Momentum

MAYDAY 2007

Saturday, June 16, 2007

KOMUNIKASI ARSITEKTURAL PASCA BENCANA

Prathiwi Widyatmi Putri*

Bencana alam datang entah menjemput maut dan atau menyisakan ratusan ribu orang kehilangan rumah dan mata pencahariannya. Rekonstruksi permukiman adalah salah satu kunci dalam rehabilitasi kehidupan para korban. Peran arsitek dalam proses ini adalah meninggalkan egonya sebagai perancang dan menjadi fasilitator untuk masyarakat menjadi perancang bagi dirinya sendiri.

Banyak arsitek dan pekerja kemanusiaan berfikir, partisipasi masyarakat dalam rekonstruksi rumah tinggalnya sudah cukup ketika ada beberapa pilihan bentuk rumah. Menawarkan beberapa alternatif desain ternyata tidaklah cukup. Lebih luas lagi, menjaga konsistensi partisipasi masyarakat dalam keseluruhan program rehabilitasi adalah kunci program yang sukses.

Perdebatan tentang cara efisien dan efektif dalam rekonstruksi perumahan selalu mewarnai rehabilitasi pasca bencana. Kita dapat menyederhanakan berbagai pilihan proses dalam tiga besar pendekatan: owner-driven approach, participatory housing approach, contractor-driven approach**. Pendekatan pertama memungkinkan masyarakat membangun rumahnya kembali oleh dirinya sendiri dengan bantuan finansial, material bangunan dan atau asistensi teknis. Dalam pendekatan ini, tidak ada penyeragaman baik dalam bentuk desain maupun metologi membangun. Dalam pendekatan ketiga, para profesional merancang dan membangunkan rumah bagi para korban setelah beberapa tahap sosialisasi dilakukan. Pendeknya, masyarakat menerima kunci rumah siap pakai. Pendekatan partisipatif adalah sebuah kompromi atas dua pilihan pelaku utama dalam rekonstruksi permukiman: organisasi donor melalui kontraktor profesional atau masyarakat sebagai pemilik rumah.

Masing-masing pendekatan akan menjadi pilihan terbaik jika sesuai dengan kondisi yang ada. Kerap terjadi bahwa para keluarga terserap dalam rehabilitasi mata pencahariannya sehingga mereka menyerahkan keputusan bentuk dan metode membangun rumah kepada pemerintah atau lembaga donor. Kondisi ini memungkinkan menambah kerentanan penghuni, terutama kaum ibu, anak perempuan, orang-orang dengan cacat tubuh dan orang tua tunggal. Rumah adalah ruang personal setiap keluarga sehingga keinginan dan kebutuhan khusus harus diakomodasi. Oleh karena itu, proses fasilitasi dalam pengambilan keputusan desain dan metode konstruksi oleh masyarakat harus dilalui walaupun pada akhirnya konstruksi dilakukan oleh kontraktor profesional yang ditunjuk oleh pemerintah atau organisasi pemberi donor.

Kapankah saat yang tepat untuk melakukan proses fasilitasi desain? Sebelumnya, perlu disepakati suatu siklus umum pasca bencana dan kebutuhan rekonstruksi rumah tinggal. Pemerintah perlu dengan tegas membagi fase tanggap darurat, peralihan, dan pembangunan kembali. Dengan demikian, kebutuhan akan shelter pun dijawab dengan misi yang jelas, apakah emergency, temporary shelter, dan atau permanent housing. Lebih lanjut lagi, apa bentuk bantuan dan siapa yang menjalankan, apakah pemerintah pusat, daerah dan atau organisasi non-pemerintah.

Berdasarkan pengalaman penulis, sampai sekitar 2 atau 6 bulan pertama pasca bencana bisa disebut sebagai tahap ‘saving lives’, ketika semua berperan untuk mencegah jatuhnya korban tambahan. Setelah tahapan ini dilalui, masyarakat mulai menggeliat dan berupaya keras mengandalkan dirinya sendiri untuk keluar dari trauma bencana dan memulai sesuatu yang baru. Pada suasana inilah proses fasilitasi desain tepat dilakukan.

Setelah beberapa bulan dalam pengungsian, kebutuhan akan privasi begitu kuat: keinginan tinggal terpisah dari keluarga lain, anak perempuan memiliki ruang sendiri dan kaum ibu ingin punya dapur sendiri. Pada saat yang bersamaan, keinginan untuk kembali bekerja dan bersekolah telah muncul. Gairah yang muncul kembali ini harus dimanfaatkan dengan baik sebagai kekuatan menata kehidupan yang lebih baik. Apabila gairah besar ini tidak terfasilitasi, trauma dan rasa frustasi tahap kedua akan datang. Janji-janji bantuan pun memperburuk suasana. Jika momentum telah hilang, apatisme masyarakat mendominasi dan kegagalan program menunggu.

Pada tahap fasilitasi ini masyarakat diajak untuk bersikap realistis. Tidak pernah terjadi, ada bantuan yang menjawab semua kebutuhan. Artinya, masyarakat memutuskan dari alokasi yang ada, bantuan luar ditambah kekuatan sendiri, akan menjadi bentuk apa dan bagaimana. Kesadaran akan pentingnya mengadvokasi diri sendiri juga dibangun pada tahap ini, entah itu tuntutan untuk kasus lahan, akses air bersih maupun listrik.

Fasilitasi harus dilakukan secara lengkap, dari skala desa sampai skala rumah tangga. Pada rembug desa, hal pertama yang disepakati adalah lokasi hunian yang diinginkan, kembali ke persil asal ataukah harus relokasi. Pemetaan lokasi dan membuat masterplan desa bersama masyarakat juga merupakan bentuk terapi kelompok untuk keluar dari trauma. Metode konstruksi, kebutuhan tenaga tukang, waktu bertukang juga perlu disepakati bersama. Pada rembug kelompok kecil, dibicarakan desain menyangkut skala hunian tunggal, mulai dari bentuk atap sampai sistem sanitasi. Perlu diingat bahwa proses fasilitasi juga berfungsi sebagai sarana edukasi, mulai dari pengenalan bangunan tahan gempa sampai penggunaan kakus dengan septic tank.

Dalam fasilitasi desain, diperlukan gambar yang komunikatf, menarik dan dilengkapi oleh model tiga dimensi yang bisa dibongkar-pasang oleh masyarakat sendiri. Pada keputusan-keputusan tertentu, pertemuan antara laki-laki dan perempuan perlu dipisahkan. Hal ini perlu untuk merumuskan bukan hanya kebutuhan mereka yang berbeda, tetapi juga kebutuhan kelompok rentan mengingat sensitivitas mereka akan kelompok ini juga berbeda. Seringkali kelompok rentan (manula, yatim/piatu, orang sakit dan diffable, orang tua tunggal) sulit untuk dikumpulkan, sementara waktu dan tenaga tidak memungkinkan untuk menemui mereka satu persatu.

Suatu keberhasilan awal telah dicapai ketika sebuah kelompok melahirkan konsensus bersama akan kualitas hidupnya. Namun persoalan belum terjawab sepenuhnya. Sebuah pertanyaan besar menanti: bagaimana memastikan bahwa konsensus yang dihasilkan akan dilaksanakan oleh anggota kelompok dan dihormati oleh pihak luar? Pekerjaan rumah kita yang pertama adalah pemerintah mempunyai visi, misi dan tahapan yang jelas dalam penanganan bencana.

Catatan:
Semua foto milik penulis, diambil di Lamno, Aceh Jaya. Keterangan foto ada pada nama file foto.

*Selama 2005-2006 bekerja untuk sebuah organisasi internasional dalam rekonstruksi Aceh dan Yogyakarta. Saat ini bekerja di Bandung untuk sebuah pusat studi. Dapat dihubungi melalui gelapnyawang4@gmail.com.

**Lihat penelitian akan 5 pendekatan rekonstruksi pasca gempa Gujarat Januari 2001 dalam: Barenstein, Jennifer Duyne. Housing reconstruction in post-earthquake Gujarat. Humanitarian Practice Network, 2006.


No comments: