Momentum

MAYDAY 2007

Thursday, May 3, 2007

Privatisasi Dunia Pendidikan: Hancurnya generasi penerus bangsa

Ari Yurino*

Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan atau BHP segera diajukan ke DPR. Naskah tersebut kini berada di Sekretariat Negara dan proses pengajuannya ke DPR tinggal menunggu amanat dari Presiden. Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Depdiknas, Mansyur Ramly (KOMPAS, 03/10/06), menegaskan substansi RUU tersebut, antara lain, melepaskan perguruan tinggi dari intervensi pemerintah. Kelak, tidak ada lagi perbedaan antara perguruan tinggi negeri (PTN) dan perguruan tinggi swasta (PTS). Semuanya dikelola dalam sebuah model privatisasi.

Menurutnya era BHP mengedepankan kemandirian perguruan tinggi dalam aspek manajemen administrasi keuangan, sumber daya manusia, dan akademik. Dalam hal mendirikan program studi baru serta menjalin kerja sama dengan institusi asing, setiap perguruan tinggi bebas dari intervensi birokrasi pemerintah. Termasuk di dalamnya untuk kegiatan riset unggulan.

Pendanaan yang minim dianggap sebagai sumber utama terpuruknya pendidikan nasional. Berbagai masalah akut, seperti buruknya sarana dan prasarana sekolah, tingginya murid drop out, serta guru yang tidak berkualitas, ditengarai disebabkan oleh sangat terbatasnya dana yang disediakan. Hal inilah yang selalu didengung-dengungkan ketika ada kritikkan tentang dunia pendidikan kita.

Kelak, tidak ada lagi perbedaan antara perguruan tinggi negeri (PTN) dan perguruan tinggi swasta (PTS). Seperti tertuang dalam lembar penjelasan atas RUU BHP tersebut, lembaga pendidikan diharapkan kemampuannya secara mandiri dan bertanggung jawab memanfaatkan sumber daya pendidikan. Hal tersebut dimaksudkan untuk melaksanakan proses pembelajaran yang menghasilkan keluaran bermutu.

Dalam konteks BHP kelak menjadi lembaga nirlaba - juga berarti BHP sebagai legal entity yang berbadan hukum, lebih mengutamakan upaya peningkatan mutu daripada mencari keuntungan. Jika ada hasil usaha, maka dana itu diinvestasikan untuk upaya peningkatan mutu dan tidak akan dikenai pajak. Sementara pengelolaan secara korporatif, dimaksudkan sebagai upaya mendorong kemandirian lembaga pendidikan.

Prinsip kemandirian sebagai entitas legal, BHP dapat bertindak sebagai subjek hukum mandiri. Dengan demikian, BHP dapat mengikatkan diri melalui perjanjian dengan pihak lain yang berkonsekuensi kepada kekayaan, hak, utang atau kewajiban. BHP harus pula membukukan kekayaan utang dan hasil operasinya dengan menerapkan standar akuntansi yang berlaku. Mereka juga harus siap diaudit oleh lembaga independen atau akuntan publik atas biaya sendiri.

Yang ironis, model yang ada dalam RUU BHP justru mempersempit ruang bagi seluruh warga negara untuk mengenyam layanan pendidikan dasar hingga perguruan tinggi. Istilah privatisasi pasti kental dengan pendekatan modal. Sebagai pranata yang lekat dengan kepentingan publik, tidaklah pantas lembaga pendidikan berhitung-hitung dengan modal seperti layaknya lembaga bisnis.

Sama halnya dengan layanan kesehatan, sektor pendidikan pun hendaknya dianggap sebagai hak dasar bagi setiap warga negara di mana pemerintah wajib memenuhinya. Jika model pelayanan di sektor tersebut sudah terjerumus pada privatisasi, taruhannya adalah pada generasi penerus bangsa. Privatisasi itu memang berangkat dari konsep liberalisme dan kapitalisme, di mana model pelayanan sudah membidik segmen tertentu demi perputaran modal.

Konsekuensi logis dari privatisasi saat ini perguruan tinggi seakan berlomba membuka program baru atau menjalankan strategi penjaringan mahasiswa baru untuk mendatangkan dana. Saat ini saja perguruan tinggi negeri (PTN) sudah berlomba-lomba membuka program studi baru, seperti diploma dan ekstensi, yang nyata-nyata kian "membunuh" keberadaan perguruan tinggi swasta.

Ketidakjelasan sikap pemerintah
Walau Undang-Undang Dasar 1945 mengamanatkan agar sektor pendidikan diberi anggaran minimal 20 persen dari total APBN dan APBD, pemerintah tak kunjung mematuhinya. Justru yang dilakukan sebaliknya, mendorong agar Rancangan Undang-Undang mengenai Badan Hukum Pendidikan secepatnya disahkan.

RUU tersebut akan melegalkan pelepasan tanggung jawab pemerintah dalam pendanaan pendidikan. Tidak hanya di perguruan tinggi, tapi juga di sekolah, termasuk pada tingkat pendidikan dasar; sekolah dasar, dan sekolah menengah pertama. Setidaknya ini tergambar dalam draf RUU Badan Hukum Pendidikan versi 12 Oktober 2005. Dari 35 pasal, tidak ada satu pun yang mengatur kewajiban pemerintah dalam penyediaan dana pendidikan.

Pada bagian pendanaan dan kekayaan, yaitu pasal 22 ayat 3, hanya disebutkan bahwa pemerintah dan/atau pemerintah daerah memberikan sumber daya dalam bentuk hibah kepada badan hukum pendidikan sesuai dengan penugasan yang diberikan. Pada ayat 4 disebutkan bahwa hibah dan penugasan sebagaimana dimaksud pada ayat 3 digunakan sepenuhnya untuk pendidikan dan dipertanggungjawabkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (www.depdiknas.go.id).

Sikap pemerintah tersebut setidaknya mencerminkan dua hal. Pertama, pengeluaran pendidikan masih dilihat dari perspektif biaya. Dalam ekonomi, biaya atau sering kali disebut beban adalah penurunan dalam modal pemilik yang biasanya melalui pengeluaran uang atau penggunaan aktiva (Soemarso, 1999). Karena itu, sesuai dengan prinsip ekonomi, semua biaya harus dipangkas atau sedapat mungkin ditekan.

Penempatan pendidikan dalam perspektif biaya disebabkan oleh tidak adanya komitmen pemerintah untuk memberikan pelayanan pendidikan yang menjadi kewajibannya atau malah pemerintah tidak mengetahui pentingnya pendidikan. Jika dua asumsi tersebut benar, upaya untuk terus meneriakkan bahkan memaksa pemerintah agar sadar dan mau menjalankan kewajibannya merupakan langkah penting.

Kedua, belum ada program yang jelas. Proses penganggaran tidak hanya berkaitan dengan uang, tapi juga dengan apa yang akan dilakukan, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Tentu saja, apabila pemerintah memiliki rencana mengenai pendidikan, akan disediakan dana untuk mendukung rencana tersebut.

Kemungkinan lain, bisa saja pemerintah telah memiliki rencana (program) tapi tidak membutuhkan dana yang besar. Tanpa menyediakan anggaran minimal 20 persen dari total APBN/APBD seperti amanat UUD 1945, program sudah bisa dijalankan. Mengenai program pendidikan, memang hanya pemerintah yang mengetahuinya. Hal tersebut tergambar dalam mekanisme penganggaran keuangan Departemen Pendidikan (www.setjen.depdiknas.go.id). Jelas terlihat, dari penentuan dan penjabaran kebijakan hingga monitoring dibuat sangat sentralistis.

Jika demikian kondisinya, memaksa pemerintah menyediakan anggaran besar tidak akan membawa dampak apa pun bagi peningkatan mutu pendidikan. Sebab, masalahnya bukan pada kekurangan dana, melainkan pemerintah tidak mengetahui apa yang akan dilakukan. Apabila ini tetap dipaksakan, bukan tidak mungkin dana yang melimpah akan habis dikorupsi.

Kewajiban pemerintah?
Sesuai bunyi Pasal 31 UUD 1945 Ayat 1, "Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan", dan Pasal 31 Ayat 2 yang berbunyi "Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya". Artinya pendidikan dasar harus diwajibkan dan tersedia secara cuma-cuma bagi semua orang. Ini berarti, pemerintah memiliki kewajiban penuh memikul seluruh beban biaya pendidikan.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Namun kenyataannya adalah sampai saat ini warga negara (rakyat) masih saja dibebani dengan biaya pendidikan yang sangat tinggi. Dalam UU Sisdiknas pasal 9 meminta masyarakat berkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan. Walaupun dengan dalih sebagai sumbangan sukarela, namun kenyataannya adalah masyarakat memang diwajibkan untuk membayar biaya pendidikan yang seharusnya gratis.

Demikian juga dengan RUU BHP yang isinya, antara lain, meminta partisipasi masyarakat atas tanggung jawab negara dalam bidang pendidikan. Ini berkaitan dengan pemenuhan atas pembiayaan pendidikan. Jika RUU BHP disahkan, setiap SD-SLTA negeri/swasta dan perguruan tinggi negeri akan menjadi BHP. Konsep BHP sebetulnya berangkat dari paradigma bahwa dalam situasi negara belum mampu membiayai pendidikan secara utuh, peran serta masyarakat sangat dibutuhkan. Namun, istilah "peran serta masyarakat" itu cenderung disalahartikan dengan cara menggali dana dari masyarakat, terutama uang kuliah mahasiswa, di samping dari kerja sama riset dengan dunia usaha.

RUU BHP adalah upaya pengalihan tanggung jawab negara terhadap pendidikan dengan meminta masyarakat memikul pembiayaan pendidikan. Jika RUU ini diterapkan akan makin sedikit masyarakat tidak mampu yang bisa mengakses pendidikan tinggi. Konsekuensinya, kampus hanya bisa diakses oleh mahasiswa kaya, sementara yang miskin kian tersisih. Kampus yang sudah telanjur besar dengan mudah membuat jejaring dengan dunia usaha sehingga kian maju. Sebaliknya, kampus yang terbelakang sulit dilirik oleh dunia usaha sehingga tetap tertinggal di tengah ketatnya persaingan pasar.

Orang miskin dilarang kuliah
Belajar dari "percobaan" BHMN justru terkesan sebagai jor-joran dan perlombaan menggali dana sebanyak mungkin dari masyarakat. Biaya yang selangit dan aroma penggalangan dana besar-besaran dari orang tua peserta didik, mewarnai PT BHMN selama ini. Idealnya memang dana digali dari sumber lain melalui kerja sama dengan berbagai pihak. Bukan dari orang tua peserta didik.

Namun, hal itu membutuhkan kreativitas, kerja keras, dan tentu butuh waktu lebih lama, sementara kebutuhan makin mendesak. Tak heran, fenomena penerimaan mahasiswa baru non-SPMB pun merebak. Berbagai PT BHMN punya nama-nama sendiri terhadap "pintu alternatif" ini. Harganya tidak tanggung-tanggung, bisa mencapai puluhan juta rupiah.

Merekrut mahasiswa sebanyak-banyaknya dan menaikkan uang kuliah setinggi-tingginya, dan melakukan seleksi mahasiswa seringan-ringannya, memang bisa jadi rumus cespleng untuk mendapatkan dana. Perguruan tinggi di Indonesia belum berpengalaman dalam menswastakan diri. mem-BHP-kan lembaga pendidikan sebagai upaya komersialisasi dan tak lebih dari representasi neoliberalisme. Ini jelas agenda neoliberalisme, pemerintah terlihat ingin cuci tangan dari tanggung jawabnya pada pembiayaan pendidikan.

Seharusnya pemerintah tidak boleh lepas tangan sama sekali. Alih-alih memenuhi batas alokasi minimal pada pembiayaan pendidikan sebesar 20 persen, dalam RUU BHP tidak terdapat kewajiban pemerintah untuk memberi dana rutin. Ujung-ujungnya nanti hanya orang kaya yang bisa masuk. Lama-lama tidak akan terjangkau oleh orang yang tidak mampu.

Mahalnya biaya pendidikan mungkin tidak terlalu terasa lagi, karena lama-lama akan terbentuk komunitas homogen, alias orang yang mampu saja. Pada intinya, bentuk apa pun suatu perguruan tinggi, selama dimaksudkan untuk memperluas akses masyarakat mendapatkan pendidikan, semakin bagus.

Yang terpenting jangan sampai mengundang protes masyarakat dengan berteriak, "Orang miskin dilarang kuliah". Privatisasi akan melambungkan biaya pendidikan dan memberatkan masyarakat. Pemerintah harus arif menyikapi rencana memprivatisasi pendidikan di Indonesia.

Pemerintah perlu menimbang kesiapan masyarakat untuk menghadapi mahalnya biaya pendidikan akibat privatisasi. Privatisasi terutama sekali berpotensi membatasi orang kurang mampu untuk menikmati pendidikan berkualitas.

Privatisasi pendidikan seperti yang digariskan dalam RUU BHP menyebabkan pembiayaan pendidikan kembali ke masyarakat. Kondisi saat ini masyarakat dinilai belum siap untuk menanggung biaya pendidikan sendiri, tanpa campur tangan pemerintah.

Dalam UU Sisdiknas (UU No 20 Tahun 2003), disebutkan bahwa pendidikan merupakan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat. Tapi, perlu dilihat juga, kondisi dan kesiapan masyarakat sendiri. Privatisasi jelas akan melambungkan biaya pendidikan.

McDonaldisasi di bidang pendidikan
Eksploitasi sumber- sumber daya yang melibatkan kekuatan asing dan kroni dari dalam negeri sendiri sudah menguras kekayaan bangsa ini. Gejala McDonaldisasi pendidikan tinggi di Indonesia dianggap sebagai bagian gerakan neoliberalisme yang menjelma dalam kebijakan pasar bebas dan mendorong pemerintah untuk melakukan privatisasi berbagai aset pemerintah. Heru Nugroho dalam McDonaldisasi Pendidikan Tinggi, 2002, menyoroti kontroversi otonomi perguruan tinggi di Universitas Gadjah Mada dan menganggap kebijakan itu mengkhianati ideologi negara dan UUD 1945.

Dua alasan yang sering dikemukakan adalah ketidakmampuan pemerintah membiayai pendidikan tinggi dan kebutuhan meningkatkan daya saing PTN.

Privatisasi membuat perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta, berlomba-lomba mencari mahasiswa baru sebanyak-banyaknya untuk mendapatkan dana. Hal ini bisa menyebabkan perubahan yang negatif pada hakikat pendidikan itu sendiri.

Pendidikan yang diharapkan dapat melepaskan bangsa ini dari belenggu kebodohan dan keterbelakangan dapat menjadi komoditas bisnis yang menguntungkan. Peserta didik dari keluarga miskin tidak akan mampu membayar biaya kuliah di perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta, yang mahal. Alhasil, apabila ingin melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, mereka terpaksa mencari universitas "ecek-ecek".

Dampak nyata dari kebijakan privatisasi PTN adalah merosotnya mutu pendidikan tinggi negeri karena dasar penerimaan mahasiswa baru tidak murni tes, tetapi tawar-menawar modal yang disetorkan. Lama-kelamaan PTN-PTN terkemuka dihuni orang-orang di bawah standar, tetapi mampu membayar sumbangan besar. Hal itu akan kian memarjinalkan kaum miskin dari akses pendidikan tinggi yang bermutu.

Akibat Industrialisasi
Hubungan tidak linear antara PT dan sektor ekonomi disebabkan oleh pergeseran paradigma penyelenggaraan PT sebagai akibat langsung industrialisasi modern pasca-Perang Dunia II. Para pakar ekonomi sosial, seperti Castells (2000), Callinicos (1999), dan Rifkin (2000), mencatat, semangat membangun kembali setelah perang melalui industrialisasi modern menumbuhkan tuntutan pragmatis masyarakat atas peran PT.

Pola pengelolaan modal industri membentuk persepsi masyarakat bahwa investasi ekonomi dalam bidang pendidikan juga harus kembali dalam bentuk profit ekonomi. Akibatnya, tolok ukur masyarakat atas keberhasilan pendidikan adalah kerja yang mengembalikan investasi.

Dewasa ini penyelenggaraan PT dijauhkan dari diskursus perubahan sosial (Giroux, 2001) dan lebih terfokus melayani secara pragmatis kebutuhan perkembangan ekonomi. Ini membuat pengelola PT tak konsisten.

Dampak lebih buruk dari privatisasi PTN adalah hilangnya solidaritas sosial di masa datang. Apabila seseorang masuk fakultas kedokteran dengan membayar Rp 250 juta, bahkan Rp 1 miliar, apa motivasi mereka setelah lulus? Pasti mencari uang agar modal mereka untuk kuliah cepat kembali.

Maka seharusnya ada peninjauan kembali terhadap RUU BHP sehingga perguruan tinggi, khususnya PTN, menjalankan fungsinya sebagai kampus kerakyatan yang dapat diakses orang miskin. Karena jelas ketika kita bercermin pada pengalaman di empat PTN terkemuka yang proses privatisasinya merusak sendi-sendi kehidupan ekonomi, sosial, politik, dan budaya masyarakat.

Perlu ada suatu pemikiran untuk membangun dan mengembangkan pendidikan berbasis masyarakat, tetapi berkualitas. Pendidikan tinggi berbasis masyarakat ini diharapkan dapat menjadi satu pilihan yang tepat bagi calon peserta didik yang tak mampu dan tak sanggup membayar uang masuk yang mahal untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.

Selain itu, diperlukan pengawasan dari berbagai pihak agar pengelolaan pendidikan tinggi ini tidak lepas kendali sehingga mengarah ke komersialisasi pendidikan.

*Ketua Divisi Propaganda KP PRP

No comments: