Sekilas Latar BelakangHari Buruh Internasional, yang dikenal sebagai May Day, berawal dari sebuah aksi pemogokan nasional di Amerika Serikat menuntut penurunan jam kerja dari sepuluh jam menjadi delapan jam sehari. Aksi ini diorganisir oleh gabungan serikat-serikat kerja terkemuka di Amerika Serikat, American Federation of Labour dan International Workers of the World. Dua ratus ribu orang buruh bergerak melakukan pemogokan di seluruh Amerika Serikat pada tanggal 1 Mei 1886 itu.
Sekalipun kaum buruh melakukan aksinya dengan damai, seperti biasanya, kaum pengusaha segera memanggil para tukang pukulnya, tentara dan polisi, untuk melakukan represi. Di Chicago, McCormick Harvester Company, sebuah perusahaan pengolahan makanan, mengunci seluruh buruhnya di pabrik supaya tidak dapat ikut dalam pawai pemogokan nasional itu. Kaum buruh melakukan perlawanan dan polisi membuka tembakan yang menewaskan empat dari para pemogok. Keesokan harinya, di Haymarket Square, Chicago, seluruh buruh di kota itu melakukan pawai damai untuk memprotes penembakan keji itu. Entah dari mana datangnya (penyelidikan polisi berakhir dengan pemetiesan kasus) sebuah bom meledak di dekat barisan polisi dan menewaskan tujuh orang polisi. Kontan saja para buruh diserbu dengan kekuatan penuh. Puluhan buruh tewas dan 200 luka-luka akibat serbuan ini.
Insiden Haymarket Square ini merupakan satu alasan bagi pemerintah Amerika Serikat untuk mengadakan crackdown terhadap serikat-serikat buruh Amerika. Seluruh petinggi serikat buruh ditangkap dan dipenjara. Banyak aktivis yang dibunuh dan hilang. Dan gerakan buruh di Amerika Serikat mengalami kemunduran hebat akibat pukulan ini.
Kedua serikat buruh utama yang mendukung pemogokan nasional ini adalah serikat buruh kiri, sosialis. AFL, pada awal didirikannya, adalah sebuah serikat buruh yang melandaskan pergerakannya pada Marxisme. Sedangkan IWW adalah sebuah serikat buruh yang dekat dengan pemikiran-pemikiran anarko-sindikalis. Tidak mengherankan jika kemudian insiden ini terus diperingati oleh serikat-serikat buruh lain secara internasional dan mendapatkan predikat "hari merah" – hari yang diperingati secara khusus oleh kaum sosialis dan komunis sedunia.
Perjuangan Ekonomi dan Perjuangan Politik
Sekilas melihat saja, kita dapat segera menangkap bahwa perjuangan yang berlandaskan pada tuntutan-tuntutan ekonomis sekalipun akan selalu membuahkan akibat-akibat yang politis. Keputusan untuk melakukan crackdown selalu merupakan keputusan yang diambil di tingkat puncak dalam hirarki negara. Hal yang serupa dapat pula kita lihat dalam upaya para pemodal di Indonesia untuk mempersulit pemogokan buruh setelah tingkat pemogokan mencapai rekornya di bulan-bulan pertama tahun 2006 ini.
Hal ini, tidak lain, disebabkan oleh kesalingterkaitan antara ekonomi dan politik. Ekonomi adalah basis, landasan bagi pembuatan keputusan-keputusan politik. Dan sebaliknya, politik adalah alat untuk meregulasi berbagai persoalan yang timbul di sektor ekonomi. Hal ini juga tampak jelas di negeri sendiri. Jatuhnya Soeharto disebabkan terutama oleh krisis ekonomi berkepanjangan yang terjadi sejak tahun 1996. Kemudian gerakan buruh di Indonesia kembali menemui momentumnya ketika adanya isu revisi UU Ketenagakerjaan. Demikian pula posisi SBY-JK semakin rapuh karena ia tidak sanggup melakukan perbaikan-perbaikan ekonomi yang berarti. Krisis politik yang sekarang terjadi juga merupakan akibat dari persaingan para elit politik untuk mendapatkan hak kepemilikan atas sumber-sumber daya ekonomi di negeri ini. Penguasaan sumberdaya ekonomi menentukan bagaimana sumberdaya ekonomi itu akan dipergunakan.
Maka, sejak dini, Marx selalu memperingatkan bahwa ekonomi dan politik tidak dapat dipisahkan. Sekalipun tradisi ini telah muncul sejak jaman Adam Smith, Marx memberi satu tenaga revolusioner ke dalamnya: pemahaman bahwa revolusi politik akan selalu memiliki sandaran dalam (dan menyaratkan) perjuangan ekonomi; dan bahwa revolusi dalam sistem ekonomi menyaratkan adanya revolusi dalam bidang politik.
Perjuangan Buruh sebagai Tenaga Penggerak Utama Revolusi SosialisMengapa harus buruh? Apakah pandangan semacam ini bukan pandangan yang dogmatis? Tiongkok melakukan revolusinya bersandarkan pada tenaga kaum tani dan kaum miskin perkotaan, bukankah itu pertanda bahwa buruh bukan satu-satunya tenaga yang dapat menggerakan revolusi?
Jawabannya sederhana: karena buruh adalah kelas masyarakat yang merupakan anak kandung kapitalisme. Pukulan yang dilancarkan oleh kelas buruh akan langsung menyerang jantung kapital: industri. Pukulan-pukulan kaum tani tidak akan berdampak banyak secara politik sebelum kaum buruh bergerak melumpuhkan urat nadi kapitalisme. Kita dapat melihat bahwa perlawanan kaum tani, yang merebak di awal 1990-an di negeri ini, tidak menggoyahkan sedikitpun sendi-sendi rejim Orde Baru. Bahkan, ketika perlawanan tani mencapai puncak kuantitasnya di tahun 1992, Orde Baru tidak memerintahkan dilancarkannya crackdown. Represi tetap terjadi, dan keji (seperti biasa) tapi dilokalisir semaksimal mungkin. Namun, ketika perlawanan buruh mulai menguat di tahun 1994, dan mencapai kulminasinya di tahun 1996, ketika pawai pemogokan sudah melibatkan lebih dari 10.000 buruh, Orde Baru melancarkan pukulan balasan yang amat keras.
Sebaliknya, kelas tani dan artisan (seniman bebas, para pengrajin dan pedagang kecil) adalah anak kandung sistem feudalisme. Mereka masih tetap bertahan hidup di bawah sistem kapitalisme, sama seperti sisa-sisa feudalisme yang lain, seperti budaya unggah-ungguh (konservatisme moralis), sistem kroni, dan lain-lain, termasuk agama. Kapitalisme perlu untuk memelihara segi-segi paling tidak produktif dari feudalisme ini karena ia sendiri adalah sistem yang tidak efisien, ia harus menyediakan jalan keluar bagi mereka yang tidak dapat diserapnya ke dalam industri. Apalagi jika diperhatikan bahwa sisa-sisa feudalisme ini paling banyak bertahan di negeri-negeri bekas jajahan. Kaum kolonialis dengan sengaja mempertahankan sistem feudalisme ini untuk mempersulit rakyat terjajah dala melakukan revolusi pembebasan nasionalnya. Membuat para pejuang pembebasan nasional harus menghadapi musuh di dua front: kaum feudalnya sendiri dan para kolonialis sekaligus.
Itulah mengapa di negeri-negeri di mana sisa-sisa feudalisme masih kuat berakar revolusi demokratik harus dilancarkan dalam dua tahap: revolusi melawan feudalisme dan revolusi melawan kapitalisme. Revolusi melawan feudalisme (atau juga dikenal sebagai revolusi melawan kediktatoran militer) merupakan jalan untuk mematangkan kapitalisme itu sendiri – memajukan industri, memajukan liberalisme politik dan moral, dan memajukan proletarisasi masyarakat. Maka, dalam masyarakat di mana revolusi anti-kediktatoran tidak dapat segera diteruskan dengan revolusi menggulingkan kapitalisme, tuntutan-tuntutan untuk penyediaan lapangan kerja dan pendidikan akan segera berkumandang. Ini dapat dilihat dalam situasi yang kini terjadi di Afrika Selatan, di mana tuntutan-tuntutan ini menjadi program utama COSATU, serikat buruh terbesar di Afrika Selatan saat ini. Dapat pula dilihat bahwa program utama IMF dan Bank Dunia adalah untuk memotong angka lapangan kerja dan tunjangan sosial, termasuk di antaranya tunjangan pendidikan. Gerakan kontra revolusioner akan segera bekerja untuk menggerogoti keuntungan-keuntungan yang telah membuahkan reputasi politik bagi kaum revolusioner. Di Brasil misalnya, dukungan bagi CUT, sayap buruh dari Partai Buruh Brasil, mengalami kemunduran hebat akibat kegagalannya memperjuangkan pembatalan PHK massal di negeri itu.
Namun, bagi mereka yang berpandangan dialektik, gerakan kontra revolusioner ini mengandung benih-benih keuntungan yang, jika digarap dengan tepat, justru dapat membuahkan kemenangan yang menentukan di dalam revolusi sosialis menggulingkan kapitalisme. Karena dengan represi ekonominya itu, kaum kapitalis membuka front dengan seluruh sektor masyarakat, memungkinkan pembentukan aliansi kelas dan sektor melawan kapitalisme itu sendiri.
Sejarah telah mengajarkan bahwa revolusi sosialis harus segera disusul dengan industrialisasi, proletarisasi di segala bidang. Karena bila tidak demikian, maka sosialisme akan dibangun di atas tiang yang keropos dan usang, tiang-tiang yang menyangga feudalisme. Sosialisme harus dibangun di atas tiang yang baru, yang segar, yang lebih produktif: kelas buruh.
Dari Perjuangan Ekonomi ke Perjuangan Politik
Namun demikian harus disadari bahwa aliansi kelas dan sektor melawan kapitalisme itu hanya mungkin terjadi di atas sebuah basis ekonomi. Persoalan ekonomilah yang menjadi raison d'etre dari aliansi semacam ini. Karena itu, kaum revolusioner harus memulai langkah perjuangannya dari sektor sosial-ekonomi – perjuangan untuk mempertahankan dan meningkatkan kesejahteraan hidup.
Di titik inilah organisasi pelopor harus memainkan perannya. Organisasi pelopor, bukan model monolitik seperti yang dicontohkan oleh Stalin, adalah organisasi yang berjuang untuk memimpin kesadaran perlawanan rakyat dari perjuangan ekonomi menuju perjuangan politik. Dari reformasi menuju revolusi. Dari kemenangan-kemenangan kecil menuju kemenangan yang menyeluruh. Dari transformasi sosial menuju pewujudan epos ekonomi-politik baru. Maka, organisasi pelopor, pertama dan terutama adalah organisasi untuk berpropaganda dan beragitasi. Ia harus mencetak kader-kader untuk bekerja membangkitkan perlawanan rakyat merebut kesejahteraan, dan mendidik rakyat untuk mampu meningkatkan tahap perlawanannya ke tahap perjuangan politik. Kepemimpinan politik akan dicapai oleh sebuah organisasi pelopor jika perjuangan rakyat dapat ditingkatkan dari kesadaran ekonomis menjadi kesadaran politik.
Hari Buruh, May Day, telah lama digunakan untuk kepentingan ini oleh banyak organisasi pelopor di seluruh dunia. COSATU secara khusus melancarkan kampanye "Hari Buruh adalah milik kita" di tahun 1986, yang diikuti oleh jutaan kaum buruh di seluruh Afrika Selatan. Kampanye ini merupakan langkah yang penting bagi mereka karena COSATU kemudian merupakan satu di antara tiga organisasi yang membentuk Aliansi Tripartit (bersama Kongres Nasional Afrika dan Partai Komunis Afrika Selatan) yang kini berkuasa di Afrika Selatan. Dan kini, serikat-serikat kerja merupakan tulang punggung bagi transformasi ekonomi-politik Afrika Selatan pasca apartheid.
Situasi Indonesia sekarang merupakan situasi yang kritis bagi gerakan revolusioner. Di satu sisi, krisis ekonomi telah demikian menajam, dengan melambungnya harga-harga dan terjadinya PHK massal di mana-mana. Bahkan ada indikasi penggadaian negara oleh pemerintah melalui diberlakukannya UU Penanaman Modal yang baru saja disahkan oleh DPR. Situasi ini telah membuahkan perlawanan ekonomi yang spontan, dengan tingkat pemogokan yang mencapai rekornya dalam intensitas dan ekstensitas di bulan-bulan awal tahun 2001. Pada tahun 2006 kembali gerakan buruh melakukan pemogokan yang sangat besar dengan memanfaatkan momentum Mayday. Di sisi lain, terdapat krisis politik yang sama sekali tidak bernuansa kelas, yaitu pertentangan antar elit borjuasi dalam memperebutkan penguasaan atas kapital yang masih tersisa di negeri ini. Bagaimanapun, kaum kapital akan bersatu dalam berhadapan dengan rakyat. Jika kaum revolusioner terlambat memberikan dukungan dan kepemimpinan (dalam makna agitasi dan propaganda politik) melalui isu-isu ekonomi, sangat dikuatirkan bahwa rakyat akan segera mengalami demoralisasi. Dan demoralisasi adalah akar dari rasa frustasi yang akan melahirkan entah anarki atau apatisme.
Berdasarkan hal tersebut, maka jelas bahwa perjuangan rakyat baik itu sektor buruh, tani, mahasiswa dan lain-lain belum selesai. Perlawanan yang radikal dan besar sangat dibutuhkan agar rakyat Indonesia dapat menikmati kesejahteraan. Kebersatuan antar sektor harus mulai dibentuk demi mencapai keadilan dan kemakmuran rakyat Indonesia.
Hari Buruh 1 Mei 2007 harus digunakan sebagai titik start untuk mulai melancarkan segala agitasi dan propaganda ekonomi-politik untuk membangun sebuah aliansi kelas dan sektor yang sejati – bukan antara kaum proletar dengan borjuis progresif, melainkan antara kaum proletar dengan sektor-sektor rakyat tertindas lainnya.
Friday, April 13, 2007
Hari Buruh Internasional: Dari Perjuangan Ekonomi ke Perjuangan Politik
Posted by
Perhimpunan Rakyat Pekerja
at
12:26 PM
Labels: Buruh, Mayday, Sejarah, serial PRP
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment