Momentum

MAYDAY 2007

Friday, June 15, 2007

Kiri Kanan Nasionalisme Indonesia

(Sebuah refleksi perjalanan nasionalisme Indonesia dari masa ke masa)


Sapto Raharjanto*

Revolusilah yang melahirkan negara Indonesia, melahirkan bangsa Indonesia, nasion Indonesia, menghapuskan penjajahan berabad, dan memberikan kembali harga dan nilai dari puluhan juta umat manusia di atas buminya. Dia telah mengubah peta kekuasaan, menambahkan paling sedikit satu kekayaan dalam pikiran umat manusia sedunia. (Pramoedya Ananta Toer)

Pada dasarnya apa yang dimaksud dengan nasionalisme, terutama didalam konteks nasionalisme Indonesia, maka coba kita flash back kembali pada era kolonialisme yang tak lain adalah anak dari proses kapitalisme sendiri yang jelas membutuhkan suatu koloni-koloni baru baik untuk pencarian kekayaan alam, maupun untuk pemasaran suatu hasil produksi dari proses kapitalisme,.dalam hal ini kemudian kita tarik sebuah benang merah pada saat itu, bahwasannya ada suatu proses penghisapan, (Exploitation De’lhhome par lhhome), yang sangat luar biasa dan dilakukan oleh kaum imperialis selama kurang lebih 350 tahun, dan dari suatu proses penghisapan inilah kemudian muncul apa yang dinamakan sebuah cita-cita untuk bisa membebaskan diri dari proses penghisapan ini. Baik itu secara individu, golongan, maupun secara kolektif, tetapi pada dasarnya adalah sebuah semangat untuk bisa membebaskan diri dari kaum penjajah. Hal inilah yang kemudian banyak mengilhami tokoh-tokoh pergerakan nasional ( Soekarno, Hatta, Malaka, Sjahrir, Semaoen) dll yang merupakan golongan yang bisa menikmati berbagai fasilitas pendidikan sebagai hasil dari politik etis yang memungkinkan untuk mengkaji dan menganalisa ideologi-ideologi besar dunia seperti, Marxisme, Nasionalisme, Kapitalisme, dan lain-lain. Untuk kemudian melakukan sebuah pergerakan, ya sebuah gerakan untuk menuju cita-cita kemerdekaan Indonesia.

Proses gerakan untuk mencapai sebuah cita-cita kemerdekaan ini berlanjut pada era fasisme Jepang, meskipun masih banyak perdebatan yang terjadi disana seperti adanya indikasi dari tokoh-tokoh pergerakan nasional yang menjadi komprador-komprador Jepang, serta perdebatan-perdebatan lainnya di seputar jaman Jepang, tetapi perjuangan tersebut terus berlanjut terutama untuk persiapan kemerdekaan Indonesia, disinilah berbagai macam perdebatan baik ideologi dan politik berlangsung guna mengkonsep bagaimana mengatur negeri ini kelak setelah merdeka,…

Puncaknya pada revolusi 17 Agustus ketika teks proklamasi kemerdekaan Indonesia dibaca dan disiarkan ke dunia internasional,…maka semenjak itulah kita telah menggenggam sebuah cita-cita yang sejak lama kita idam-idamkan yaitu kemerdekaan. Dimana kemudian para founding leader kita menyusun sebuah manifesto politik yang menegaskan mengenai sebuah cita-cita dari pendirian republik ini yaitu: Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan.

Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia kedepan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.

Atas berkat rahmat Alah yang maha kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaannya.

Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada : Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Dari sebuah landasan manifesto politik inilah kemudian dijalankan sebuah model pemerintahan yang sangat populis terhadap nilai-nilai kerakyatan terutama pada periode tahun 1945-1965. Dimana selama masa 20 tahun ini, populisme sangat dominan dan semangat antiimperialisme serta nasionalisme ekonomi menjadi tema-tema pokok dalam pembicaraan politik. Tema-tema itu pertama dinyatakan dalam penolakan revolusioner terhadap usaha-usaha pihak Belanda untuk mengembalikan kekuasaan kolonialnya setelah tahun 1945.

Didalam periode tersebut kita juga bisa melihat bagaimana cara masalah politik di luar Indonesia dibicarakan terutama pada periode 1945-1965 rakyat Indonesia melihat negara Indonesia menganut sikap bebas aktif dalam Perang Dingin dan sebagai pemimpin didalam perjuangan semesta melawan kolonialisme dan neokolonialisme. Hampir semua penganut kelompok politik merasa bangga bahwa Indonesia menjadi tuan rumah konferensi kepala-kepala pemerintahan Asia-Afrika (konferensi Asia Afrika) yang diadakan di Bandung, tahun 1955. Selama tahun-tahun awal 1960-an sebagian besar mereka sangat antusias mendukung peranan Indonesia dalam apa yang disebut Sukarno sebagai perjuangan NEFOS (New Emerging Forces) yakni kekuatan-kekuatan baru yang mewakili keadilan dan pembebasan melawan OLDEFOS (Old Established Forces) yakni kekuatan-kekuatan tua dan mapan yang bersifat imperialistis dan neokolonialistis. (OLDEFOS adalah kelompok negara-negara yang kapitalis, imperialis, termasuk di dalam kelompok ini antara lain Inggris, Amerika, Belanda, dan lain-lain. NEFOS adalah kelompok negara-negara terjajah (dan bekas jajahan) yang berusaha melepaskan diri dari pengaruh OLDEFOS. OLDEFOS adalah sebagai kelompok negara-negara penjajah (kolonial) dan NEFOS adalah kelompok negara-negara yang berjuang untuk merdeka dan negara yang belum lama merdeka. Indonesia sendiri secara tegas menyatakan dirinya termasuk dalam kelompok NEFOS).

Iklim demokrasi dan berbagai kebijakan populis ini seperti UUPA 1960, serta berbagai hal lain sayang harus terhenti oleh sebuah tragedi nasional 1 Oktober (GESTOK) yang diikuti oleh sebuah proses kudeta secara perlahan tapi pasti oleh Soeharto yang di dukung oleh berbagai kekuatan-kekuatan politik pendukungnya termasuk CIA, proses pergantian kepemimpinan nasional pada saat itu juga diwarnai oleh sebuah horor politik yang mengakibatkan kurang lebih 3000.000 orang harus meregang nyawa. (Khusus untuk peristiwa politik ini, setidaknya ada lima teori yang dianggap menjadi latar belakang, yaitu (i) PKI sebagai dalang; (ii) masalah internal TNI AD; (iii) Soekarno yang paling bertanggung jawab; (iv) Soeharto sebagai orang dibalik peristiwa tersebut; (v) Jaringan intelejen dan CIA.(Lihat buku Palu Arit di ladang tebu, karya Hermawan Sulistyo)

Entah siapa yang harus bertanggung jawab atas penghentian paksa ide-ide populis ini??? Dimana ide-ide seperti UUPA, UUPBH, Nasionalisasi asset asing, yang telah dilakukan di Indonesia guna memenuhi amanat dan cita-cita dari pendirian republik ini sesuai yang tercantum didalam pembukaan UUD 1945, saat ini telah banyak dilakukan di negara-negara kawasan Amerika Latin seperti Venezuela, Bolivia, Nicaragua dll, dimana seorang Chaves sendiri pernah mengatakan bahwa kita harus kembali kepada semangat Bandung,…ya semangat Bandung (Konferensi Asia-Afrika). Setelah tragedi nasional tersebut maka dimulailah sebuah rezim dibawah kekuasaan militer yang memaknai sebuah arti nasionalisme adalah sebuah ketaatan warga negara terhadap setiap kebijakan-kebijakan negara. Meskipun hal tersebut pada akhirnya hanya terlihat sebagai sebuah ketertundukan rakyat terhadap dominasi lembaga negara dengan berbagai alat penekannya (ABRI, BIROKRASI, GOLKAR). Jadi nasionalisme disini bukan lagi sebuah komitmen untuk memperjuangkan amanat dan tujuan perjuangan pembebasan nasional serta amanat revolusi 17 Agustus serta UUD 1945.

Pondasi untuk mendukung tegaknya rezim politik Orde Baru sendiri adalah sebuah konsensus nasional yang intinya adalah perlunya sebuah stabilisasi kehidupan sosial-politik, rehabilitasi ekonomi, yang diklaim rusak akibat permainan politik selama berkuasanya rezim politik demokrasi terpimpin. Dengan adanya konsensus nasional tersebut mulai dicanangkan pembangunan ekonomi politik dengan lebih berorientasi pada kapitalisme. Konsensus dari dari para pendukung rezim politik Orde Baru secara tegas menolak orientasi pembangunan yang mengarah pada populisme.

Secara teoritik, bentuk negara di bawah kekuasaan Orde Baru adalah sebuah negara otoriter birokratis. Dalam praktek politiknya pemerintahan Orde Baru menerapkan tiga hal: Pertama, melakukan proses ideologisasi, yaitu menerapkan ideologi tunggal negara. Pada fase ini berkembang jargon-jargon yang sifatnya Top down, seperti ide pembangunanisme. Kedua, kalaupun terdapat protes dari adanya ideologisasi tersebut, masih menyisakan ketidaksepakatan di tingkat massa rakyat, yang berlaku kemudian adalah proses stigmatisasi dengan mengembangkan jargon politik: anti pembangunan, anti ideologi negara (Pancasila) dan berpaham komunis dan lain sebagainya. Sedangkan yang ketiga adalah bila terdapat perlawanan yang keras maka pemerintah dengan segera menggunakan pendekatan keamanan. Karena itu bukanlah kebetulan jika bentuk negara otoriter birokratis ini didukung penuh oleh kekuatan militer.

Semenjak saat itulah perspektif nasionalisme kita seakan telah mengalami sebuah proses pembalikan 180 drajat, dari yang semula nasionalisme yang sangat populis dan penuh dengan ide-ide kerakyatan menjadi sebuah proses hegemoni dan ketertundukan supremasi sipil terhadap lembaga negara,…kesadaran kritis dibungkam,…derasnya arus investasi modal asing beserta berbagai produk kebudayaannya ikut meramaikan era ini dikarenakan adanya sebuah legitimasi serta perlindungan dari penguasa mulai dari rezim orba sampai saat ini era reformasi yang sudah hampir 1 dasawarsa (adanya UUPMA serta berbagai penandatanganan kontrak karya adalah salah satu contoh mutlak dari adanya sebuah legitimasi negara terhadap investasi modal asing).

Dalam hal ini ketika kita coba untuk mengkaji kembali mengenai kapitalisme global yang terjadi saat ini yang cenderung mengikis rasa kemanusiaan dan frame kebangsaan karena yang terpenting bagi kaum imperialis global ialah bagaimana sebuah pengusaan negara bahkan bagaimana penguasaan dunia yang tanpa batas oleh sebuah dominasi pasar,…dalam perspektif Marxisme yang mengungkap bahwasannya hal yang melekat terhadap kapitalisme ialah adanya meerwarde/nilai lebih yang hanya dinikmati oleh beberapa kelompok kartel besar layaknya sebuah sistem oligarkhi, proses ini bisa dilakukan dengan berbagai cara, seperti penjajahan, baik klasik maupun modern, Soekarno pun pernah mengatakan bahwa akan ada bahaya dari imperialisme modern yang sangat lebih berbahaya dari model penjajahan dalam bentuk klasik,…(__akibatnya mengalirlah kapital itu keluar, istimewa ke negeri-negeri lain yang belum maju ekonominya dan miskin akan modal, misalnya aliran kapital Prancis dan Inggris ke Rusia dan kapital Belanda ke Timur, aliran kapital keluar ini tidak hanya berupa uang saja. Negeri negeri yang mengeluarkan kapital itu juga mengirimkan mesin-mesin, mendirikan pabrik-pabrik, membikinkan jalan-jalan kereta api dan pelabuhan-pelabuhan, dan lain-lain. Dalam banyak hal bagi penanam modal lebih menguntungkan memasukkan uangnya dalam onderneming-onderneming di negeri-negeri yang terbelakang ekonominya, dimana tenaga buruh murah dan keuntungan tidak dibatasi oleh undang-undang perburuhan dan sebagainya,dan inilah empat sifat imperialisme modern, pertama Indonesia tetap menjadi negeri pengambilan bekal hidup, kedua Indonesia menjadi negeri pengambilan bekal-bekal untuk pabrik-pabrik di Eropa, ketiga Indonesia menjadi negeri pasar penjualan barang-barang hasil dari macam-macam industri asing, keempat Indonesia menjadi lapangan usaha bagi modal yang ratusan, ribuan jutaan rupiah jumlahnya, Soekarno dalam pidato pembelaan di depan pengadilan kolonial Belanda. Bandung 1930)

So,…apakah kita akan diam saja dan hanya menjadi sub ordinat dari negara yang saat ini hanya menjadi komprador imperialisme modern dengan perspektif nasionalismenya sebagai sebuah paham ketaatan terhadap segala kebijakan negara, atau dengan perspektif nasionalisme sebagai sebuah semangat untuk mewujudkan masyarakat yang bebas dari proses exploitation de lhomme par lhomme serta exploitation nation par nation (yang terjadi sebagai imbas dari proses kapitalisme modern) sesuai dengan salah satu amanat dari pembukaan manifesto politik bangsa Indonesia yaitu UUD 1945 yang secara tegas menyebutkan Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan.

,…Entahlah,.. kapan jaman edan ini berakhir??....

*Mahasiswa jurusan Sejarah Universitas Jember dan Ketua Biro Penerbitan Centre of Local and Politics Studies (CoLEPS) Jember

No comments: