Momentum

MAYDAY 2007

Friday, June 15, 2007

Setahun Lumpur Lapindo: Yang Salah Masih Melenggang

Willy Aditya*

Setahun sudah luapan lumpur panas PT Lapindo Brantas memorak-porandakan Sidoarjo, Jawa Timur. Lumpur itu talah menelan puluhan pabrik, ratusan hektare sawah, dan permukiman penduduk. Demikian juga tambak-tambak bandeng, harus berhenti beroperasi. Jalur transportasi di daerah itu juga terganggu. Nilai kerugian semua itu melampui Rp 7 triliun.

Pada November 2006 keluarlah Keputusan Presiden Nomor 13 Tahun 2006 tentang Penanggulangan Dampak Lumpur Lapindo. Keppres itu mewajibkan PT Lapindo Brantas bertanggung jawab atas semua dampak semburan lumpur tersebut.

Dana yang diperlukan untuk penanganan lumpur panas diperkirakan mencapai US$ 140 juta sampai US$ 170 juta. Selain itu, anggaran pemindahan masyarakat diperkirakan mencapai Rp 1 triliun sampai Rp 2 triliun. Terkait dengan itu, kelompok usaha Bakrie Brothers, salah satu pemilik saham PT Lapindo, telah mengucurkan pinjaman US$ 30 juta kepada perusahaan itu.

Bagaimanakah semburan lumpur panas bersuhu 60 derajat celcius itu bisa terjadi? Dirjen Mineral dan Batu Bara Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Felix Sembiring menyatakan ada tiga diagnosis penyebab luapan lumpur: Kesalahan teknis pengeboran, kesalahan manusia, dan proses alam.

Sedangkan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia menyatakan semburan lumpur Lapindo adalah bentuk malapraktik di bidang pertambangan. Menurut Direktur Eksekutif Walhi Chalid Muhammad, pemerintah gagal mengawasi aktivistas pertambangan.

Lapindo punya pendapat berbeda: semburan lumpur itu terjadi karena efek gempa di Yogyakarta pada 27 Mei 2006. Namun banyak kalangan yang membantah pernyataan tersebut. Bahkan, Ketua Komisi II DPR RI Sony Keraaf mengatakan pernyataan Lapindo itu merupakan manipulasi fakta.

Menurut catatan Walhi, seperti dikutip vhrmedia.net, kasus lumpur Lapindo di Sidoarjo hanyalah satu dari sederetan kebocoran pipa pengeboran gas di Indonesia. Sebelumnya, pipa milik PT China National Offshore Oil Corporation yang beroperasi di Teluk Jakarta pernah bocor dan meledak. Gas hydrogen sulphide (H2S) PT Petrokimia yang beroperasi di Gresik, Jawa Timur, meledak dan mengakibatkan kebakaran hebat. Selain itu, pipa PT Caltex di Riau pernah meledak dan mengakibatkan kebakaran rumah penduduk.

Pada 18 Mei 2006, 11 hari sebelum semburan gas, PT Lapindo Brantas sudah diingatkan agar memasang pipa selubung oleh rekanan proyek. Pipa harus dipasang sebelum pengeboran mencapai formasi Kujung (lapisan tanah yang diduga mengandung gas atau minyak) pada kedalaman 2.804 meter. Namun, Lapindo belum memasang casing berdiameter 5/8 inci itu, walau pengeboran sudah mencapai kedalaman 2.590 meter. Padahal, pemasangan casing merupakan syarat keselamatan yang harus dipatuhi (Kompas, 19/6/06).

Tampaknya para pemilik modal PT Lapindo Brantas berdiri pongah di tengah penderitaan masyarakat. Belum ada tindakan pemerintah terhadap perusahaan yang melanggar hak-hak warga tersebut.

Fenomena semburan lumpur panas di Sidoarjo hanyalah satu contoh kecil betapa masalah lingkungan disepelekan oleh negara. Hadi S Alikodra, Guru Besar Fakultas Kehutanan Iinstitut Pertanian Bogor mengatakan, “Saat ini persoalan lingkungan masih sebatas jargon-jargon yang tenggelam setelah seminar, rapat kerja, ataupun workshop. Agenda lingkungan yang disiapkan Kementerian Lingkungan Hidup sering kali dianggap angin lalu. Akibatnya, kerusakan lingkungan terus meningkat dan sepertinya manusia tanpa daya untuk mencegah dan menghentikannya.”

Pernyataan itu diperkuat Walhi Jawa Timur yang menyayangkan sikap pemerintah yang menyederhanakan masalah lingkungan hidup pada kasus semburan lumpur panas Lapindo di Sidoarjo. Padahal, mendapatkan lingkungan yang sehat merupakan hak asasi manusia.

Kerusakan lingkungan fisik mengganggu kesehatan warga. Lily Pudjiastuti, anggota tim ahli Institut Teknologi Surabaya, mengatakan lumpur panas Lapindo bisa menyebabkan infeksi saluran pernapasan dan iritasi kulit. Lumpur tersebut juga mengandung bahan karsinogenik yang bila menumpuk di tubuh bisa menyebabkan penyakit serius seperti kanker. Jika masuk ke tubuh anak dengan jumlah berlebihan, bisa menurunkan kecerdasan. Dari 10 kandungan kimia yang dijadikan parameter, 9 di antaranya telah jauh melampaui baku mutu limbah cair sesuai dengan Surat Keputusan Gubernur Jawa Timur. Kandungan logam berat (Hg), misalnya, mencapai 2,565 mg/liter Hg. Padahal, baku mutunya 0,002 mg/liter Hg.

Sedangkan menurut sampel lumpur yang dianalisis Laboratorium Uji Kualitas Air Dinas Pekerjaan Umum Bina Marga Jawa Timur, lumpur itu mengandung fenol. Menurut Guru Besar Kesehatan Lingkungan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga Prof Mukono, fenol merupakan bahan berbahaya bagi kesehatan. Jika fenol mengenai kulit, dapat membuat kulit terbakar dan gatal-gatal. Fenol bisa menyebabkan sel darah merah pecah, jantung berdebar, dan gangguan ginjal.

Pada Agustus 2006 Greenomics Indonesia memperkirakan kerugian akibat lumpur Lapindo Rp 33 triliun lebih. Perinciannya, biaya penanganan sosial dan pembersihan lumpur Rp 7,96 triliun; nilai ekologi yang hancur Rp 4,63 triiun; biaya restorasi lahan agar menjadi produktif Rp 3,97 triliun; kerugian atas pertumbuhan ekonomi regional kira-kira Rp 4,34 triliun; biaya pemulihan iklim bisnis Rp 5,79 triliun; biaya kehilangan kesempatan Rp 2,88 triliun; dan kerugian karena ketidakpastian ekonomi Rp 3,7 triliun.

Ironis! Mereka yang seharusnya bertanggung jawab penuh atas sebuah tragedi malah melenggang, seolah tak tersentuh hukum. Enam tersangka penyebab lumpur yang diperiksa kepolisian hanyalah para operator lapangan. Sementara para pemilik dan direktur perusahaan tak juga diperiksa polisi.

Anehnya, Fadhilah Supari menyatakan lumpur panas tidak menimbulkan dampak kesehatan dan korban. Padahal, menurut pengamatan aktivis Walhi Jawa Timur, di sekitar lokasi semburan lumpur ditemukan warga yang menderita sesak nafas. Jadi, apakah pemerintah hendak menganggap enteng dampak lumpur Lapindo?

*Ketua Litbang VHR dan anggota PRP

No comments: