PERNYATAAN SIKAP
PERHIMPUNAN RAKYAT PEKERJA (PRP)
Usut tuntas kasus penghilangan paksa !!!
Adili para pelaku pelanggar HAM !!!
Salam Rakyat Pekerja,
Sampai saat ini masih saja kasus-kasus pelanggaran HAM di Indonesia belum dapat diselesaikan dengan seadil-adilnya. Bahkan ada indikasi bahwa pemerintah seakan-akan enggan untuk menyelesaikan kasus ini secara tuntas. Salah satunya adalah kasus penghilangan paksa aktivis pada tahun 1997-1998. Kasus yang telah bergulir selama hampir 10 tahun ini belum juga dapat diselesaikan oleh pemerintah.
Pada tanggal 8 November 2006, Rapat Paripurna Komnas HAM telah menetapkan bahwa kasus penghilangan paksa 1997/1998 merupakan pelanggaran HAM Berat, rekomendasi agar pemerintah melalui Jaksa Agung untuk melakukan penyelidikan belum juga dilaksanakan. Dalam laporannya, Komnas HAM menyatakan bahwa telah terjadi tindak kejahatan terhadap kemanusiaan dalam bentuk: perampasan kemerdekaan, penyiksaan, penganiayaan, penghilangan orang secara paksa hingga pembunuhan terhadap sedikitnya 24 orang. Perbuatan itu diduga dilakukan, baik secara langsung dan tak langsung, oleh 27 orang pelaku.
Dalam kesimpulan dan rekomendasinya, Komnas HAM meminta agar laporan ini ditindaklanjuti Kejaksaan Agung, DPR RI dan Presiden untuk dibawa ke pengadilan HAM. Selain itu, perlu upaya adanya diupayakan rehabilitasi, kompensasi dan restitusi bagi korban dan keluarga korban.
Hasil kesimpulan Komnas HAM ini memiliki makna dan konsekuensi yang penting. Makna penting dari kesimpulan ini adalah adanya bukti awal telah terjadi praktek penghilangan paksa di Indonesia. Hingga hari ini sebagian besar korban masih belum diketahui nasib dan keberadaannya.
Penghilangan paksa, sebagaimana diatur dalam UU Pengadilan HAM, sebagai sebuah tindakan kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity) memiliki dimensi yang lebih kejam dan serius. Sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan, unsur keterlibatan negara (aparat negara) sangat dominan, karena adanya latarbelakang kekuasaan otoriter. Dalam penghilangan paksa, dominasi keterlibatan Negara dan aparatnya muncul ketika karakter serangan terhadap suatu kelompok sipil secara sistematik dan meluas telah ditemukan seperti yang disimpulkan oleh Komnas HAM.
Penghilangan paksa juga bukan sekedar merampas kemerdekaan seseorang, tetapi seringkali diringi dengan penyiksaan fisik dan mental, intimidasi, bahkan pembunuhan. Hal ini karena adanya latar belakang politik dan upaya pemberangusan suatu kekuatan politik.
Namun kesimpulan dan rekomendasi yang dihasilkan oleh Komnas HAM ternyata tidak ditindaklanjuti oleh Kejaksaan Agung. Kejaksaan Agung bersikukuh bahwa kasus ini seharusnya diselesaikan melalui Pengadilan HAM Ad Hoc. Pengadilan HAM Ad Hoc ini memerlukan rekomendasi dari DPR untuk membentuk lembaga ini. Hal ini dikarenakan kasus ini terjadi sebelum diberlakukannya UU Pengadilan HAM sehingga diperlukan Pengadilan HAM Ad Hoc untuk menyelidikinya. Jaksa Agung bahkan bersikeras bahwa seharusnya yang menentukan kasus tersebut merupakan pelanggaran HA berat atau bukan adalah DPR.
Sedangkan Komnas HAM berpendapat bahwa sebenarnya untuk menangani kasus ini tidak diperlukan Pengadilan HAM Ad Hoc, dan hanya diperlukan Pengadilan HAM biasa. Hal ini dikarenakan individu-individu yang diculik dan belum kembali, tidak diketahui keberadaan dan nasibnya, sehingga dapat diasumsikan bahwa mereka saat ini masih hidup. Bila mereka dianggap masih hidup, maka kasus penghilangan paksa ini merupakan sebuah kejahatan yang masih berlangsung sampai saat ini.
Dengan argumentasi tersebut, maka Perhimpunan Rakyat Pekerja berpendapat bahwa tidak ada niat baik dari pemerintah, khususnya Kejaksaan Agung untuk mengusut kasus ini hingga tuntas. Jelas bahwa DPR tidak berhak untuk menentukan kasus ini merupakan pelanggaran HAM berat atau tidak, karena DPR merupakan lembaga politik, bukan lembaga penyelidik kasus pelanggaran HAM. Kejaksaan Agung tidak beritikad untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat. Kejakgung hanya bergerak di wilayah retorika dan di wilayah hukum.
Hingga saat ini, pemerintah terlihat masih enggan untuk menghentikan kejahatan penghilangan paksa ini. Pemerintah membentengi diri dengan perdebatan tafsir hukum yang sebenarnya lebih menjurus pada kalkulasi politik. Kondisi ini dapat dengan mudah dipahami ketika melihat keterlibatan petinggi militer yang dapat diminta pertanggungjawaban.
Ketidakseriusan pemerintah dalam menuntaskan kasus penghilangan paksa ini dapat ditelusuri dari laporan Komnas HAM mengenai berbagai kendala yang bersumber pada institusi TNI yang menolak pemanggilan Komnas HAM, penolakan Kejaksaan Agung untuk memberi ijin memeriksa tempat-tempat penculikan, serta penolakan Pengadilan Negeri untuk melakukan upaya pemanggilan paksa dengan alasan belum ada keputusan politik mengenai hal tersebut. Terakhir Kejaksaan Agung menolak meneruskan rekomendasi Komnas HAM dengan alasan menunggu rekomendasi DPR.
Terlepas dari perdebatan tafsir hukum dan kalkulasi politik tersebut, hal yang juga maha penting bagi keluarga korban penghilangan paksa adalah mengetahui keberadaan anggota keluarganya yang masih hilang. Tanggungjawab Negara untuk mengembalikan mereka yang dihilangkan bukanlah sekedar rintihan keluarga korban, tetapi merupakan kewajiban yang diatur oleh hukum internasional dan nasional. Dalam Declaration on the Protection of all Persons from Enforced Disappearance (1992) misalnya, Negara wajib mengambil upaya-upaya legislatif, administratif, yudikatif dan upaya lain yang efektif untuk mencegah dan menghentikan praktek penghilangan paksa di wilayah hukum Negara tersebut. Ada juga kewajiban Negara untuk melindungi dan menegakkan HAM yang diatur dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Maka dari itu kami dari Perhimpunan Rakyat Pekerja menyatakan sikap:
1. Negara harus bertanggung jawab untuk mengembalikan orang-orang yang telah dihilangkan, karena hal ini merupakan kewajiban negara dalam melindungi rakyat dan menghentikan pelanggaran HAM di Indonesia.
2. Menuntut Jaksa Agung untuk segera menyelidiki kasus Penghilangan Paksa tahun 1997/1998 hingga tuntas serta mengadili para pelaku pelanggar HAM.
3. Negara harus menjamin, melindungi dan menegakkan HAM bagi rakyatnya, karena hal ini merupakan tanggung jawab negara.
Jakarta, 30 Januari 2007
Sekertaris Jenderal
Irwansyah
Thursday, March 29, 2007
Penuntutan penuntasan kasus penghilangan paksa
Posted by
Perhimpunan Rakyat Pekerja
at
3:53 PM
Labels: Pernyataan Sikap
Subscribe to:
Post Comments (Atom)





















No comments:
Post a Comment