PERNYATAAN SIKAP
PERHIMPUNAN RAKYAT PEKERJA (PRP)
Memperingati Hari Perempuan Internasional
Salam Rakyat Pekerja,
Tanggal 8 Maret kita peringati sebagai Hari Perempuan Internasional, dimana dengan merayakannya kita berusaha mengkaitkan ingatan dan penghargaan kita terhadap perjuangan perempuan untuk menghilangkan berbagai bentuk kekerasan dan diskriminasi yang dialami – tidak hanya yang dialaminya sendiri tetapi juga oleh masyarakat. Dalam sejarahnya Hari Perempuan Internasional dipelopori oleh inisiatif perayaan Hari Perempuan oleh Partai Sosialis Amerika sejak 1909 yang terkait kuat dengan semangat menolak kondisi kerja yang buruk yang dialami pekerja terutama perempuan. Perayaan disepakati secara internasional dimulai sejak dirumuskan oleh Kongres Sosialis Internasional pada 1910.
Perayaan Hari Perempuan Internasional telah mampu menggerakkan aksi massa yang penting menjadi bagian dari gerakan anti perang yang menolak pecahnya Perang Dunia I, juga membangkitkan keberanian menyuarakan dengan terbuka tuntutan memberikan hak sipil politik yang setara bagi perempuan. Kaum perempuan di Rusia pada tahun 1917 bergerak melakukan demonstrasi besar-besaran menyuarakan tuntutan “Roti dan Perdamaian” sebagai reaksi atas kemiskinan dan perang yang menyengsarakan rakyat pekerja. Penguasa berusaha menentang aksi itu tapi tidak berhasil menghentikannya, bahkan 4 hari kemudian Kekuasaan Tzar tumbang dan pemerintah sementara yang menggantikan memberikan hak pilih secara politik bagi perempuan. Sejarah mencatat bahwa aksi perempuan Rusia itu terjadi pada tanggal 8 Maret, sejarah juga yang mengingatkan bahwa perjuangan perempuan adalah bagian penting perjuangan rakyat pekerja.
Namun, ketika kita melihat kondisi perempuan di Indonesia saat ini, kekerasan yang dialami oleh perempuan tidaklah jauh berbeda dibandingkan pada tahun 1900-an walau dengan bentuk yang berubah-ubah. Kebijakan pemerintah mencabut subsidi kesehatan, pendidikan, BBM dan Tarif Dasar Listrik, dan semakin menguatnya budaya patriarkhi telah membawa dampak yang luas pada sendi-sendi kehidupan perempuan, khususnya dari kalangan rakyat pekerja dan kaum miskin lainnya. Realitas tersebut menyebabkan perempuan menerima ketidakadilan ganda, kaum perempuan miskin tidak hanya mengalami ketidakadilan jender atau kekerasan yang terwujud dalam bentuk subordinasi, domestifikasi, marginalisasi dan beban kerja berlebih yang terjadi di berbagai tingkatan, tetapi juga mengalami ketidakadilan karena posisi sosial mereka yang berada pada lapisan bawah masyarakat.
Kelas bawah secara struktural cenderung kurang atau bahkan tidak memiliki akses di segala bidang baik ekonomi, kesehatan maupun pendidikan. Tingkat ekonomi maupun tingkat pendidikan umumnya rendah. Faktor minimnya akses yang mereka miliki membuat perempuan miskin lemah dalam daya tawar politik bahkan sangat banyak yang tidak dapat masuk dalam kerja sektor formal. Mereka akhirnya mengisi ranah pekerjaan yang selama ini dianggap oleh masyarakat bukanlah bagian dari kerja produksi yaitu bekerja di sektor domestik alias Pekerja rumahtangga. ILO memperkirakan ada 2,6 juta perempuan yang bekerja sebagai pekerja rumah tangga di Indonesia, 688.000 di antaranya adalah anak-anak, termasuk 640.000 anak-anak perempuan berusia di bawah 18 tahun. Bagi perempuan miskin, bekerja sebagai pekerja rumah tangga merupakan jalan yang mudah untuk dapat memenuhi kehidupan keluarga.
Namun peran besar perempuan tersebut dalam menghidupi keluarganya ternyata tidak disertai oleh perlindungan hukum yang merupakan kewajiban negara. Sampai saat ini UU ketenagakerjaan yang ada di Indonesia tidak memasukkan PRT sebagai bagian dari kelas pekerja. Hal tersebut menyebabkan perempuan dan anak perempuan rentan mengalami berbagai bentuk kekerasan di dalam bekerja antara lain: gaji yang tidak dibayar, kekerasan seksual, jam kerja yang panjang, perbudakan, bekerja tanpa hari libur, kekerasan psikis, dan penyiksaan fisik seperi pemukulan sampai pembunuhan. Masih teringat kasus pembunuhan yang dialami oleh Hasmiyati (Makassar), penyiksaan fisik yang dialami oleh Eni dan Eti (Jakarta), Nurbaya, serta PRT yang lainnya merupakan potret kondisi kerja PRT di Indonesia. Jala PRT mengungkapkan sejak tahun 2000-2006 terdapat 206 kasus kekerasan terhadap PRT yang terungkap. Dari berbagai kasus tindak kekerasan tersebut, ternyata kondisi PRT masih tetap sama, mereka harus hidup dengan berbagai ancaman kekerasan yang menanti mereka.
Sesungguhnya payung hukum untuk melindungi PRT (baca=perempuan) telah ada antara lain: Amandemen UUD 1945, khususnya amandemen kedua Pasal 28 UUD 1945 yang mencantumkan ketentuan bahwa setiap orang harus bebas dari diskriminasi atas dasar apapun, GBHN Tahun 1999-2004, BAB IV mengenai arah kebijakan tentang kedudukan dan peranan perempuan, UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, UU No. 7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi Konvensi Perempuan (CEDAW), UU No. 23 Tahun 2003 tentang Penghapusan Kekerasan di Dalam Keluarga, Deklarasi Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan. Adanya berbagai payung hukum tersebut ternyata tidak membuat Pemerintah Indonesia mampu memberikan pengawasan dan perlindungan terhadap PRT dari berbagai ancaman kekerasan yang dialami mereka. Pemerintah seolah-olah berpangku-tangan dan membiarkan kekerasan tersebut tetap terjadi.
Berdasarkan kondisi tersebut Perhimpuan Rakyat Pekerja, pada perayaan Hari Perempuan Internasional 2007 ini mendesak kepada pemerintah untuk:
1. Mengatur lewat UU tentang perlindungan terhadap PRT dan mereka yang melakukan kerja domestik.
2. Melakukan revisi terhadap defenisi pekerja dalam UU ketenagakerjaan yang memasukkan PRT dan kerja domestik atau sektor informal lainnya sebagai bagian dari pekerja.
3. Memberikan pelayanan yang maksimal terhadap korban kekerasan yang dialami oleh perempuan dan anak perempuan.
4. Memastikan di tengah situasi BENCANA Nasional (Gempa, Tsunami, Banjir, Kekurangan Gizi Massal, dll) yang tidak berkesudahan ini, Perempuan mendapat subsidi langsung khusus untuk Kesehatan peremupuan, ibu dan Anak.
5. Penyaluran Subsidi bagi Perempuan harus dilakukan di lingkungan tempat tinggal dengan mendorong kaum perempuan bersama kelompok gerakan sosial yang peduli untuk membangun “Posko Kesehatan dan Pengasuhan Anak/Daycare Komunitas”. Dengan demikian ancaman kesehatan dan gizi buruk bisa ditanggulangi secara sosial dan tidak melulu tergantung berapa banyak uang yang dimiliki tiap orang untuk membayar kesehatan dan pengasuhan anak. Posko ini terutama mengatasi kurangnya perhatian terhadap rakyat pekerja yang bekerja di luar rumah dan kehilangan kesempatan mengasuh anak.
Semangat perayaan Hari Perempuan Internasional adalah bicara tentang hak Perempuan dan cita-cita perubahan masyarakat yang lebih adil dan sejahtera. Selamat Hari Perempuan Internasional 2007, Bangkit dan Maju lah Rakyat Pekerja Perempuan Indonesia.
Komite Pusat
Perhimpunan Rakyat Pekerja
Jakarta, 8 Maret 2007
Sekretaris Jenderal
Irwansyah
Thursday, March 29, 2007
Memperingati Hari Perempuan Internasional
Posted by
Perhimpunan Rakyat Pekerja
at
3:59 PM
Labels: Pernyataan Sikap
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment