Momentum

MAYDAY 2007

Tuesday, May 8, 2007

Jalan Panjang untuk mencari Keadilan

Maria Ulinawati*

Tema HAM yang dulunya merupakan mantra yang diharamkan, justru saat ini menjadi agenda formal negara. Perangkat penegakan HAM mulai diproduksi. Tema HAM mulai menjadi wacana terbuka diruang publik dan tercantum di dokumen-dokumen resmi Negara. Sebenarnya hal ini seharusnya sudah merupakan tanggung jawab negara sejak negara itu berdiri. Namun ituah kenyataannya, hal ini baru kembali menjadi wacana kembali setelah beberapa pelanggaran HAM diproses ke tingkat internasional.

Pada tahun 2005 lalu Pemerintah telah meratifikasi dua konvenan utama Hak Asasi Manusia (HAM), yaitu Konvenan Hak sipil dan Politik (SIPOL) dan Konvenan Hak Ekonomi Sosial dan Budaya (EKOSOB). Ini diangap merupakan langkah positif yang ditempuh oleh pemerintah dan kalangan pro demokrasi dengan senang menyambutnya berharap jalan menuju penuntasan kasus-kasus pelangggaran HAM berjalan sesuai dengan keinginan untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM. Namun kenyataan pahit harus ditelan. Pada kenyataannya sampai hari ini pemerintah masih tidak berniat menyelesaikan kasus-kasus besar pelanggaran HAM SIPOL bahkan pemerintah cenderung masih melakukan praktek Impunity atau pengampunan kepada para pelaku pelanggar HAM.

Kasus pelanggaran HAM di bidang Sipil dan Politik (SIPOL) mandek dan tidak pernah mencapai rasa keadilan bagi para korban pelanggaran HAM. Harapan yang ditanamkan pada kedua konvensi tersebut ternyata tetap saja tidak membuat negara untuk mampu menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM. Begitu juga dengan kasus pelanggaran HAM di bidang Ekonomi, Sosial dan Budaya (EKOSOB). Kasus perburuhan tidak kunjung selesai, petani yang dirampas tanahnya juga semakin meningkat, dan biaya pendidikan juga membuat orang miskin tidak mampu menyekolahkan anak-anaknya ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.

Untuk itu mari kita lihat beberapa pelanggaran HAM yang sempat terjadi di Indonesia. Di Indonesia ada banyak kasus pelanggaran HAM SIPOL, kasus besar yang sampai saat ini belum terselesaikan yaitu :
1. Tragedi 1965, yang sampai saat ini kasusnya tidak tersentuh hukum. Para korban sendiri telah berupaya mencari keadilan dengan berbagai cara salah satunya dengan melakukan clas action terhadap Presiden (Pada masa pemerintahan Megawati) dan presiden sebelumnya namun hasilnya ditolak.
2. Kasus Tanjung Priok, saat ini kasusnya telah memasuki gugatan kasasi ke MA atas putusan Pengadilan Negeri Pusat yang menolak konpensasi dan sampai saat ini masih menuggu hasil dari putusan MA.
3. Talangsari, saat ini kasus dalam proses penyelidikan Komnas HAM.
4. Kasus Trisakti Semangi I dan II (TTS) kasusnya masih mandek di Kejaksaan Agung paska keluarnya rekomendasi DPR yang menyatakan dalam kasus penembakan mahasiswa tidak ada unsur pelanggaran HAM berat. Sementara KOMNAS HAM menyatakan ada unsur pelanggran HAM berat dalam kasus TTS.
5. Kasus Kerusuhan Mei 1998, masih mandek di Jaksa Agung paksa rekomendasi tidak ada pelanggaran HAM berat pada kasus TTS.
6. Kasus penculikan 97/98 dan juga mengalami hal yang sama saat sesama lembaga negara proses penuntasan kasus penculikan aktivis 1997-1998 yang saat ini sedang hangat dibicarakan, untuk menindaklanjutin penemuan KOMNAS yang merekomendasikan agar dilakukan penyidikan. KOMNAS HAM , MA, DPR dan presiden saling lempar bola siapa yang berwenang memproses selanjutnya paskah putusan KOMNAS. sejauh ini tetap saja kepastian hukum bahkan ke-13 korban hilang sampai saat ini belum kembali dan nasibnya belum juga didapatkan kejelasannya.
7. Pembunuhan Munir, kasus yang sedang hangat-hangatnya dibicarakan perkembangan terakhir Polri telah menetapkan 2 tersangka baru dari PT.Garuda setelah MA membebaskan Polycarpus dari dakwaan.

Sedangkan untuk kasus pelanggaran HAM di bidang EKOSOB lebih banyak lagi. Hampir setiap hari berita-berita di media massa mengungkapkan tentang pelanggaran-pelanggaran di bidang ini. Sebut saja, sengketa tanah yang terjadi di beberapa daerah di Indonesia, atau makin meningkatnya angka bunuh diri pada anak usia sekolah karena tidak mampu membayar uang sekolahnya. Atau misalnya kasus PHK yang tidak sesuai aturan yang dilakukan oleh sejumlah perusahaan kepada buruhnya. Hal ini belum mampu ditangani oleh pemerintah sampai saat ini, bahkan ada kecenderungan kasus-kasus ini meningkat.

Mekanisme Penyelesaian di bidang SIPOL

Sejauh ini telah ditetapkan berbagai mekanisme penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia yang tertuang dalam produk perundang-undangan yang ada, yaitu pertama, lewat dibentuknya satu Komisi kebenaran dan rekonsiliasi (KKR) dan perangkat UU nya yang bertujuan untuk pengusutan pelanggaran HAM rezim terdahulu dan rekonsiliasi untuk mengakhiri konflik KKR sendiri telah dibubarkan karena diangap masih konroversi . Kedua, pengadilan HAM. Tidak gampang untuk dapat membawa kasus pelanggaran HAM ke pengadilan HAM karena diperlukan berkas-berkas dan saksi-saksi hidup yang untuk beberapa kasus sudah sangat sulit dipenuhi. Namun tetap saja salah satu contoh Kasus Tanjung Priok yang diselesaikan lewat pengadilam HAM putusan yang ada sangat menggecewakan korban, tidak ada pelaku yang di tahan lalu korban dan keluarga juga tidak mendapatkan hak-haknya. Ketiga, ada mekanisme Internasional yang ada yaitu, Pengadilan kejahatan Internasional (ICC). ICC sendiri hanya dapat memproses kasus diatas tahun 2000, lalu bagaimana dengan kasus masa lalu, Namun ketiga mekanisme yang ada ini juga belum ada yang dapat menuntaskan kasus pelanggaran HAM masa lalu dan saat ini yang memberikan rasa keadilan bagi korban dan keluarga korban berupa hak, baik hak mengetahui tentang kasus, apa yang terjadi saat itu, hak atas keadilan peroses pengadilan siapa pelaku dan hak pemulihan rehabilitasi/reparasi/konpensasi.

Dari kedua mekanisme yang ada korban dan keluarga korban sendiri menanggapi pesimis akan adanya keadilan, sangat kecil kemungkinan penyelesaaian kasus-kasus Pelanggaran HAM berat . Bukan saja karena mekanisme yang ada memiliki kelemahan dan kekurangan namun juga karena pemimpin negeri ini juga tidak berniat untuk menyelesaikan. hampir semua kasus pelanggaran HAM SIPOL terhenti proses penyidikan karena tidakan saling lempar antara lembaga yang berwenang menyelesaikan.

Mekanisme Penyelesaian di bidang EKOSOB
Dengan belum dapat diselesaikannya atau bahkan mekanisme penyelesaian yang dilakukan oleh negara ternyata tidak berpihak terhadap korban, maka jelas pemerintah belum mampu menyelesaikan kasus ini secara adil. Mekanisme yang biasanya dilakukan adalah melalui pengadilan sesuai dengan hukum di Indonesia. Sedangkan untuk kasus perburuhan dilakukan melalui Pengadilan Hubungan Industrial.

Tetapi kedua mekanisme itupun tetap tidak membawa keadilan bagi korban. Kekecewaan sering kali oleh korban. Pengadilan yang seharusnya menjadi langkah terakhir untuk mencapai sebuah keadilan ternyata juga telah diintervensi oleh kepentingan-kepentingan politik agar pengadilan yang berjalan lebih berpihak pada pelaku. Negara yang seharusnya melindungi hak-hak korban ternyata sampai saat ini juga lebih melindungi kepentingan para pemilik modal atau orang yang dianggap sebagai pelaku.

Perjuangan Politik adalah jalan menuju keadilan
Ironis memang ditengah semangat menegakkan demokrasi yang digembor-gemorkan Pemerintah, upaya penegakan dan perlindungan Hak Asasi Manusia secara langsung berhadapan dengan sikap dingin dan acuh negara. Padahal Seluruh aspek pelanggaran terhadap Hak-hak Sipil Politik (SIPOL) akan berhubungan dengan pelanggaran terhadap Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (EKOSOB), sehingga membentuk jaringan pelanggaran HAM yang kian kompleks, tersistematis dan memberikan dampak yang meluas. Namun lagi-lagi kita harus gigit jari entah untuk yang sekian kali sejak proses arus reformasi bergulir seiring dengan bergantinya pemimpin Negeri ini. Perubahan yang diharapkan tidak kunjung ada. Berharap pemerintah yang ada sekarang akan memberikan rasa keadilan bagi penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM SIPOL-EKOSOB maupun perubahan-perubahan yang lebih baik atas kehidupan disetiap tatanan Politik, hukum, ekonomi dan budaya sosial, rasanya tidak akan mungkin! Ibarat kata iklan Nutri Sarinya Josua :”.. Masak jeruk minum jeruk...” : “pelaku mengadili pelaku”(Perampas Mengembalikan Rampasannya) ????

Yang penting untuk diingat dan menjadi pembelajaran adalah bahwa Transisi politik yang terjadi di Indonesia menghasilkan situasi yang hampir sama atau serupa di Negara-negara lain. Rezim diktatorial dengan topangan meliterisme berganti rupa menjadi rezim elektoral, para pelaku politik lama beserta aparaturnya masih tetap dominan bahkan memimpin dalam sistem politik yang baru. Lihat saja hasil dari beberapa PILKADAL di Daerah-daerah bakal-calon maupun yang akhirnya terpilih adalah mantan tentara atau pejabat yang telah pensiun dan ini konsolidasi kekuatan lama hinga sampai didesa-desa, dan mereka berhasil membangun kembali mereka yang sempat terganggu saat bergulirnya reformasi. Pandangan ini didasarkan pada kenyataan munculnya berbagai kebijakan ekonomi dan publik yang anti rakyat dan melanggar HAM seperti, lapangan pekerjaan yang sedikit dengan angkatan kerja yang berjubel, upah buruh yang rendah, petani yang tak bertanah dan dengan segala problematikanya, pedangang digusur dan melonjaknya harga kebutuhan pokok akibat kenaikkan BBM yang secara berkala dilakukan, Belum lagi kesehatan dan pendidikan yang semakin tidak terjangkau oleh rakyat, maka yang terjadi adalah pemiskinan yang secara sistematis dan terus berkelanjutan tanpa ada yang mampu menghentikannya.

Artinya memang kita tidak dapat berharap pada pemimpin atau calon pemimpin di daerah, yang sebenarnya tidak memiliki kepentingan untuk membela rakyat. Calon pemimpin atau pemimpin di daerah tersebut tidak dapat dibilang mewakili rakyat di daerahnya masing-masing, karena jelas kebijakan-kebijakan yang mereka berlakukan ternyata tidak berpihak kepada rakyat. Lalu apakah kita masih akan mempercayai pemimpin atau calon pemimpin yang memang selama hidupnya tidak pernah membela kepentingan rakyat? Dan apa yang harus dilakukan oleh rakyat sebagai korban dari kebijakan-kebijakan pemerintah pusat dan daerah?

Bangun organisasi-organisasi Perlawanan
Sejauh ini yang dapat dilakukan adalah menjalani proses perjuangan yang telah dilakukan selama ini dan mulai membangun kekuatan di segala sektor (buruh, petani, mahasiswa, pedagang, masyarakat dll) Dengan cara membangun organisasi-organisasi perlawanan secara sistematis dan terorganisir yang memiliki visi dan misi perlawanan terhadap bentuk penindasan.

Seperti apa organisasi perlawanan itu? Organisasi perlawanan adalah organisasi yang fondasinya kuat secara ekonomi dan juga kuat dalam pemahaman teori-teori demokrasi, sosialisme, politik, hukum dan HAM dan lain-lain. Sehinga pemahaman anggota tidak hanya bicara sekretarian (kasus sendiri/kepentingan sektornya sendiri) jadi harus dibangun solidaritas antar sektor-sektor yang berbeda, misalnya buruh bersolidaritas terhadap kasus Mei karena sama-sama korban pelanggaran HAM.

Membangun organisasi perlawanan tidak mudah butuh kesadaran politik maka penting untuk membangun kesadaran politik, ini dapat dibangun dengan adanya pendidikan-pendidikan politik yang dilakukan dalam organisasi. Jadi bukan hanya sekedar kelompok diskusi atau aliansi aksi yang hanya bertemu saat adanya momentum-momentum tertentu. Namun kelompok aksi adalah Emberio dari lahirnya organisaasi perlawanan yang berkesadaran politik dan idiologi kerakyatan.

*Staf Badan Pekerja IKOHI dan anggota PRP Komite Kota Jakarta Raya

No comments: