. Sementara dana APBN dihabiskan untuk membeli senjata dan membayar utang luar negeri yang totalnya 65%. ( data : draft pendidikan dasar Front Mahasiswa Nasional Resistsnace-Jakarta tentang “sistem pedidikan nasional”)

Bagaimana degan UNHAS?

Dari hasil pembahasan diatas kita akan meneropong unhas lebih jauh, karena unhas tidak dapat kita lepaskan dari sistem pendidikan nasional. Artinya setiap kondisi yang terjadi pada sistem pendidikan nasional kita akan berimbas terhadap segala hal yang terjadi di UNHAS.

Kelihatan bahwa UNHAS belakangan ini sedang melakaukan perbaikan infrastruktur disana-sini, sejak awal kita dapat lihat kebijakan penggusura mace-mace, sampai hari ini mempercantik kampus dengan menambah bangunan yang entah untuk apa dan tidak memiliki arti apa-apa untuk peningkatan kualitas mutu mahasiswa. Dan menekan mahasiswanya agar tidak melawan dan mengkritisi kebijakan Universitas yang menindas, agar dikatakan di UNHAS tidak terjadi apa-apa. Inilah cara UNHAS membangun citra. Mempercantik kampus dengan gedung dan mengenyampingkan kualitas mahasiswa.

Kepentingan apakah yang sebenarnya memboncengi semua ini?, tiada lain kecuali bagaimana menarik para pemodal ( pihak swasta ) untuk dapat berinfestasi di UNHAS sepuluh tahun lagi. Pembangunan infrastruktur ini adlah tahap awal, tahap berikutnya adalah mengajak, singkatnya mempercantik dulu setelah itu baru dijual.

Dampaknya, mungkin kita bisa melihat dari proyek BHMN yang telah diterapkan di beberapa perguruan tinggi negri terbaik di negeri ini seperti UGM, UI dll, banyak diantara meahsiswa mereka harus Drop Out ( DO) akibat tidak dapat membayar SPP.
Sangat disayangkan, karena banyak diantara mahasiswa UNHAS yang nantinya akan bersentuhan dengan kebijakan ini tidak peduli dan seolah tidak mengetahui apa-apa.

*Staf Departemen Pendidikan Front Mahasiswa Demokratik (FMD) dan anggota PRP Komite Kota Makasar

No comments: